Rabu, Februari 05, 2014

Jalan Sunyi yang Tetap Hijau


Hijau. Warna yang paling saya suka.  Mendengar kata hijau, maka saya membayangkan hutan. Selalu begitu. Membayangkan hijau hutan saja membuat saya seketika segar. Apalagi trekking di dalamnya, naik gunung, atau duduk di taman kota nan terbatas di Jakarta ini.  

Lantas benak saya menjejak ke mana-mana soal hutan dengan segenap isinya. Konflik tiada habis. Hutan sebagai habitat flora dan fauna berhadapan dengan perilaku manusia memperlakukannya dengan tendensius. Berorientasi uang, uang dan uang. Maka hutan dirambah menjadi kebun sawit. Hutan digunduli untuk diambil kayunya. Hutan dibakar hingga gajah dan harimau  liar di daerah saya, Bengkulu, turun ke desa-desa. Mengancam keselamatan karena rumah mereka, hutan tak lagi menyediakan mangsa. Saya mendukung gagasan Greenpeace menggugah kesadaran kita, untuk mulai menyadari bahwa hutan penting bagi hidup manusia. Gerakan dukungan melalui aksi nyata Protect Paradise menjadi keharusan untuk semua orang ambil bagian. Mari dukung dengan klik di sini! Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Hutan pula membuat ribuan hektar sawah mengering karena debit air Bendungan Air Manjunto di Mukomuko, masih di Bengkulu, menurun drastis. Tepatnya tak bisa menyediakan sediaan air yang cukup karena Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang menjadi hulu Sungai Manjunto bertahap menuju tandas.
Lebih gila lagi, kepala desa setempat bisa mengeluarkan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) atas hutan lindung
Saat menjadi wartawan Bengkulu Ekspress, harian lokal di Bengkulu (2007-2009), saya sempat ngepos di Mukomuko. Sebelah timur kabupaten ini berbatasan langsung dengan TNKS. Penduduknya dominan berkebun sawit. Perusahaan sawit skala besar juga tumbuh pesat mengcengkeram. Bersama wartawan ANTARA Biro Bengkulu bernama Rini, kami masuk keluar hutan dan bekas hutan yang menjadi sawit. Tidak banyak wartawan lokal yang doyan beginian (siapa yang mau capek-capek investigasi di hutan, kedinginan kala hujan, medan berat, musti bawa bekal, etc). 
Saat investigasi perambahan bersama Balai Besar TNKS dan LSM, yang cewek itu Rini.
Ditemani para aktivis lingkungan dan polisi hutan, kerap pula kami mesti bermalam di hutan atau kebun sawit warga. Sudah biasa. Petualangan ini kerap saya rindukan setelah resign, lantas hijrah ke Jakarta.
Bahkan mobil semacam ini pun harus ditarik jika musim hujan
Mereka ini (penduduk dan perusahaan sawit) ikut andil menyulap hutan menjadi hamparan sawit. Rahasia umum, pejabat penyangga pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) ikut menggarap hutan dengan mempekerjakan warga. Tentu saja, bukti sahih sukar didapatkan karena yang bergerak di lapangan orang lain, kaki tangan mereka. Izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar terus diperluas dan ditenggarai menyerobot hutan lindung, termasuk TNKS. Bersama LSM setempat semacam Genesis dan Walhi kami sering mengkritisi hal demikian dengan pemberitaan-pemberitaan tak sedap. Tak sedap bagi semua stakeholder yang ditenggarai terlibat. Putus asa dibuatnya? Memang. Tidak di Kepolisian, tidak di level pemerintahan dan legislatif, semua memberi alasan normatif; tenaga kurang di lapangan, cakupan wilayah yang luas, dana kontrol terbatas, akan segera ditindak sesuai aturan, sedang diselidiki, bla-bla-bla… Tapi saya tahu persis, sekadar alibi untuk menutup borok berjamaah. Data terakhir dari Balai Besar TNKS total kawasan yang telah dirambah seluas 41.303 Ha (2012), Bengkulu menyumbang rambahan terluas kedua 3.520 Ha, setelah Kerinci/Jambi yang mencapai 28.255 Ha. Sumber klik di sini!
Melihat hutan yang siap beralih fungsi menjadi kebun sawit di tengah gerimis
Hasil penebangan liar hutan oleh masyarakat
Tulisan ini hanya sekadar curhatan seorang mantan wartawan yang sama sekali tak hebat. Persoalan tata kelola hutan dan kesadaran masyarakat masih 'payah'. Sementara birokrasi di daerah kian jumawa sewenang-wenang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, alih-alih memiliki political will yang bersahabat untuk hutan. Seakan mereka tak butuh mewariskan oksigen untuk anak cucu karena sekarang udara masih gratis. Padahal kerusakan hutan di seluruh dunia jelas mengancam orang-orang rimba yang terkait langsung, flora fauna penyerta, dan dunia secara umum dengan pemanasan global. Seperti yang dikatakan Greenpeace di sini!

Saya kerap diserang migrain tiap kali berita-berita investigasi saya seperti tak berbalas. Tak ditindaklanjuti. Belum lagi ancaman dan konflik dengan pihak yang terganggu terhadap temuan dugaan pelanggaran.  Pada akhirnya saya memilih jalan sunyi. Ya, sejujurnya penulisan hard news bukan passion saya. Dari awal lebih menyukai produk sastra, novel, cerpen, dan puisi. Saya tak punya banyak amunisi dan mental baja untuk bertahan.

Meski demikian, saya masih menyukai hijau. Novel lawas Mochtar Lubis, Berkelana di Rimba yang dibaca ketika SD, tetap favorit saya. Mengambarkan keindahan dan kegunaan hutan. Inilah sebabnya, saya suka menulis yang terinspirasi awal kehidupan bumi, hutan. Cerpen tentang kearifan manusia pada hutan, rimbawan yang jatuh cinta pada hutan, dunia petani seperti orangtua saya, cinta petualang-pendaki, tempat indah di sudut Indonesia bernama hutan. Bahkan saya sedang menulis novel dengan tokoh utama bernama Rimba. 

Nah, ini cover novel yang sampai sekarang masih saya suka.

Setidaknya saya ingin tetap mewarisi karya-karya yang membuka mata kita. Bahwa kita butuh benar hutan untuk melanjutkan hidup. [Elzam]

4 komentar:

  1. Wah, Mas Bro, tetap semangat ya berusaha untuk dunia yang tetap hijau.

    BalasHapus
  2. GO GREEN! ahhh, aku belom pernah ke hutan nih :(

    BalasHapus
  3. terimakasih gan sangat baik info nya
    saya suka blog nya

    BalasHapus
  4. saya sangat suka dengan info nya gan terimakasih
    terus berkarya gan

    BalasHapus

Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D

Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)