Senin, Juni 28, 2010

Kontrol Ucapmu Untuk Laku yang Baik



Ceritanya gue kesal pagi ini. Sembari menikmati bubur ayam, sarapan di kantor, gue nelpon bini yang lagi pulang kampung. My Honey ke Sukabumi, sayang gue nggak bisa nemenin karena Sabtu dan Ahad kemarin ada acara G2G alias Gathering Alumni Bengkel Cerpen Nida (BCN)dan Launching Antologi Cerpen Annida Online "Sebuah Kata Rahasia" di kantor. Padahal pengen banget ngerasain suasana damai dan adem di tempat asalnya Dessy Ratnasari itu. Hhuohoho...

Sampai ada temen yang bilang gue kacau, secara pasangan baru, istri pergi nggak dijemput atau diantar begitu. Halah? Gue pikir biasa aja. Lagian alasan gue logis, gue nggak bisa ikut mudik coz emang mesti ngantor. Bukan kegiatan tak jelas lainnya. Tapi beliau liat dari sudut pandang perhatian dan kebersamaan mungkin ya. Ternyata memang, waktu itu sangat berharga. Hohoho, kalau gue kerja terus sampe malam lalu capek kapan program keluarga yang lain? Apalagi di kantor baru nanti Sabtu gue masih masuk, walaupun setengah hari. Oh My God...

Kembali ke soal kesal buntut dari telpon-telponan tadi. Kesal kenapa? Nggak tau lah. Sepertinya gue belum berani dah curhatan-curhatan di blog. Gue mulai berpikir menjadi seorang suami, memiliki pasangan membuat kita harus berpikir apakah pola komunikasi kita bisa memberi rasa nyaman atau tidak pada suami/istri. Biasanya gue selalu bicara apa adanya yang ada di otak gue kepada seseorang jika dia telah menjadi bagian dari gue. Katakanlah teman akrab, saudara, sahabat, atau rekan kerja yang telah dianggap saudara.

Jadi kadang gue nyablak banget ngomong, maybe kultur Sumatera masih nyangkut mendarah-daging (kata My Honey). Bilang nggak suka, nggak matching, norak, sewot, atau mengkritik sikap seseorang biasanya gue bilang langsung. Karena udah "dekat" gue pikir nggak perlu merasa tersinggung. Kadang gue melihat "kilat" di mata seseorang abis gue coment sesuatu, di situlah gue pikir lawan bicara nggak suka atau merasa tersinggung dengan ucapan gue. Padahal sumpah mati, bukan niat menyinggung. Biasanya gue segera meminta maaf dan mengklarifikasi :-)

Gue nggak pengen orang sakit hati dengan kata-kata gue, tapi gue juga mesti ngomong apapun yang ngerundel di dalam hati. Kayaknya ini pokok soalnya kali ye? Hehehe...

Dan begitulah gue menganggap pasangan gue, istri sekaligus teman yang sudah gue anggap sodara, eh salah.... sudah menjadi sosok yang menjadi bagian dari hidup gue, sudah gue akrabi (ya iya lah). So ngomong aja, apa adanya seperti kamu adanya. Itu gue banget sebenarnya.

Tapi susah, karena ngomong yang terlalu apa adanya versi ini, sering terjadi kesalahpahaman. Apalagi nada suara gue kadang yang mengelegar dan sedikit keras. Sungguh, bagian yang ini (mengatakan kritik, protes, atau komplain) gak bisa manis-manis, bernada riang, dan apalagi kayak merayu :-)

Nah, ujung-ujungnya kita (tepatnya dia) diem-dieman dah :-) Doi jadi patung. Dan jadilah gue bingung tinggal ama patung berjalan di rumah. Susah buat ngajak dia mengibarkan bendera putih, peace My Honey...! Gue nggak nyaman kalo ada seseorang di samping gue tapi kita saling berkesel ria atau bersikap bete karena sikap salah satu atau keduanya. Beg beg beeg begghitulah kira-kira...

Tapi gue berhasil membuat dia tersenyum dan nggak marah lagi dalam satu kali rayuan. Meski cuma sekali doang, wakakaka...

“Mencintai bukan hanya pujian, tapi juga kritik…”

Rabu, Juni 02, 2010

Tersapa Sedih

Tak ada masa berakhirnya persaudaraan itu, jika kita saling mendekatkan hati-hati. Khilaf dan salah adalah niscaya. Bersahaja menerima akan meneguhkan cinta dalam hati setiap orang yang mengaku sahabat