Senin, Februari 10, 2014

[Mozaik Blog Competition 2014]: Cinta Mati Menulis Itu Sampai Mati

Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id.

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian (Pramoedya Ananta Toer)


Kalau ada yang bertanya, "Apa yang membuat kamu begitu ingin menjadi penulis? Dengan pasti saya bakal jawab, "Karena suka!" Sederhana sekali. Begitulah. Dalam hidup yang sebentar doang, di dunia nan fana ini, sayang sekali kalau kita melakukan sesuatu karena terpaksa dan tak menikmatinya. 

Penulis adalah satu dari beberapa cita-cita masa kecil saya, selain politisi, wartawan, guru, dan pekerja sosial. Melewatkan masa kecil di kota kecil bernama Curup nun jauh di Bengkulu, Sumatera sana, saya telah memantapkan suatu saat akan menjadi pengarang alias penulis. 

Tahun 1990-an dulu saya masih siswa SD yang sangat takjub dengan dunia lain, yang terlihat lewat setiap baris huruf. Kata-kata menjelma banyak hal dalam otak seorang anak kecil. Di luar lingkungan nyata sehari-hari yang kerap ditemui. Saya membaca setiap kertas yang membenamkan tulisan: majalah, komik, buku cerita, bahkan sobekan koran pembungkus belanjaan di warung. 

Beruntung, ayah saya seorang guru yang memunyai banyak buku. Koleksinya mulai dari buku sejarah, agama, novel angkatan Balai Pustaka, sampai buku cerita pengayaan untuk siswa terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan Nasional). Tak puas dengan bacaan terbatas di rumah, saya menjadi pengunjung perpustakaan masjid paling rajin. Masjid Al-Jihad milik Muhammadiyah di dekat rumah. Hampir setiap hari dan sepanjang waktu perpustakaan buka, saya asyik melahap buku. Saat membaca cerita fiksi di Majalah Ananda, Bobo, Aku Anak Saleh, Ummi (dan sisipannya Permata), saya sangat menikmatinya. Hanyut terbawa kepiawaian penulis bercerita. Mulailah saya membayangkan cerita-cerita lain versi imajinasi sendiri. Saya membayangkan tulisan saya nangkring di majalah dan dibaca banyak orang. Pasti membanggakan sekaligus menyenangkan bukan? 

Sayangnya, saya belum punya keberanian untuk menulis dan mengirimkan ke media. Sebagai gantinya saya paling suka pelajaran mengarang saat Bahasa Indonesia, sejak SD sampai SMA. Di SMP saya memberanikan menulis cerpen dengan tulisan tangan dan mengirimkannya ke Anita Cemerlang (majalah remaja tersohor saat itu). Gagal. Saya mulai punya diari yang berisi puisi-puisi. Temanya macam-macam, cita-cita, cinta, Tuhan, sampai masalah sosial. Saya juga suka politik sampai berkeinginan menjadi politisi karena paling sebal kenapa PNS waktu itu harus memilih Golkar. Padahal di sekolah, pelajaran menjelaskan kemerdekaan berdemokrasi lewat Pemilu yang LUBER (Langsung, Bebas, dan Rahasia). Saya juga heran kenapa Soeharto kok bisa puluhan tahun menjadi presiden dan calonnya cuma satu? Saya sering berantem soal ini dengan ayah yang kebetulan guru PMP dan Sejarah, he-he-he.... Di SMA saya ikut ekskul teater dan mading. Ikut lomba baca puisi, dan diam-diam ikut lomba menulis (fiksi dan ilmiah). Banyakan gagal. Satu-satunya prestasi menulis saya dari SD sampai SMA adalah lomba pidato yang tentu saja materinya disusun sendiri. Itu pun cuma juara harapan pertama. 

Nah, waktu kuliah di Universitas Bengkulu, barulah aktivitas menulis saya menemukan tempatnya. Saat registrasi mahasiswa baru, saya terhenyak membaca pamflet penerimaan anggota baru Forum Lingkar Pena (FLP) di papan pengumuman fakultas. Gayung bersambut, saya bergabung. Saya telepon contact person yang tertera, Sri Rahayu, Ketua FLP Wilayah Bengkulu pertama. Sampai sekarang beliau masih aktif menulis dan tinggal di Lampung. Aktif juga menulis blog http://cerpeneddelweissnaqiyyah.blogspot.com/. Saya pantas menasbihkan Mbak Yayuk, begitu sapaannya, sebagai guru, sahabat, sekaligus kakak yang menyemangati saya menulis. Di FLP kami membuat acara seputar literasi, rutin membedah karya, lalu mengirimkannya ke media. 


Bersama teman-teman penulis FLP dalam sebuah acara

Tulisan pertama saya dimuat koran lokal "Rakyat Bengkulu" berjudul Pada Gerimis Satu-Satu, lantas di koran lokal lain seperti Koran Lintas. Prestasi terbesar yang melecutkan gairah menulis saya adalah saat cerpen saya kali pertama dimuat Majalah Annida. Hebatnya langsung merebut Juara II Lomba Menulis Cerpen Islami (LMCPI) Annida 2005. Wow, bangga dan seketika serasa menjadi selebritas di kampus. Banyak akhwat-akhwat yang berkomentar, sehingga saya merasa mereka nge-fans, he-he-he.... Kemudian ada majalah Aulia, Al-Izzah, Aulia, Pesona, Ummi, Esquire, Hai, dan majalah lain yang memajang cerpen saya. 

Selain Mbak Yayuk, yang membuat motivasi menulis saya terlecut adalah Agusmantono. Sahabat satu kost sesama anggota FLP. Bersama Agus, kami bisa dibilang dua sahabat yang disatukan oleh hobi menulis. Kami sering mengkritik tulisan masing-masing, berbarengan mengajukan naskah ke penerbit, berbagi info lomba dan sebagainya. Teman-teman di FLP Wilayah Bengkulu lain pun turut berjasa. Rata-rata mereka generasi awal FLP-ers Bengkulu, seperti Yeni Sariasih, Novianti, Fransiska Rusman, Imam Hanuji, dan Fendri Heryanto. Tidak lupa juga pembina kami di Bengkulu, penulis Agnes Majestika dan Herman Suryadi. Sangat membantu, karena Bengkulu terbilang "kurang bergema" untuk perkembangan melahirkan penulis di banding lain. FLP yang berjaringan luas juga mengenalkan saya dengan penulis lain.

Keranjingan menulis, tentu saja impian seorang penulis adalah menerbitkan buku. Jatuh bangun saya menembus penerbit. Bahkan sampai hari ini, he-he-he.... Pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Bengkulu Ekspress, redaktur di Majalah Annida, dan sekarang redaktur di Penerbit Pustaka Lebah, bukan berarti jalan membuat buku mudah. Benar sih, saya sudah punya beberapa buku, tapi itu antologi dengan penulis lain. Kepuasannya berbeda dengan buku karya solo. Novel saya malang-melintang ditolak puluhan penerbit. Sejak tahun 2006 sampai sekarang saya mencarikan jodoh. Alhamdulillah, novel bergenre teenlit yang saya tulis waktu masih kuliah tersebut menemukan takdirnya juga. Insya Allah, pertengahan Februari ini segera beredar di toko-toko buku oleh penerbit Jogjakarta. Bayangkan, penantian saya delapan tahun untuk membuat penerbit percaya menerbitkan satu buku karya saya! Satu lagi, menulis juga membuat saya memiliki banyak kesempatan lain. Misalnya terpilih menjadi travel writer untuk jalan-jalan gratis keliling Indonesia selama 15 hari oleh portal berita Detik.Com.

Saya juga pernah sedih. Alang-kepalang. Sampai sekarang. Penyebabnya naskah novel yang telah selesai hilang. Zaman kuliah saya memang menulis novel di buku tulis. Tak punya komputer apalagi notebook. Sayang, nasibnya malang. Novel itu entah ke mana, padahal belum sempat diketik. Untuk menulisnya saya kadung malas, karena bagi saya untuk menulis novel butuh nafas panjang. Tidak seperti cerpen atau puisi. Apalagi tipikal saya yang masih bergantung mood. Meskipun demikian, saya tak patah arang. Bagi saya, menulis itu cinta mati. Menulis itu sampai mati. 

Setiap kebaikan yang menyertai tulisan, insya Allah menjadi ladang pahala. Bisa menginspirasi, menyadarkan, memberi pengetahuan, atau paling tidak menghibur. Kebahagiaan menjadi penulis itu adalah ketika naskah kita diterima untuk dimuat media atau diterbitkan. Rasanya keletihan dan pengorbanan terbayar sudah. Apalagi pastinya rekening tabungan juga bertambah, alhamdulillah.

Sampai sekarang, saya tetap menyempatkan menulis. Ehm, doakan ya, proyek novel yang sedang saya kerjakan bisa segera rampung. Kalau kamu mau jadi penulis, maka kejar sampai berhasil. Tak ada yang tak mungkin. Kuncinya? Ya, banyak membaca. Penulis favorit saya adalah Herper Lee, Khaled Hosseini, Laura Ingalls Wilder, Karl May, Sinta Yudisia, Helvi Tana Rosa, Mochtar Lubis, Sapardi Djoko Damono, dan masih banyak lagi. Kunci berikutnya  adalah meningkatkan skill (dengan workshop, diskusi, kursus, dll). Dan terakhir, menulislah! Kemudian kirim dan tunggu takdirnya. Selama menunggu, tetaplah menulis. 

Saya pun hingga sekarang terus berlatih. Sadar saya tipikal penulis tergantung mood dan kadang butuh pelecut dari orang lain, untuk proyek novel yang sedang berjalan, saya ikut kelas menulis novel dengan mentor penulis favorit saya, Sinta Yudisia. Dengan demikian target dan deadline membuat saya mau tidak mau menulis. Lagipula, kalau cinta mati menulis itu sampai mati, artinya berlatih menulis juga sampai mati bukan? 

Ha-ha-ha.... Sepertinya saya terlalu panjang menulis pengalaman ini. Terlalu bersemangat. Sudah, ah! [Elzam]

6 komentar:

  1. Menjadi penulis itu adalah proses. Sebetulnya proses itu sendirilah yang terasa nikmat.

    Dengan menulis, tulisan kita bisa menjadi salah satu indikator seberapa jauhkah metamorfosis diri kita :)

    BalasHapus
  2. Benar, Mas Jahar! Setiap hal untuk maju selalu ada tahapannya, ya proses itu. Sukses ya. Suka menulis jugakah?

    Terimakasih sudah berkunjung. Sering-sering ke mari ya :-D

    BalasHapus
  3. Sukses ya Elzam. Jadi ingat zaman2 berjuang di FLP Bengkulu. Zaman kita merintis ke Palembang, buat acara2 dan aku mampir ke kos kalian :)) Eh kini senangnya bisa silaturahmi lagi via fb ya, saling mendoakan semoga kita terus berkarya :) Sukses buat buku solonya!

    BalasHapus
  4. Mbak Yayuk hadir :-D. Iya, zaman yang bikin kangen. Semoga nanti bisa kopdaran nih kita semua ya

    BalasHapus
  5. Hai, postingan yang bagus. Ijin blogwalking ya :-)
    Ada info lomba seru nih, bisa cek ini -> http://pujaputri.blogspot.com/2014/02/mari-mengenal-kampung-fiksi-lebih-dekat.html Makasih sebelumnya :)

    BalasHapus
  6. Terimakasih Puja... Oke, saya ke TKP

    BalasHapus

Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D

Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)