Jumat, Juli 13, 2012

Betsy

Dimuat di Majalah Esquire, edisi Juli 2012

Betsy telah menjadi satu anggota keluarga yang menyenangkan bagi Mrs. Dawson. Setidaknya ia mempunyai teman ngobrol sekarang setelah Mr. Dawson meninggal dua tahun yang lalu. Persis bersamaan dengan putranya memutuskan untuk menerima tawaran bekerja sebagai bankir di perusahaan perbankan bonafide di New York. Jarak bermil-mil antara negara bagian yang menjadi tempat tinggal keluarga mereka, Nevada dengan New York tentu saja membuat Josh memilih tinggal di New York. Di apartemen dua kamar yang nyaman, tepat di pusat kota, di antara jajaran pencakar langit.
      Rumah cantik yang berdiri kokoh itu bergetar, ketika seorang perempuan berteriak menggelegar. Betsy terlalu sering menghilang beberapa waktu jika luput dari perhatiannya.
        “Betsy…Where are you? Honey…!” teriaknya lantang sambil tergopoh-gopoh. Dasar makhluk nakal! Betsy selalu membuat ulah dengan merepotkan wanita tua sepertinya untuk selalu mencari di setiap sudut ruangan. Mengobok-obok setiap lemari, tempat tidur, keranjang, atau sofa. Kadang-kadang ia akan muncul  tiba-tiba tanpa merasa bersalah. Mrs. Dawson akan tersenyum serta memukul lembut Betsy dengan sayangnya.
      “Ke mana saja kau meninggalkang Grandma, Betsy? Apa tidak ada waktu untukku sekadar memelukmu dengan hangat,” ujarnya dengan penuh perasaan.
            “Guk…guk…guk…!”
           Mrs. Dawson riang tersaput respon Betsy, “Nah, begitu kau harus belajar untuk memahami grandma yang rapuh ini”
***
            Selalu saja ada kerinduan pada Josh bagi Mrs. Dawson ketika melihat Betsy. Mereka sosok yang berbeda namun mampu mengisi dua ruang yang ia tempatkan di hatinya. Satu untuk Josh dan satu untuk Betsy.
           “Mom, don’t worry! Saya akan selalu mengunjungimu sewaktu-waktu, janji Josh ketika selesai pemakaman daddy. Saat-saat di mana pemuda berambut pirang kemerahan itu mengetahui galau hati sang ibu. Tentu saja mom akan disergap rasa sepi dalam menjalani hari-hari tuanya, pikir Josh waktu itu.
           “Adakah sosok yang mampu menggantikan orang-orang tercinta untuk beberapa saat ketika mom sendiri, Josh…” keluh wanita tua itu lebih kepada pengharapan. Sesuatu berupa keajaiban yang membantu membuat lengkap hari-harinya. Sejak kematian suaminya ia selalu merasa akan mengalami kesendirian. Tanpa siapa pun lagi.
Josh tersedu! Ia tidak tahu harus memberikan apa untuk ibunya. Pemuda itu tak mempunyai alternatif lain untuk ditempuh, membatalkan kontrak kerja sebagai bankir misalnya. Ia telah bertekad untuk menjadi seorang profesional yang handal dalam perbankan. Kontrak kerja itu menjawab keinginannya dan menuntut ia berkorban.
Terkadang terpikir juga oleh Josh ibunya mungkin terlalu kolokan. Ditepisnya pikiran itu jauh-jauh. Bagaimana pun ia masih menghargai keinginan mom. Tidak semua kemandirian harus dibuktikan dengan tinggal sendiri di apartemen seperti kebanyakan anak-anak Amerika, padahal mereka berada di kota yang sama. Josh menilai kemandiriannya lebih kepada bukti cinta yang selalu hadir bersama orang tuanya. Buktinya sekarang cinta ibunyalah yang membuat ia mampu menyelesaikan college, terhindar dari narkoba maupun alkohol. Ia harus berbuat sesuatu ketika ia telah tinggal di apartemen sendiri nantinya. “Ah, Mom…” desisnya dalam hati.
      Sore yang bersahabat mengantarkan mom pada kebahagian yang membuncah. Apalagi Josh memberikan satu anggota keluarga baru yang cantik. Satu hal yang sangat Josh perhatikan, ternyata Betsy tidak hanya cantik dan  lucu. Anjing mungil itu termasuk cerdas, kalau boleh Josh ingin menyebutnya terpelajar, he-he-he…
Ia bersusah payah mencari Betsy karena ingin mom selalu ingat dirinya. Setidaknya Betsy berprilaku baik karena tidak membuang kotoran sembarangan, tidak suka merusak perabot, dan mudah untuk diajak berkomunikasi menuruti kehendak empunya. Pilihannya pernah jatuh pada Bruno, anjing itu memang gagah dengan kulit hitam mengkilat. Tapi ia mengurungkan niatnya agar menemani Mrs. Dawson. Mom sepertinya lebih cocok jika memiliki teman yang lembut namun lincah karena pandai menyenangkan majikan. Toh, ia memberikan ibunya binatang kesayangan bukan untuk menjaga keamanan.
          “Guk…guk…guk…!” ketika Betsy pertama kali melihat Mrs. Dawson. Salam perkenalan yang manis. Telinganya yang panjang bergerak-gerak lucu. Paduan warna hitam sebagai bercak di bulu putihnya persis Dalmatians, tokoh kartun yang memesona jutaan pecandu animasi.
       Betsy melompat dari dekapan Josh. Berlari-lari mengitari Mrs. Dawson. Kemudian ia mulai menggonggong lembut mengajak bercanda dan bermain.
“Sepertinya taman mawar dan rumput di depan rumah cocok untuk kita anjing kecil.” Ajak Mrs. Dawson.
It’s name Betsy! Mom…!” teriak Josh. Josh terlihat senang dengan awal perkenalan yang berkesan dan membahagiakan ibunya.
Mom, Betsy sebelumnya milik Eve. Teman kuliah yang sering kuceritakan memiliki banyak pets. Betsy adalah anjing terbaiknya dan ia beri khusus untuk mengusir sepi Mom. That’s dog verry beautiful and smart. Mom pasti menyukainya…”
Mata Mrs. Dawson berkaca-kaca, “Sesempurna apapun Betsy, kamu lebih menarik hati Mom, Josh,” ungkap Mom tulus. Ia memandang mata di wajah tampan Josh dengan lembut. Ada haru yang menjalari jiwa lelaki muda tersebut. Kedua ibu dan anak itu berpelukan hangat. Josh meraskan getaran-getaran itu.  Cinta Josh semakin menguat, penuh berlimpah pada ibunya.
***
            Mrs. Dawson kali ini benar-benar resah. Didekapnya Betsy benar-benar erat sambil bersandar malas di sofa. Betsy menatap sendu grandma, begitu Mrs. Dawson sering menyebut dirinya jika sedang berbicara dengan Betsy.
            “Apakah kau tahu kabarnya, Betsy? Sudah beberapa pekan ini dia tak pernah menghubungi kita. Ah, ada apa sebenarnya…?” curhat Mrs. Dawson. “Sayang kau hanya anjing mungil yang tidak terlalu melibatkan perasaan, pikir wanita tua yang kian beruban itu. 
            Ia mengulang lagi keluhannya melihat Betsy menggeleng-geleng. Entah gelengan mengerti atau gerak biasa. Mrs. Dawson senang dengan responnya.
 “Josh. Terlalu sibukkah kau hingga tak sempat melihat email mom yang bertumpuk-tumpuk untukmu,” ujarnya pasrah. Hanya keluhan pada Betsy yang mampu ia ucapkan. Entah beberapa lama sudah komunikasi mereka terputus sama sekali. Tidak ada dering telepon di sudut kamar, ponsel Josh pun tidak aktif.
           Sedetik kemudian ia beranjak bangkit, “Baiklah, Honey, kau saja yang kupenuhi cinta kini. Sepertinya kita harus segera membeli makananmu yang habis.” Mrs. Dawson berencana berjalan-jalan mengelilingi kompleks sembari membeli makanan Betsy.
            Dengan tertatih-tatih ia berjalan. Tujuannya toko di seberang sana yang menjual fooder untuk Betsy. Anjing manis yang kian dekat dengan perempuan renta itu. Pikiran Mrs. Dawson masih mengembara pada langit biru musim semi ini. Di antara bayang-bayang nasibnya yang terhempas. Sosok perempuan tua bersama anak yang mapan dan entah sedang berpikir apa mengenai ibunya saat-saat seperti ini.  Tepat di depan pintu masuk toko ia terperanjat.
            “Brukh…!” tubrukan yang tak terduga. Betsy terjatuh, Mrs. Dawson berusaha meraihnya. Namun sekali lagi ia terlambat. Barang bawaan lelaki muda itu jatuh tepat mengenai Betsy.
            Mrs. Dawson terpekik, “Oh, My Good…! Betsy!”
           Lelaki yang menjatuhkan barangnya di tubuh Betsy tak kalah terkejut. “Sorry,  Mrs. Kita akan segera membawanya pada ayahku. My father is a docter.” Lelaki muda itu segera meminjam keranjang kepada pelayan toko, meletakkan Betsy yang sepertinya mengalami patah tulang akibat benda yang cukup keras itu.
            Mrs. Dawson bingung. Tapi diturutinya juga langkah tergesa-gesa penubruk Betsy tadi.
           “Di mana rumah Anda, Nyonya? Saya akan mengantar anjing kecil ini jika ia telah sembuh nanti. Sepertinya mesti beberapa hari ia dalam perawatan. Maaf, saya  sangat teledor tadi.” Ia berkata beruntun sambil menyetir mobil dengan cepat.
           Mrs. Dawson cemas, “Tidak apa-apa. Apakah harus begitu? Saya sangat memerlukan kehadiran Betsy di rumah. Oh ya, rumahku di blok tengah kompeks ini, dekat.”
         “Kebetulan sekali! Ternyata kita bertetangga karena saya berada di ujung jalan itu. My name is Reinhard, Reinhard Priyanto.” Jawab pemuda itu terdengar senang.
            Mereka sampai di rumah anak muda yang bernama Reinhard itu. Beruntung sekali, ayah Reinhard sedang ada di rumah. Beliau mengobati Betsy dengan sigap dan sabar. Ramah ia berujar, “Maafkan putra saya Mrs….”
           “Mrs. Dawson!” sambung pemilik anjing mungil itu. “Tidak apa-apa. Saya juga terlalu larut dalam lamunan tadi, sehingga tidak melihat Reinhard. Anak baik ini tidak sepenuhnya salah.” Ia mengatakan hal itu sembari melirik anak sang dokter hewan.
           “Begitulah putra saya. Ia sering terburu-buru jika melakukan sesuatu. Anda tidak perlu khawatir Nyonya, anjing manis ini akan segera pulih. Hanya perlu menggantikan perbannya setiap pagi. Tentu saja jangan lupa obat yang bisa Anda campurkan di dalam makanannya.”
            Mrs. Dawson lega, “Thanks, padahal saya sempat cemas ketika Reinhard mengatakan Betsy harus menginap beberapa hari.”
          “Saya melihat benda yang menubruknya cukup keras, Dad…makanya saya juga sangat khawatir. Tetapi Dad lebih tahu ternyata,” elak Reinhard.
            “Tidak apa-apa…seperti yang saya katakan tadi. Bagaimana jika Anda menghirup teh sejenak menghilangkan kecemasan Anda?”
            “Oh, terimakasih, Anda sungguh baik, Dokter!”
          Ayah Reinhard segera menyuruh anaknya untuk memberitahukan agar sang ibu membuat teh untuk tamu mereka. Reinhard segera beranjak menuju dapur.
            “Anda seorang dokter hewan, tapi saya tidak melihat seekor pun anjing di dalam rumah ini?” tanya Mrs. Dawson bingung.
            “Oh, itu karena keluarga kami moslem, jadi kurang baik bagi kami memiliki binatang kesayangan anjing.
           “Hmm, betul. Saya lupa. Nama belakang Priyanto saja menunjukkan demikian. Apakah Anda imigran dari Indonesia yang berpenduduk muslim banyak seperti sering saya baca? Mengapa anjing tidak boleh ada dirumah? Kalau boleh saya tahu” Mrs. Dawson bertanya sopan. Semua orang menyukai anjing dengan karakter lucu, manis, dan jinak mereka.
          Dokter itu menjelaskan bagaimana pandangan agamanya. Tidak ada larangan untuk memelihara anjing. Namun jika sampai menjadi seekor pet, tentu saja mereka tidak bisa menghindari najis. Mrs. Dawson mengangguk paham.
       Reinhard menghampiri ayahnya dan tamu mereka, “Mrs. Dawson, saya juga punya binatang kesayangan. Ia cantik bukan? Namanya Dora. This is angora cat”.  Reinhard memperlihatkan kucing belangnya pada Mrs. Dawson.
            “Ya, ya…Ia benar-benar memukau. Mungkin suatu saat saya akan memelihara kucing juga.” Mrs. Dawson tersenyum gemas melihat kucing itu. Ia menyentuhnya lembut. Kucing Reinhard ternyata sangat cantik. Bermata tajam dengan warna bak pualam.
            “Mungkin dua bulan lagi Dora akan memiliki anak, karena ia akan segera melahirkan. Anda dapat memilikinya jika mau, datang saja ke sini nanti.” Tawar Reinhard melihat antusiasnya Mrs. Dawson.
            “Thanks, Reinhard. Saya pasti datang jika menginginkannya. Bagi saya Betsy adalah pengganti Josh. Ya, walaupun tidak lucu kedengarannya seekor anjing mampu mengobati kerinduan seorang ibu pada anaknya.” Mrs. Dawson menerawang.
 “Josh menggantikan kesepian saya ketika ia tinggal di kota lain  dengan seekor anjing. Saya senang, meski lama-lama seperti ironi bukan? Tapi saya paham sebenarnya ia mencintai his mom.”
            “Maafkan saya membuka kesedihan anda. Tetapi anda bisa berbincang dengan istri saya jika ingin sekadar ngobrol. Kebetulan sekali ia adalah ibu rumah tangga yang banyak memiliki waktu senggang.”
            “Tentu saya akan menyukai hal itu nanti. By the way mana istri anda? Saya tak melihatnya dari tadi.”
            Dari dapur nampak seorang perempuan membawa nampan berisi teh dan setoples makanan ringan. “Ya, saya sangat senang jika kita bisa berbincang banyak hal Mrs. Dawson” Rupanya ia mendengar pembicaraan terakhir suaminya tadi. Lagipula Reinhard telah memberitahu nama tamu mereka.
            Mereka berbincang banyak hal. Mrs. Dawson merasa senang mengenal keluarga Amerika yang merupakan imigran Indonesia tersebut. Mereka sangat tulus dan bersahabat. Melihat Reinhard, ia teringat Josh ketika masih kuliah dulu. Anak muda yang penuh semangat dan enerjik. Tiba-tiba ia menginginkan Josh pulang dan memeluknya.
            Dengan diantar Reinhard Mrs. Dawson pulang membawa Betsy. Ia berharap Betsy segera sembuh dan kembali membawa keriangan. Rasanya tak mungkin membawa Betsy berjalan-jalan mengitari kompleks dalam keadaan sakit. Kadangkala ia juga menemui teman-teman sesama pemilik anjing di sebuah klub pecinta anjing. Betsy senang sekali bertemu dan bermain dengan anjing-anjing lainnya.
          Perlahan-lahan kesehatan Betsy kian membaik. Mrs. Dawson merawat dan mengobati lukanya dengan cermat.
  Namun, Josh… anak itu keterlaluan sekali. Baru sekali itu Mrs. Dawson memaki anaknya, meskipun dari jarak yang berjauhan. Sewaktu ia menelpon ibunya setelah berbulan-bulan tak memberi kabar ia hanya menanyakan Betsy. Dirinya membatin, “Mungkin ketuaan telah membuat perempuan ini terlalu sentimentil?”
 “Apakah mom tidak terlalu penting Josh? Hingga tak perlu kau cemaskan. Bahkan kau hanya berpesan agar menjaga Betsy dengan baik,” gerutunya. Ia tidak ingin menyatakan hal itu langsung kepada Josh. Tapi ia ingat persis pembicaraannya dengan Josh beberapa minggu lalu.
            Josh bertanya, “Mom, bagaimana keadaan Betsy? Apakah ia baik-baik saja? Kenapa Mom tidak memberitahukanku cepat-cepat.”
          “Tak perlu cemas Josh, Mom telah merawat Betsy dengan baik hampir setahun.” Jawab ibunya seperti sebuah  sindiran tajam. Ia berharap Josh bertanya kabar dirinya dan sedikit bercerita banyak hal tentang pekerjaan dan kehidupan barunya.
         Josh malah menutup pembicaraan, “Okey, Mom. Aku sedang sibuk! Beberapa temanku sedang bertamu. Aku akan menghubungi Mom lagi nanti.”
            Mrs. Dawson kecewa. Ditatapnya Betsy yang sedang tertidur lelap dipangkuannya. Josh tak pernah menghubunginya lagi hingga detik ini.
***
            Betsy hilang. Mrs. Dawson benar-benar kelimpungan. Sudah dua hari anjing putih berbercak hitam itu tidak diketahui keberadaannya. Mrs. Dawson tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Meski pun Betsy seekor anjing, tidak mudah ia menggantikannya dengan anjing lain. Cukup Josh yang hilang, walau pada kenyataannya anak lelakinya itu masih ada.
          Ia berjalan mengitari setiap rumah yang terlewati. Pendengarannya coba dipertajam. Terakhir ia melihat Betsy ada di halaman rumah keluarga Wilson yang selalu sepi. Waktu itu Betsy masih sempat memanjat pagar kayu rendah yang berwarna putih di rumah tetangganya tersebut.
             Ia ingin bertanya kepada keluarga di seberang rumahnya, rumah Mr. Wilson. Tapi ia terkejut karena tiba-tiba Betsy berlari diikuti seorang gadis kecil.
            “Stop, stop…!Dalmatians, tunggu saya!”
            Betsy melompat kearah Mrs. Dawson yang membentangkan tangannya.
          “Kenapa gadis kecil, kau memanggilnya Dalmatians?” tanya pemilik Betsy yang asli itu bingung. Ia mengelus sayang Betsy yang bergelayut manja di pelukannya.
            “Ia telah menemaniku, aku membutuhkannya Nyonya. Berikan ia padaku! Dal sangat lucu.” Tampak sekali ia memelas dengan dibuat-buat. Mungkin gadis kecil itu berpikir dapat membuat iba wanita tua di depannya. 
             Mrs. Dawson tersenyum, “Mengapa kau sangat menginginkannya, anak manis?”
     "Aku tidak memiliki teman. Mom and dad terlalu sibuk untuk menemaniku di rumah,” ia mengungkapkannya dengan polos. Penuh harap menatap Betsy dan Mrs. Dawson bergantian.
            “Kau memberi namanya Dalmatians?” tanya Mrs. Dawson. Gadis kecil itu mengangguk.
“Nama yang bagus, bagaimana jika Betsy Dals saja? Dan anjing ini menjadi milikmu,” tawarnya
         “Benarkah? Anda sungguh baik hati,” ia menjawab girang. “Guk, guk, guk…” Betsy menyalak. Sepertinya Betsy riang disambut gadis kecil itu.
          Mrs. Dawson melihat potret dirinya di mata gadis kecil pirang itu. Sudah saatnya ia memberikan kebahagiaan untuk orang yang bernasib sama sepertinya. Dan Mrs. Dawson cukup bahagia dengan perbuatannya menyerahkan Betsy.
 Besok mungkin akan dipeliharanya kucing untuk menumpahkan perhatiannya. Harapan yang acapkali tak memiliki tempat berlabuh. Tawaran Reinhard kemarin patut dipertimbangkan. Dalam pengamatannya, Reinhard begitu menyukai pertemanan dengan kucing. Mungkin juga dirinya nanti seperti itu.[]

Bukan Super Robot

Dimuat di Majalah Ummi, edisi Juli 2012 

Zaidan mengucek matanya sambil keluar dari kamar, ketika Bunda mengetuk pintu. “Waktunya les matematika lho, tidak lupa kan?”
Zaidan menggeleng, lalu menguap sambil menahan kantuk, “hoaamm….”
“Bunda,  Zaidan malas les hari ini. Zaidan mau tidur lagi,” katanya lemas. Tak biasanya Zaidan mengeluh. Padahal Om Akbar, guru lesnya sudah di ruang tamu.
“Kasian Om Akbar, dong. Dia sudah menunggu dari tadi.”
“Hah? Jadi Om Akbar sudah datang? Zaidan tidak jadi malas, Zaidan wudhu’ saja biar tak mengantuk,” ujarnya terkejut. Buru-buru ia ke kamar mandi. Bunda tersenyum saja.
Zaidan sekarang kelas 4 SD. Usai sekolah, dia mengikuti banyak kegiatan. Hari Senin, Rabu, dan Jum’at les Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Hari Selasa latihan karate, belum lagi les renang Minggu pagi. Kamis dan Sabtu pun  Zaidan masih harus les musik, karena dia ingin sekali bisa bernyanyi dan memainkan biola. Les-les itu sebenarnya kemauan Zaidan sendiri. Bunda hanya memberikan pilihan dan mendaftarkan.
“Huh, kapan aku bersantai kalau begini?” keluh Zaidan begitu Om Akbar pulang. Dia ingin sekali bermain pIay station, tapi karena selepas Magrib harus belajar mengaji dengan Bunda, Zaidan mengurungkan niatnya. Lebih baik mandi, karena sejak tadi belum Shalat Ashar. “Keburu habis waktunya,” pikir Zaidan. Nasehat Ayah, shalat menandakan seseorang masih beragama Islam. Hihh, seram sekali kalau dirinya dijuluki bukan orang Islam.
Sekarang Zaidan sudah selesai shalat, tapi kantuk yang menyerang membuatnya tak bisa bertahan melek. Alhasil, dia pun tertidur di atas sajadah.
***
Zaidan baru saja keluar dari sekolah. Dia merasa capek dan haus sekali. Bukannya mengambil botol minuman di tas, Zaidan memencet tombol di jam tangannya. Seketika dia tak merasa haus dan capek. Kakinya segera meluncur seperti ada roda yang menempel. Tidak begitu lama dia sudah berada di rumah.
Zaidan tak melihat Bunda di rumah. Dia pun menyetel televisi yang menampilkan musik dengan suara keras. Anak lelaki itu berjingkrak-jingkrak senang. Tak terasa, waktu menunjukkan jam 16.00 WIB. Zaidan belum makan sama sekali, tapi tak merasa lapar. Kok? Dia telah menekan tombol ‘charge energy’ di jam tangan, kekuatannya pulih.
Saat mengaji usai Magrib, Bunda dibuat heran. Zaidan lancar sekali mengaji, bahkan seperti sudah hapal semua surat pendek. “Lho, kok Zaidan hari ini pintar mangaji? Subhanallah,” puji Bunda. Dia pun tertawa dalam hati, dia telah membuka memori ‘mengaji” di jam tangan andalan.
Besoknya Zaidan latihan renang. Apa yang terjadi? Lagi-lagi Zaidan berenang gaya kodok dengan mahir. Bahkan dia mengalahkan Faisal, Ridho, dan Fadlan yang mengikuti les renang jauh lebih dulu.
 “Kamu kok sekarang kuat sekali? Pasti latihan renang di luar juga ya, Zaidan?” tanya Ridho. Zaidan hanya tertawa. “Nggak kok, aku memang hebat dan calon perenang handal. Hehehe… Zaidan dilawan,” jawabnya bangga. Lagi-lagi hatinya berseru, “tentu saja aku hebat di segala bidang. Aku kan si super robot.”
Teman-temannya melotot kagum tidak percaya. Tepat saat itulah adzan Magrib berkumandang. Zaidan tiba-tiba terbangun. Oaalah… ternyata Zaidan hanya bermimpi. Bukan super robot seperti di film.
***
Pagi itu Zaidan menikmati sarapan roti lapis selai strowberry . Segelas susu dihabiskannya. Sementara Ayah sudah berangkat duluan karena ada persiapan kunjungan kantor pusat. “Jangan lupa, hari ini les Bahasa Inggris ya. Ulangan Zaidan minggu lalu kan belum bagus. Jadi Tante Nisa akan membantu kesulitan Zaidan,” ujar Bunda.
Zaidan panik. Pulang sekolah nanti dia ingin ke rumah Afif, teman les musiknya. Afif berjanji akan memperlihatkan biola barunya. Ingin sekali Zaidan melihatnya, karena kata Afif biola itu dipesan dari teman papanya di luar negeri. “Tapi Bunda, Zaidan sudah janji ke rumah Afif.” Dia pun menceritakan rencananya.
 “Yah, bagaimana dong? Kan Zaidan sendiri yang mau jago Bahasa Inggris, jadi diplomat. Lagi pula, hari ini memang jadwal les Bahasa Inggris lho.” Mendengar kata Bunda, Zaidan jadi teringat mimpinya.
“Zaidan bukan super robot, Bunda! Capek les ini itu. Zaidan mau main musik saja.”
Bunda pun tertawa kecil, berdiri, dan duduk di samping Zaidan. “Yang bilang Zaidan robot siapa? Ya sudah, kalau sedang bosan, nanti Bunda telpon Tante Nisa supaya lesnya ditunda.”
“Horeee… Bunda baik banget. Terimakasih, Bunda!” seru Zaidan. Terbayang hari ini akan menyenangkan main ke rumah Afif.
***
Sesuai rencana, Zaidan ke rumah Afif. Ternyata biola dari Italia itu indah sekali. Suaranya pun halus ketika Afif mempersilakan dia mencobanya. Zaidan benar-benar terpesona. “Wah, seandainya Ayah bisa membelikanku juga. Kamu beruntung sekali, Fif,” sahut Zaidan.
Afif tersenyum masam. Sebenarnya dia tak begitu mengharapkan biola itu, karena koleksi biolanya lebih dari cukup. Dia hanya ingin punya mama yang ada di rumah, seperti Bunda Afif. “Aku jarang sekali ketemu Mama. Apalagi papa yang super sibuk. Jadi ya terpaksa, supaya tidak kesepian aku disuruh les setiap hari. Bosan, aku kan bukan super robot,” jelas Afif kesal.
Hah? Zaidan terkejut. Afif mengeluhkan hal yang sama, bukan super robot. Bedanya ia mengikuti banyak les karena pilihan sendiri. Dia ingin jadi diplomat, piawai bermain musik, menjadi juara, dan sehat dengan olahraga. Bunda pun perhatian dan senantiasa mengingatkan jadwal hariannya. “Hehm… Jadi aku lebih beruntung dari Afif. Kasian sekali dia,” ujar Zaidan dalam hati.
Ketika pulang ke rumah, Zaidan pun langsung menemui Bunda. Dia memeluk Bunda. “Terimakasih ya, Bunda perhatian banget dengan kegiatanku,” ucapnya tulus. Bunda pun bingung, tapi segera mengerti setelah Zaidan bercerita.
“Oh, jadi begitu? Doakan saja biar Afif bisa sabar. Lalu orangtuanya bisa sadar untuk menyediakan waktu buat Afif.”
“Iya, Bunda. Afif sebenarnya anak yang baik.”
“Nah, sekarang bagaimana dengan setumpuk jadwal les Zaidan? Anak Bunda bukan super robot, kan?”
Zaidan pun tertawa. Lalu tertunduk malu. “Iya sih Bun, kadang-kadang capek. Tapi Zaidan sehat karena ada les karate dan renang, jadi capeknya hilang.”
Bunda tersenyum senang. Beliau berkata bijaksana, “Benar nih? Bunda sudah memikirkan, Zaidan boleh kok menghilangkan beberapa jadwal les. Zaidan pasti lebih tahu mana yang harus didahulukan. Jadi bisa tetap bermain atau bersantai.”
Zaidan jadi bingung dengan tawaran Bunda. Dia benar-benar tak ingin melepaskan satu pun jadwal lesnya. Hanya saja, dia mengingat betapa enaknya bisa bermain play station atau kelereng bersama Doni, tetangga sebelah.
“Nanti deh, tunggu Ayah pulang untuk minta pendapat. Ayah pasti tahu, Zaidan bukan super robot Bunda,” jawab Zaidan mantap.
Bunda dan Zaidan pun tertawa bersama. Hari itu benar-benar menyenangkan.[]

Selasa, Juli 03, 2012

Cerpen Anak Karyaku di Majalah Ummi

Senangnya hari ini. Di kantor, di atas meja aku mendapatkan Majalah Ummi edisi Juli 2012 yang memuat cerpenku. 

Ehm, lumayan untuk pemanasan setelah mengirimkan beberapa cerpen anak ke media, Ummi lah yang memuatnya terlebih dulu. Obsesiku sejak lama, menulis cerpen anak baru sekarang terwujud.

Sebenarnya saat di bangku kuliah aku pernah menulis novel anak, namun sayang tak kelar. Kemudian baru setelah mempunyai anak, barulah cerpen anakku bisa dimuat, hehehe... Mengasyikkan membuat cerpen anak menurutku adalah ceritanya sederhana, dengan bahasa yang sederhana, dan space yang tak terlalu banyak. 

Hasilnya? Honornya mungkin sama dengan cerpen umum, ahaha.... Nggak lah, lebih dari sekadar side job, menulis cerpen anak membanggakan bagiku. Senang bisa membuat anak-anak tersenyum menyimak cerpen yang kubuat, syukur-syukur bisa memetik pesan moral yang tersurat atau tersirat. Dan aku ingin suatu saat nanti, anakku bisa bangga, ternyata Panda-nya tidak hanya bisa menulis untuk konsumsi umum, tetapi juga untuk anak-anak. Mungkin inilah motivasi terbesarku, sehingga bisa dengan mulus menulis cerpen anak dan berhasil dimuat. 

Ehm, semoga ini pemanasan yang baik di tengah tahun 2012 ini. Sebelumnya aku mengirim juga cerpen anak ke Majalah Bobo via pos, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Mudah-mudahan bisa dimuat ya, aamin. 

Oh ya, sampai lupa cerpenku yang dimuat ini berjudul "Bukan Super Robot". Ceritanya? Beli aja lah ya, mumpung masih anget di toko buku atau lapak-lapak pinggir jalan, ahahaha.... Nanti, mudah-mudahan cerpen tersebut bisa saya posting di sini pula.