tentang

Tampilkan postingan dengan label RESENSI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RESENSI. Tampilkan semua postingan

Jumat, April 01, 2016

Sejarah Aktivis Melawan Rezim Diktaktor Penguasa Orde Baru

Judul               : Anak-Anak Revolusi (Buku 1)
Pengarang       : Budiman Sudjatmiko
Editor              : Billy Franata
Cetakan           : Ke-2, Desember 2013
Halaman          : 473 + XV
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
ISBN               : 978-979-22-9943-4



Tak ada yang lebih mendebarkan dari sebuah bacaan sejarah bangsa-bangsa, kecuali buku yang ditulis pelakunya sendiri. Di mana ia membeberkan fakta yang tak banyak diketahui khalayak, karena dibungkam “penulis sejarah” dengan cerita versi mereka sendiri.  Apalagi terkait pihak yang bersinggungan langsung dengan rezim diktator. Buku Anak-Anak Revolusi karya Budiman Sudjatmiko masuk dalam kategori ini.


Budiman tahu betul, teks sejarah cenderung baku, monoton, dan sulit menjangkau banyak pembaca. Maka ia menuliskan autobiografi berpendekatan novel. Anak-Anak Revolusi menceritakan pergerakan Budiman menumbangkan rezim Orde Baru yang berkuasa sampai 30 tahun. Cerita dibuka dengan amuk massa dalam Peristiwa 27 Juli 1996. Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diketuai Budiman menjadi tertuduh (hal. 5-13).

Sebagai sejarah personal, novel ini berkisah pergulatan pemikiran Budiman sejak kecil. Kemiskinan tempat masa kecilnya, Desa Pahonjean, Cilacap, membuatnya gelisah. Dua hal menjadi pemicu, Mbak Dimin gantung diri akibat tak kuat dibebani hutang  dan anak-anak yang tak bisa sekolah saat ia menginjak TK. Peristiwa ini melecut rasa ingin tahu. Kata “Pemerintah” dalam pikiran sederhananya bisa saja membantu Mbah Dimin dan teman-temannya.

Menginjak SD, kegelisahan membawa Budiman menggandrungi buku-buku Bung Karno, Jawaharlal Nehru, Mao Tse-tung, dan John F. Kennedy milik sang kakek (hal. 91). Nantinya kutipan dan saripati buku-buku lain berserakan dari awal hingga akhir novel. Budiman begitu kaya dengan ragam pemikiran politik (sosialis, demokratis, liberalis, hingga Islamis), sejarah pergerakan, ekonomi, bahkan seni (film, musik, dan sastra). Kesemuanya membentuk pemikirannya. Sampai pada pilihan mengorganisir perlawanan rakyat menumbangkan diktaktor Soeharto yang mengendalikan semua kekuatan (militer, pers, birokrasi, dan legislatif). Dimulai dari mendampingi gerakan bawah tanah buruh-petani, dan berujung perlawanan terbuka dengan membentuk PRD yang meminta Soeharto mundur.

Kadar intelektualitas Budiman sangat tampak lewat caranya bertutur. Jauh dari kemarahan-kemarahan subjektif yang bisa jadi dianggap wajar pembaca mengingat betapa penguasa semena-mena memperlakukannya. Budiman dan aktivis lainnya ditindas, diteror, disiksa, dan diadili tanpa tahu kesalahannya. Bahkan penguasa melibatkan cara tidak fair, sang ayah dan paman dipecat dari pekerjaannya oleh Soeharto hanya karena keluarga Budiman. Emosi pengarang menulis autobiografinya terjaga dari bahasa kasar semacam caci maki dan dendam. Diksinya tenang dan lugas, tanpa menghilangkan bara heroik perlawanan. Di akhir novel pun ia menutupnya dengan manis dalam balutan cinta dramatis. Budiman mengungkapkan cinta kali pertama, justru saat pengadilan menvonis 13 tahun penjara (hal. 472).

Secara umum, Anak-Anak Revolusi memuat tiga pusaran cerita utama. Pergulatan pemikiran Budiman, kisah cintanya, serta proses penahanan ia dan rekan-rekan terkait Peristiwa 26 Juli 1996. Pembaca diajak larut dalam kepiawan penulis bercerita layaknya fiksi, padahal nyata terjadi. Tentunya, karena terkait sebuah pergerakan, banyak nama yang muncul. Seperti Nezar Patria, Mochtar Pakpahan, Dita Indah Sari, Gus Dur, Megawati, Munir, Widji Tukul, dan sederet tokok pro-demokrasi waktu itu. Secara lugas, ia pun sadar, revolusi mebutuhkan banyak orang yang dikaitkan pada simpul “kepedulian atau nasib” yang sama.


*Elzam Zami

Rabu, Juni 24, 2015

Cinta Pop Urban Renyah yang Sarat Hikmah

Judul                : Insya Allah, Sah!
Penulis             : Achi TM
Penyunting      : Raya Fitra
Penerbit           : GPU (Gramedia Pustaka Utama)
Cetakan            : 1 (2015)
Tebal                : 328 hlm
Nomor ISBN    : 978-602-03-1465-5
Harga               : Rp. 59.500





Untuk pembaca perempuan, GPU identik dengan novel pop urban renyah. Berkutat soal cinta, karir, dan kehidupan sosial kelas menengah ke atas dengan tokoh utama yang tentu saja, perempuan. Bagaimana jika lantas kemudian berbalut satu aspek lagi, tema islami yang pekat? Hasilnya adalah Novel Insya Alah, Sah! Karya Achi TM ini. Bergaya bahasa ringan, renyah, dan sarat hikmah.

Achi TM tak sekadar menempelkan Islam sebagai pemanis, tapi benang merah cerita dari awal hingga akhir. Asyiknya, pembaca tidak akan sadar jika sejatinya sedang didakwahi. Ini karena cerita yang begitu hidup dan menghibur diramu dengan baik untuk pembaca. Insya Allah, Sah! bercerita tentang Silviana, desainer terkenal pemilik Silviana Sexy Boutique yang sedang mempersiapkan pernikahan dengan Dion, eksekutiflabel musicmentereng. Masalah datang ketika Silvi bernazar akan berhijab jika selamat dari jebakan di lift kantor Dion bersama Raka (hal.12). Ketika selamat, Silvi lupa seiring kesibukan mengurus pernikahan yang tinggal 99 hari saja. Meski sebenarnya gadis tersebut hapal luar kepala hukum menutup aurat karena sering diingatkan Kiara, sahabatnya yang jadi hijaber sejak kuliah.

Mengurus pernikahan tanpa weddingorganizerpun berbuntut masalah demi masalah. Dari catering, gedung, baju pengantin, hingga tanggal yang nyaris batal dari KUA. Padahal Dion yang sibuk mengurus tur luar kota telah meminta Raka membantu, bawahannya. Setali tiga uang dengan Kiara, si tampan nan shalih itu cerewet mengingatkan segala sesuatu jika dipandang tak mengindahkan agama.
Silviana mulai merenungi, mengapa persiapan pernikahannya kacau. Apalagi ketika Raka menyinggung nazar yang wajib ditunaikan. Sesuatu yang membuat Silvi sebal dan menganggap Raka pembawa sial. “Hati kamu seperti tertutup, Sil. Kamu menolak semua nasihat. Bahkan kamu nggak menjalankan nazarmu waktu di lift. Apa kamu lupa? Atau sengaja tak mau memenuhi nazarnya?”(hal. 206). Silvi tahu itu, dan diam-diam simpati dengan Raka yang bagaimanapun benar adanya. Hatinya nyaris terkotori melihat Raka ternyata tak hanya si mapan nan tampan, tapi juga religius. Kalau harus jujur,cewek mana yang tak suka?

Butuh pertimbangan panjang Silvi mencoba hijab, ia mendesain baju seksi, Dion suka hijab, bahkan adiknya Gina menjadikannya kiblat fashion. Akhirnya Silvi mencoba berhijab di mana saat yang sama Dion mulai tak bisa dihubungi. Muncul pula tokoh Anna, si psyco teman SMA yang dulu acap mem-bully Silvi karena lebih cantik. Trauma itu pula yang membuat Silvi bertekad menunjukkan dirinya si lemah yang bermertaforsis makin cantik, fashionabledanjuga desainer kondang. Anna mahasiswa kedokteran drop out itu melabraknya ketika datang bersama Madam Wulan. Anna shock demi melihat Silvi sekarang, tapi sifat angkuhnya tak hilang.

Bisnis Silvi sempat ambruk karena konsentrasinya pecah. Nazar terus membayangi. Sampai akhirnya Silvi membuat gebrakan mendesain busana muslimah yang ternyata diterima pasar. Silvi tak lagi coba-coba dengan hijabnya, tapi mantap hijrah. Tapi malang, kejutannya di hadapan Dion dengan penampilan baru ditentang.“Udah, kamu nggak usah pakai jilbab. Aku tidak suka perempuan berjilbab. Orangtuaku juga nggak suka. Oke? Aku pilih kamu karena kamu bukan perempuan berjilbab.”Puncaknya adalah Dion menghilang, persis ketika hari H pernikahan kian dekat. Silvi pingsan ketika tahu Dion memutuskan menikah dengan Anna, gadis yang diam-diam menjadi “dokter pribadinya” saat tur.

Ketika membaca di awal, saya berpikir Dion akan sadar dibantu Raka, lantas menerima hijab Silvi. Nyatanya tidak! Takdir memang tak bisa dibaca. Pada akhirnya cinta suci milik Raka yang dikubur dalam-dalam karena sadar berdosa menaruh hati pada calon istri orang lain, menemukan muaranya. Tak ada alasan lagi, ketika Dion membatalkan pernikahan dengan Silvi. Raka pun melamar desainer seksi yang mencoba berislam dengan lebih baik itu. “Kamu sudah berhasil memperjuangkan jilbabmu. Itulah sebabnya saat ini saya memutuskan untuk memperjuangkan cinta saya... dengan menikahimu.”(hal. 315). Sebuah akhir bahagia yang tentu melegakan pembaca.

Kamis, Desember 04, 2014

Perempuan-Perempuan yang Dicekam Sunyi karena Perkawinan


Judul                 : SUNYI

Jenis                  : Novel

Pengarang         : Eni Martini dan Ifa Avianty

Penerbit             : Panser Pustaka (Cetakan pertama, Oktober 2013)


Halaman            : 240

Foto oleh: Sri Rahayu
Sedikit novel yang berani menceritakan masalah rumah tangga yang penuh perdebatan sekaligus sensitif. Kemudian menulisnya lewat novel yang renyah. Salah satunya adalah novel berjudul Sunyi, besutan Eni Martini dan Ifa Avianty. Duet penulis ini cukup berhasil menceritakan poligami dalam sudut pandang yang wajar. Terutama dalam kaca mata perempuan. Di mana poligami menjadi wacana sekaligus praktik yang tak ada habisnya dibahas tiap orang. Dalam obrolan santai ataupun yang lebih serius semisal seminar. 

Novel sunyi menceritakan tiga perempuan berikut dengan masalah masing-masing nan pelik. Semuanya terkait perkawinan, yang menciptakan ‘kesunyian’ di tiap tokoh. Ada Melati, pemilik daycare bersuamikan Radit, si work-holic sebagai ilmuwan, yang membuat depresi istrinya karena sikap apatis yang kentara. Malaya, teman SMA Melati, pemilik coffee shop yang kesepian karena jodoh tak kunjung bertemu. Padahal usianya menginjak 35 tahun. Kemudian Soraya, karyawan Melati yang bersuamikan Reza dan sayangnya mandul. Rasa sunyi membuat Soraya bekerja sebagai pengasuh anak-anak. Di sisi lain, kerinduan pada keturunan membuat Reza ingin menikahi Malaya. Ia biasa bertemu Malaya ketika menikmati secangkir kopi di coffe shop. Sementara Soraya, sejujurnya tak sanggup berbagi suami, tapi ketegasan tak ditampakkannya, membuat Reza berpendapat Soraya bersedia dimadu (hal. 148).

Melati tak tahu, jika nama Reza yang melamar sahabatnya  adalah suami Soraya. Ketika misteri terbuka, dirinya tak kuasa memihak pada Soraya atau Melati. Baik Malaya atau Soraya sama-sama dicintainya, berharap kedua perempuan itu mendapatkan kebahagiaan. Soraya galau di tengah keriuhan Malaya mempersiapkan pernikahan. Istri Reza yang mencintai sang suami sepenuh hati itu tak bisa tegas berkata jujur. Keadaan dirinya yang tak bisa memberi keturunan meruntuhkan kepercayaan diri. Di sisi lain, biduk rumah tangga Melati dengan Radit terombang-ambing karena ketidakjujuran keduanya dan komunikasi tak bernyawa. Padahal di mata Soraya dan Malaya, Radit-Melati dengan karunia anak bernama Zea merupakan tipikal keluarga bahagia. Keduanya kagum. Tentunya juga iri melihat Melati mendapatkan semuanya. 

Di Bab 16 (hal. 178), Melati dilarikan ke rumah sakit karena memikirkan Radit yang sibuk sendiri.  Penyakit autis asperger membuat ia demikian sibuk dengan diri sendiri, tak percaya diri. Itu juga yang menyebab Radit melarikan kegersangan hati dengan terus bekerja. Keadaan semakin gawat karena keluhan Soraya pada Melati. Tentang nasibnya yang akan segera menjadi korban poligami. Malaya jadi bimbang, ketika tiba-tiba Melati memberikan pesan via ponsel yang penuh tanya, apakah Malaya bisa bahagia bersama Reza? Sementara di ujung sana ada perempuan pemilik pertama sang lelaki terluka. (hal. 176).

Pada akhirnya kejernihan hati dan kejujuran menjadi solusi konflik batin tiap tokoh dengan kesunyian masing-masing.  Eni Martini dan Ifa Avianty tak mencoba membuat cerita poligami dalam novel ini menjadi begitu kejam. Lalu mengadu pihak yang pro dan kontra ngotot pada argument masing-masing. Soal wanita yang bersedia dimadu atau tidak, dikembalikan pada keputusan dan kehendak para perempuan itu sendiri. Silakan menolak, silakan pula menerima! Para lelaki harus menghargai dan menerima pilihan mereka. Walaupun hukum dalam Islam membolehkan. Dengan demikian, novel ini seperti mengajak pembaca menarik benang merah. Lakukan praktik berpoligami, tapi jika dengan dua istri tersebut pelakunya tak bahagia, berpikirlah untuk tidak melakukannya. Simpel sekali!

 

Jumat, September 12, 2014

Cara Praktis Berpikir Positif dengan Tindakan

Resensi ini dimuat di Dimuat di rubrik resensi www.okezone.com






















Judul             : Positive Thinking Itu 
                    “DiPraktekin”
Penulis           : Tim Wesfix
Penyunting        : Adinto F. Susanto
Penerbit          : Grasindo, Jakarta
Cetakan           : ke-2, Maret 2014
Jumlah halaman    : 144 halaman
ISBN              : 978-602-251-217-2

Berpikir positif patut menjadi kebiasaan setiap orang yang ingin hidup stabil; bahagia sekaligus sukses. Sayangnya semua orang mengetahui berpikir positif itu penting, tetapi tidak tahu caranya atau enggan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tujuan demikianlah, Tim Wesfix menulis buku Positive Thinking itu “Dipraktekin” yang dapat membantu kita untuk mulai berpikir positif sekarang juga dengan niat dan usaha sendiri.

Buku  ini mengajak pembacanya membedah secara ringan apa-apa yang perlu dilakukan, ketika seseorang ingin memiliki pikiran positif. Setiap orang tujuan utama dalam hidupnya, tentu saja memiliki kadar bahagia yang melimpah dalam memandang diri dan semua yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan berpikir positif yang tidak hanya tertanam dalam pikiran sebagai pengetahuan, tetapi dikerjakan secara praktis. Di mana menurut buku ini menjadi semacam kebiasaan yang akan memberikan hasil maksimal. Di Bab I, buku ini memulai pengertian positive thinking sebagai upaya atau kemampuan menarik makna dari segala hal atau segala peristiwa yang menimpa (hal. 3). Faktor utamanya berupa keyakinan dan integritas diri, yang berperan penting memberi makna positif, bukan pengaruh orang lain. Perlu mengembangkan pengharapan akan segala hal membahagiakan, jika kita membiarkannya membahagiakan hidup. 

Hal-hal yang perlu dipahami dalam berpikir positif dalam buku ini dijelaskan dalam berbagai bagian penting. Semuanya tidak memiliki urutan yang pasti dan baku untuk dikerjakan secara berurutan. Bisa dilakukan secara acak atau bersamaan tergantung kenyamanan masing-masing orang. Bagian-bagian tersebut meliputi aspek; memahami prinsip positif, keyakinan positif, memiliki mental positif, percaya pada diri sendiri, positive behavior, menemukan makna hidup, be positive, again be positive, dan you can do it! 

Dalam setiap pembahasannya, buku ini menjadi lebih menarik karena banyak terdapat quote tokoh-tokoh, yang dikenal sebagai pelaku yang berhasil membangun pikiran positif dalam diri mereka. Misalnya apa yang dikatakan Michael Jordan, “Always turn a negative situation into a positive situation,” (hal. 37). Banyak tokoh-tokoh inspiratif ikut menyumbang pemikiran mereka, seperti Williard Scott, Paulo Coelho, Hellen Keller, Donna Karan, Willie Nelson, Pittbull, dan lainnya.

Secara praktis, buku Positive Thinking Itu “DiPraktekin” juga memberikan langkah-langkah yang mudah sekali dikerjakan. Terdiri dari uraian-uraian yang dibuat sederhana dan gampang dipahami. Lebih penting lagi, sesuai judulnya, dijelaskan juga apa yang harus diterapkan langsung setiap hari oleh orang yang ingin berpikir positif. Penulis memberikan tips-tips untuk dipraktikkan. Di antaranya dengan perintah membuat catatan penilaian apa yang dilakukan setiap hari dengan skala 1-10 (hal. 63) dan memanjakan diri untuk relaksasi (hal. 65). Dalam hubungannya dengan orang lain, disebutkan juga langkah untuk mendapatkan pikiran positif, dengan cara berinteraksi sosial yang baik, “Ungkapkanlah pada teman-teman, betapa berharganya mereka” (hal. 104). 

Dengan membaca buku ini, sudut pandang kita yang kerapkali berpendapat berpikir positif itu susah terbantahkan. Semua yang dibagikan dalam pembahasannya sederhana dan mudah dijalankan siapapun. Lagipula buku ini bukan buku tebal yang dipenuhi catatan-catatan psikologi teoritis. Tulisannya sangat singkat-padat, tiap lembar halamannya tidak selalu penuh kalimat tapi juga ilustrasi yang indah, dengan desain warna-warni yang menarik dan simpel. [Elzam]

Senin, Februari 24, 2014

Kisah ABG Amrik si Trouble Maker di Sekolah

(Dimuat di Koran Jakarta, Kamis, 21 Februari 2014, versi edit Koran Jakarta di sini)

 

Judul                : Middle School (The Worst Years of My Life)
Penulis             : James Patterson & Chris Tebbets
Penerjemah      : Gusti Nyoman Ayu Sukerti
Penyunting       : Nuraini Mastura
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : I, November 2013
Tebal               : 330 hlm
ISBN               : 978-602-7816-14-5


Masa-masa di sekolah penuh dengan peristiwa-peristiwa ajaib bagi tiap orang.  Lengkap dengan bumbu-bumbu kenakalan khas Anak Baru Gede (ABG).  Lantas, apakah kenakalan kita menyamai masalah demi masalah yang dibuat Rafe Khatchadorian di buku Middle School (The Worst Years of My Life)

Inilah buku yang menggelitik tentang sosok anak yang terobsesi menjadi trouble maker di sekolah setingkat SMP, yaitu Hills Village Middle School (HVMS) di Amerika. Bercerita misi Rafe untuk melanggar 16 bagian peraturan di sekolah yang baginya memenjarakan siswa. Ia tidak suka menjadi siswa normal yang patuh. Pelanggaran pertama yang dilakukannya membunyikan alarm pemadam kebakaran sampai seisi sekolah panik (hal. 37). Ulah pertama Rafe ini justru dilakukan di hari pertama saat peraturan HVMS sedang dibacakan di aula oleh Mrs. Stricker. Rafe tak sendiri, ada Leonardo, si tukang gambar sahabatnya yang terus menyalakan nyali Rafe supaya melanggar peraturan. Leo juga membuat gambar pelanggaran siswa di buku peraturan miliknya yang memancing inspirasi Rafe membuat ulah.

Rafe kemudian membuat misi yang harus tuntas selama di HVMS dengan akronim namanya. Rules Arent For Everyone (RAFE) atau Peraturan Bukan Untuk Semua orang (hal. 54). Tujuannya, tentu saja untuk membuktikan bahwa normal itu membosankan. Di sinilah penulis berhasil membuat kelucuan-kelucuan ala Rafe untuk pembaca. Tidak sekadar narasi, lembaran-lembarannya juga dihiasi dengan ilustrasi yang sangat komikal. Membacanya membuat pembaca tak bosan karena penasaran kenakalan apa lagi yang menjadi misi Rafe. Apakah pelanggaran itu tak berujung hukuman? Sayangnya tidak, Rafe kerap mendapat hukuman, padahal targetnya menjadikan pelanggaran sebagai sahabat terbaik tanpa dihukum. 

Diceritakan pula tokoh Miller, siswa bermasalah yang tak suka dengan Rafe. Miller sejak awal sudah menetapkan Rafe sebagai target. Sadar dengan hal itu, niat Rafe untuk berbaur dengan Miller tak dilanjutkannya. Di HVSM Rafe merasa semakin terpenjara. Para guru dengan senang hati memberi hukuman setiap pelanggaran dan memanggil orangtuanya.

Di rumah, Rafe tinggal bersama Mom, Georgia, dan Carl (ayah tirinya). Ia kesal dengan Carl karena selalu bersantai di rumah. Sementara ibunya bekerja sampai dua shift agar mereka hidup layak. Sayangnya, masalah Rafe membuat sedih sang ibu. Mom ingin anak-anaknya menjadi normal seperti yang lain. Puncaknya ketika Rafe melihat ibunya menangis karena ulahnya di HVSM. Ia berjanji berubah dan menghentikan misi sementara waktu. Hal ini membuat Leo kesal. Terlebih ibu Rafe melarang anaknya tersebut bermain dengan Leo. Berubah jadi anak yang patuh membuat Rafe disenangi Jeane Galleta, gadis yang disukainya. Mrs. Donatello yang kerap menghukumnya pun ikut senang dan menyadari Rafe mempunyai bakat gambar.

Rafe yang sudah bersikap normal ternyata tetap dianggap musuh oleh Miller. Anak itu berusaha memancing kemarahan Rafe yang tak menanggapi. Lewat buku ini pembaca disodorkan bagaimana untuk menjadi baik pun harus melewati proses yang tak mengenakkan. Rafe pun demikian, Miller yang mendapatkan buku berisi catatan misi Rafe mengharuskan anak itu menebus dengan harga yang ditentukan (203). Di akhir cerita, Rafe mampu menyelesaikan masalahnya. Ia juga berhasil membuat decak kagum seisi HVSM dengan mural goresan tangannya. Tapi ia tetap dikeluarkan dari sekolah karena nilai akademik yang tak bagus. Oleh karena itu Mrs. Donatello menyarankan pindah ke Airbrook, sekolah gabungan seni visual dan akademis (hal. 309). Dari buku ini kita diajak menyadari tidak semua anak cocok belajar di sekolah formal. Bisa saja, seseorang nyaman dan berhasil justru bersekolah di sekolah nontradisional. [Elzam]