Senin, Juni 13, 2011

Mencari Sebuah Masjid


Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya
menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana

Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?

Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata :

“Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan”

dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.

Jeddah, 30 Januari 1988
Taufiq Ismail
(Ilustrasi diambil dari http://ns1.indonesia.travel/en/destination/467/padang/tips)

**Selalu ada tempat pulang. Tempat di maka kita menyakini, itulah sebenarnya rumah bagi kita**

Kamis, Mei 19, 2011

Merengkuh Puncak Gunung Gede Pangrango

Weekend lalu, 14-15 Mei 2011
Ini kali pertama aku naik puncak gunung. Biasanya keluar masuk hutan atau ke kebun di Bengkulu yang medannya sedikit menanjak. Perjalanan yang menakjubkan, karena capek bercampur semangat membuahkan hasil memuaskan. Merengkuh Puncak Gunung Gede! Puncak berkawah setinggi 2.958 meter (9.705 kaki)akhirnya berhasil kami daki.

Gunung Gede sendiri termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Jawa Barat, yang konon merupakan taman nasional tertua di Indonesia. Pintu masuk menuju puncak Gede adalah Selabintana (Sukabumi) yang sudah ditutup karena medan yang berbahaya, pintu Gunung Putri (Cianjur atau Bogor?), dan Cibodas yang paling umum digunakan pendaki. Nah, Gunung Gede ini berdampingan dengan Gunung Pangrango yang sedikit lebih tinggi, yakni 3,019 meter.

TIM EMPAT BELAS

Empatbelas orang bergabung dalam tim. Sembilan lelaki (Mas Sigit, Mas Amin, Yudha, Tiko, Asep, Udin ke-11, Deden,Iwan, dan aku) serta lima perempuan (Mbak Aini, Mbak Esthi, Indah, Lasmi, dan Megawati yang sendirian dari Bandung). Tim ini keberangkatannya dikoordinir oleh Mbak Aini, istrinya Mas Sigit. Namun praktiknya di lapangan kita dipimpin Asep yang lebih menguasai lapangan. Hehehe, uniknya, tim ini ndak saling mengenal seluruhnya toh... Ada temannya teman... Malah ada yang nggak punya teman, ahahaha. Kayak Indah yang mengajak adiknya Tiko. Sebenarnya Indah berteman dengan Nur Rofi yang sedianya ikut tim, tapi nggak jadi karena saudaranya mendadak masuk rumah sakit. Jadilah di Tim 14 ini dia nggak punya teman, tapi akhirnya berteman semua, makin lama makin rame euy...

KEBERANGKATAN

Kami sepakat bertemu di terminal Kampung Rambutan, Jum'at (13/05/11) ba'da magrib. Ujung-ujungnya baru bisa berangkat sekitar Pukul 22-an malem. Beberapa teman telat, sehingga harus menunggu berkumpul. Cuaca hujan membuat terminal bau pesing (hahaha....) itu sedikit dingin. Tengah malam lewat, baru nyampe Cibodas. Atas rekomendasi Lasmi yang anak IPALA (Ikatan Pecinta Alam Islam Indonesia) kita istirahat di Warung Mang Idi. Besok pagi rencananya baru naik, karena masih harus verifikasi Simaksi alias surat izin pendakian, karena baru mendaftar secara online saja.

Paginya, semua bersiap. Aku sebenarnya nggak nafsu makan, tapi karena butuh fisik yang fit, dipaksa-paksain juga. Hehe, bener tebakanku, sambelnya aja manis :-(. Nggak terbiasa dengan makanan yang serba manis, apalagi sambel (kan harusnya pedes). Abis itu aku minum segelas susu. Ehm, alhamdulillah... Semoga cukup untuk energi awal naik. Setelah semua siap, kita berangkat ke kantor TNGP buat ngurus Simaksi tadi. Agak lamban, karena ada fotokopi yang tertinggal, nonton film dulu tentang TNGP plus presentasi Ardi Andono, orang TNGP. Alhasil, berangkatnya kalo nggak salah sekitar pukul 10.30 WIB.

Sampai di pintu masuk TNGGP, kita melewati pos pemeriksaan. Rupanya nggak boleh bawa senjata tajam alias golok. Kalau pisau masih boleh. Cukup banyak hari ini yang antri naik. Maklum long day weekend karena hari Selasa Waisak, lalu PNS dan beberapa perusahaan libur bersama hari Seninnya.

Berangkat dari sinilah, jalanan mulai menanjak. Di resort TNGGP tak jauh dari pos penjagaan kita sempatkan berdoa. Bagi yang ingin ke toilet masih tersedia di sini. Kata Asep, "Sekarang boleh nanya toiletnya di mana? Setelah ini, toiletnya ada di mana-mana." Hehehe... benar saja. Aku aja dua kali bikin toilet buat BAB di kawasan TNGGP memiliki luas 22.851,03 hektar itu, ahahaha...

Awalnya tim berjalan berombongan, berdekatan. Lama-lama berkelompok-kelompok kecil. Ada yang cepet ada yang lama jalannya. Ini baru bener-bener track-nya. Aku bertiga dengan Asep dan Indah. Jalan beberapa ratus meter, istirahat, jalan, istirahat... begitulah. Benar-benar bikin kaki pegal dan tenggorokan cepat haus. Sementara di depan telah meluncur jauh Lasmi, Tiko, dan Iwan. Di belakang ada rombongan Mbak Aini dan teman-teman yang lain. Lalu di belakangnya lagi, Mas Amin yang berangkat bareng Mega yang ditinggal karena telat. Piss ya, Mega.

Lama berjalan dengan tanjakan yang jalannya lumayan luas, bisa buar berjejer tiga orang mungkin. Kami menemukan Telaga Biru. Ehm... hiburan pertama ini. Sampai di Telaga Biru cuaca sedikit mendung dan gerimis. Dingin mulai menyengat, aku sudah memakai baju hangat, dan kaos tangan. Lumayan membantu, karena tangan mulai mengeriput dan pucat. Telaga Biru, awalnya aku mikir ini danau airnya biru, dalem, dan luasss. Tapi ternyata tidak begitu, airnya hijau bening (kadang-kadang memang berubah biru sesuai namanya). Luasnya pun terbilang kecil, kayak kolam aja, hehe... Mungkin sekitar seratus meter persegi lebih. Cuma karena letaknya di belantara hutan, membuatnya menjadi istimewa. Keren lah.



Lalu perjalanan terus berlanjut, tanjakan menyempit hingga cukup untuk satu orang saja. Di tengah jalan kerapkali bertemu pendaki lain yang turun dan naik. Bahkan ada rombongan Pramuka penegak yang berjalan santai sambil nyanyi-nyanyi. Kompak banget. Mereka juga membawa plastik besar untuk mengumpulkan sampah yang berserakan. Good job's. Aku jadi teringat pengalaman Pramuka sepuluh tahun-an lalu di SMA, hehehe... Di Telaga Biru kami mememutuskan istirahat sejenak sambil menunggu rombongan Mbak Aini, Mbak Esthi, Mas Sigit, dan teman lain. Lasmi cs yang di depan tetap melaju, nggak sempat ketemu. Kalau nggak salah, di sini waktu sudah menunjukkan Zuhur.

Perjalanan terus lanjut. Berturut-turut kami melewati berbagai objek wisata alam yang menarik. Subhanallah. Setelah Telaga Biru, lantas bertemu kawasan Air Panas yang mengalir deras dan menuju tebing curam. Track ini lumayan menantang. Bayangkan, pendaki mesti melewati aliran air panas yang deras dengan melompati batu-batu kecil. Uap panas bergumpal-gumpal membumbung. Di sebelah kiri adalah jurang curam yang kalo terjatuh kayaknya wajib wafat. Serem juga! Untungnya oleh pengelola diberi pegangan yang memudahkan pendaki melewatinya. Di sini kami sholat Ashar plus Zuhur yang tadi belum ditunaikan. Agak kesal aku di sini, karena lokasi Air Panas sangat kotor, sampah di mana-mana dan bau. Jadi menganggu indahnya keajaiban Allah di TNGGP tersebut. Sekitar sejam kemudian, rombongan Mbak Aini menyusul sampai. Mas Amin dan Mega juga sudah sampai, alhamdulillah. Rombongan Lasmi? Teteuup, udah melenceng jauh ke depan, xixixi...

Abis sholat, perjalanan kembali digeber. Perut udah mulai laper. Aku, Indah, dan Asep sempat makan buah pear tadi di jalan. Sempat juga makan nasi uduk (nan dingin dan keras)yang dijual penduduk setempat yang melintas. Track makin parah, tanjakannya lebih tajam, licin, dan tetap berbatu-batu. Beberapa pohon besar melintang, membuat energi lebih cepat habis. Menjelang gelap kami bertemu Air Terjun/Curug Ciebeureum. Airnya mengalir deras dan jernih. Kutaksir tingginya sekitar 10 meter. Tidak terlalu tinggi memang. Titik-titik air aliran deras itu mengembang di udara, membuat tim semakin merapatkan jas hujan, karena bercampur dengan gerimis. Berrrr.... dingin euy.

Melihat kondisi medan yang mulai gelap, atas rekomendasi Asep kami berencana untuk menginap di Kandang Badak. Tempat yang memiliki area datar cukup luas yang biasa digunakan pendaki mendirikan tenda. Melenceng dari rencana semula yang berharap sampai di Puncak Gede maagrib dan mendirikan tenda di sana. Sesampainya di sana, syukurlah Lasmi, Tiko, dan Deden mengambil inisiatif berhenti di sana juga. Jadi semua tim berkumpul. Kondisi hujan deras dan semua kami KELAPARAN. Deden terlihat memasak beratapkan ponco. Lumayan, abis minum kopi anget tim mulai bergerak. Membangun tenda, membentang flysheet. Sementara Deden yang jago masak ternyata tetap bertindak sebagai koki. Lasmi dan Tiko kabarnya tinggal di pos TNGGP yang berbentuk bangunan, nyaman. Hehe...aku nggak tau bagaimana bentuknya.

Selesai tenda di bangun, semua beres-beres di tengah hujan. Tenda pun basah. Aku memasang matras di tenda laki-laki, dan meletakkan sleeping bag. Siap-siap buat tidur nanti. Menyenangkan sekali. Kami makan sambil menceritakan pengalaman masing-masing. Menunya? mie plus telor. Setelah sholat, aku pun beranjak memasukkan tubuh di sleeping bag. Menyusul Mas Amin, Mas Sigit, Yudha... O lala, paginya cewek-cewek pada komplain nggak bisa tidur karena dari tenda cowok ada suara dengkuran super keras. Hahaha, aku mah sama sekali nggak ngeh siapa yang ngorok. Yang jelas, aku nggak punya kebiasaan itu, sumpah! Jadi lah malam itu aku tidur lumayan nyenyak, meskipun lantai tenda sedikit miring dan ada batu yang mengganjal. Intinya tidak basah dan (begitu) kedinginan karena terbungkus sleeping bag. Cuma merasa ada basah-basah dikit di kaki, bukan karena ompol lho, hehe... sumpah lagi!

Malam itu, sebelum tidur kami sudah sepakat akan mendaki ke puncak sebelum subuh. Cuma membawa bekal secukupnya, sementara Deden sudah bersedia menjaga tenda. Harapannya bisa melihat sunrise. Pukul tiga-an aku udah denger ribut-ribut. Deden (lagi-lagi) memasak air dan nasi. Mas Udin ke-11, Mas Sigit, Asep, sudah bangun. Ada juga Mbak Aini, Mbak Esthi, Mega. Kayaknya mereka siap-siap. Aku pun bangun. Gawat euy kalo ketinggalan. Menyesal mewek di Kandang Badak nantinya.

Perbekalan siap. Kali ini yang naik jadi berkurang. Tanpa Deden, Mbak Esthi yang nggak pede karena takut kolaps dan ngerepotin tim katanya, plus Indah. Di belakang kami nantinya, menyusul Lasmi, Iwan, dan Tiko. Perjalanan menuju puncak cukup menantang. Malam-malam menyusuri jajaran pohon-pohon besar yang rapat, batu terjal yang mendaki, plus bunyi binatang malam yang mistis, lebayyy! Perutku mules, biasa, kalo makan mie seadanya suka begini. Untung bisa berhenti ketika teman-teman sholat Subuh. Setelah tertunaikan panggilan alam, baru lega dan semangat lagi jalannya.

TANJAKAN SETAN
Menuju puncak Gunung Gede kami menemukan tanjakan yang gila abis. Terjal, berbatu cadas. Pantas disebut tanjakan setan, yang belakangan aku tau dari teman kantor namanya. Salah-salah bisa jatuh dan tergelincir. Untungnya hari mulai terang. Yups, kelewatan tuh liat sunrise dari puncak Gede. Sebagai gantinya kami berfoto-foto di tengah tanjakan setan yang punya celah cukup luas dan datar. View-nya? Ehm... bikin ngiler. Gunung Pangrango nampak di seberang sana dengan gagahnya. Puas jeprat-jepret perjalanan dilanjutkan. Capek banget. Karena track yang cadas dan tebing curam bikin cepat lelah. Berkali-kali istirahat dan berharap puncak itu sedikit lagi, sedikit lagi, dan sampe. Teh anget dari termos Asep sampe ludes diminum bergantian. Aku penasaran banget, seperti apa puncak Gunung Gede itu? Menakjubkan kah? Indah?


DAN, AKHIRNYA...
Setelah capek banget, (sedikit) mengeluh, kami pun sampai. Waktu menunjukkan sekitar Pukul 06. 30 WIB.
Subhanallah. Begitu sampai, seperti ada pintu kecil yang kami lewati dan tiba-tiba bertemu alam yang amazing. PUNCAK GUNUNG GEDE...! Berdiri kokoh. Langit membumbung biru bersih. Bau belerang tercium menyengat menyapa indera penciuman.
Puncak Gede terlihat begitu anggun sekaligus menyimpan kengerian karena terpampang kawah yang begitu dalam di depan mata. Asap mengepul bergumpal-gumpal.

Inilah saat-saat yang kutunggu. Melihat ketinggian salah satu bentuk permukaan bumi Allah, melihat ketinggian kehebatan Allah menciptakan bumi untuk manusia. Subhallah, Alhamdulillah. Tidak puas-puasnya aku menggumamkan takbir atas kebesaran Allah. Tunai sudah kelelahan mendaki puncak yang butuh perjuangan luar biasa.

Kami pun berfoto-foto, hehe... Narsis-narsisan. Di sini terlihat siapa yang sebenarnya narsis abis dan paling banyak gaya. Hayooo, ngaku? Puncak Gede terus kami susuri dengan jalan di pinggiran kawah yang cukup membuat saya ngeri membayangkan seandainya jatuh. Tujuan selanjutnya adalah Alun-alun Surya Kencana, tempat edelweis tumbuh membentuk taman di ketinggian Gede.





Alun-alun Surya Kencana merupakan padang rumput luas yang menjadi bumi perkemahan. Letaknya sekitar setengah jam dari puncak Gunung Gede dengan posisi menurun. Dari Puncak Gede terlihat jauh dan rasanya butuh perjuangan lagi menjejakkan kaki di sana. Puluhan tenda pendaki berdiri mungil dan rapi menambah indah di lihat dari atas. Kami sampai di Alun-alun Surya Kencana sekitar pukul 08-an. Indah, hijau, berpagarkan Gunung Gede, Gunung Putri, dan gunung lain yang tidak kuketahui. Di pinggirnya menyemak edelweis yang indah, rimbun. Sungai kecil membelah padang rumput luas ini. Airnya dingin, jernih dan langsung bisa diminum. Sempat aku cicip langsung, segar dan manis!

Sembari duduk menikmati alun-alun, kami share cerita horor yang kerap menyambangi pendaki. Dari mulai bertemu mayat, mau dinikahkan dengan putri nenek-nenek gaib, pasar setan, dan sebagainya. Konon, alun-alun ini juga menjadi tempat persinggahan Prabu Siliwangi. Tidak beberapa lama kemudian, muncul Lasmi, Tiko, dan Iwan, yang kayaknya telah menjadi tiga sekawan, wakakaka. Mereka membawa nasting, dan makanan mentah. Jadi masak-masak deh, bisa bikin teh hangat juga, karena kami cuma membawa biskuit dan air putih. Puas sudah menelusuri Alun-alun Surya Kencana. Sempat juga aku, Mega, Asep, dan Tiko menyita camdig Mas Sigit untuk foto-foto di rimbunan edelweis. Kapan lagi kalo nggak sekarang?

TURUN GUNUNG
Kami pulang dari puncak Gede. Rombongan tetapku pulang adalah Mbak Aini,Yudha, dan Mas Sigit, karena yang lain sudah ngacir duluan. Di tanjakan setan kami sempat khawatir, apakah lewat jalan lain atau turun dengan tali di tanjakan mengerikan tersebut. Akhirnya diputuskan menerima tantangan tanjakan setan. Takut di jalan jalan malah tersesat. Mbak Aini sempat beberapa kali mau terpeleset. Untung ada tim lain yang membantu, aku dan Yudha di bawahnya juga ikut berjaga-jaga. Hebat euy, Mbak Aini pantas saja gampang lelah. Ketahuan, besoknya di Jakarta dia ternyata sudah mengandung beberapa minggu. Alhamdulillah, sang jabang bayi nggak apa-apa.

Sampai di base camp, masakan sudah tersedia. Wow, kali ini menunya komplit. Mulai dari sop bakso, ayam goreng, oseng-oseng tempe, kering tempe, spagheti (ini buat bekal pulang). Akhirnya makanlah dengan lahap. Mas Amin dan Udin ke-11 udah nyampe sedari tadi. Ketika lagi makan, sampai juga tiga sekawan yang bergabung ikut makan. Usai makan kami pun prepare buat turun, kemasin barang pribadi, dan bongkar tenda. Ada masalah, Deden mau buang nasi karena kebanyakan. Untunglah, dicegah. Kami memberikan nasi, ayam siap goreng, kering tempe, plus bahan sayur asem kepada tetangga yang masih bertahan di sana. Mereka berterimakasih sekali :-D

CIBODAS, JAKARTA....
Kami berangkat sekitar Pukul 14 siang dari Kandang Badak. Sampai di Cibodas Pukul 20-an, malam. Langsung menuju Mang Idi dan bersih-bersih, lalu memesan angkot untuk balik ke Jakarta. Berhenti di Kampung Rambutan Pukul 00 lebih. Tim berpencar ke arah rumah masing-masing. Perjalanan usai sudah! Jam menunjukkan Pukul 01-an ketika aku sampai di rumah, Kampung Gedong, Pasar Rebo. Alhamdulillah. [Elzam]

**Manusia, di mana-mana ayat-ayat Allah akan menunjukkan cinta padamu. Pun demikian gunung yang menjulang, menancap tegar tertanam bumi**

Selasa, April 05, 2011

April, My Fam's Day



April

Bulan yang bertabur harapan dan menuang banyak ragam. Jejak waktu yang merekam pertama perjalanan keluargaku. 17 April 2010 aku menikah. Menggenapkan separuh agama bersama istri tercinta, Yeni Nuraeni.

Kadang aku berpikir, betapa hebatnya Allah. Hanya dalam waktu tidak lebih dari seminggu aku menuntaskan keputusan, siap menikah dengannya. Dan dalam waktu lebih sedikit dari dua bulan, kami menetapkan tanggal pernikahan. Lebih dari itu, semua yang ada pada dirinya dan aku cepat sekali menemukan penyesuaiannya, atau apa ya istilah yang penting? Maksudku, tidak ada rasa asing, canggung, atau perasaan-perasaan aneh ketika diharuskan hidup satu rumah, karena mengingat perkenalan kami sangat terbatas waktunya. 13 April 2010 dipertemukan teman kantor. Bisa dibayangkan, apa yang didapat dari interaksi selama itu. Lagian kami tidak jalan bareng, makan bareng, atau kegiatan lain yang dilakukan bersama. Saya meyakini, inilah anugerah yang Allah berikan, memberikan pasangan jiwa sama halnya seperti rezeki. Kita tidak tahu kapan datangnya, siapa, dan kapan.

Terimakasih istriku, atas cinta yang telah menyematkan jiwa kita pada tempat yang terhormat; rumah tangga.

April...

Bulan yang bertabur harapan dan menuang banyak kegembiraan, Insya Allah. Bulan ini, diprediksi, bayi kami akan lahir. Sekarang kandungan Yeni udah masuk minggu ke-37. Benar-benar mendebarkan menunggu kelahiran anak pertama kami, yang menurut hasil USG perempuan. Lucunya, kalau ke mana-mana, aku sering memerhatikan anak perempuan (sebelumnya suka melihat anak laki-laki yang lucu, apalagi aku terbiasa akrab dengan keponakanku yang kebetulan laki-laki). Kadang kepikiran, gimana rupanya ketika berjalan, sudah bisa tertawa, bermain bersama teman, jalan-jalan, dan ragam aktivitas lainnya.

Nak, dalam setiap shalat Panda berdoa. Semoga kelahiran Ananda lancar, dimudahkan Allah, dan selamat bersama Manda. Semoga Allah menyempurnakan fisik dan rupamu, menyempurnakan akhlak dan agamamu, menyempurnakan kesehatanmu, dan menjadi sosok yang berguna bagi banyak orang nanti, aamin ya Rabbil alamin.
April

Rabb, jadikan ia waktu yang membuat aku membingkai kaca dan memantulkannya dalam nyata. Memaknai kecintaan-Mu pada hamba dengan penuh kesyukuran dan qona'ah yang sempurna, aamin.[Elzam/gambar dari http://areamalta.wordpress.com]

**Apa yang kita miliki sekarang, maka itulah yang pantas kita hargai. Apa yang kita angankan, pada nyatanya kita tidak tahu apa memang berharga**

Kamis, Maret 24, 2011

Pelatihan Skenario ala BSP



Assalamua'alaikum....
Udah lama nggak posting di blog. Ehm, dari dua hari lalu udah niat buat nulis, tapi males banget ngetiknya. Penyakitku ya ini, selalu menunda-nunda untuk berkreativitas. Ada saran?

Pengen cerita, jadi begini sodara-sodara, kemarin, Minggu (20 Maret 2011)aku ikut "Pelatihan Menulis Skenario Paling Gila" di Bengkel Sastra Pamulang (BSP). Jauh amat dan aku niat amat yak! Dari dulu memang aku udah lama ingin mempelajari bagaimana membuat skenario itu. Kelihatannya asyik ya, membuat karakter lalu merekayasa para tokoh itu untuk berbuat semau kita penulis skenario, hehe... Dan konon, honor bikin skenario juga lebih gede daripada biin cerpen atau novel, xixixi... Ini juga bikin semangat.

Aku berangkat pagi-pagi dari rumah, Pasar Rebo. Lumayan susah buat nyari BSP yg ada di Pamulang sono... Apalagi aku belum pernah ke sana. Thanks buat teman kantorku, Caca yang kutelpon pagi-pagi buat nanya rute angkutan menuju sana. Secara dia orang Tangerang,tetangganya Pamulang :-D

BSP sendiri didirikan oleh Zaenal Radar T, ini penulis fiksi favoritku yg dulu suka nulis di Anita, Kawanku, Aneka Yess. Senang banget, dia juga ngasih materi selain Mas Imam Salimy (orang BSP juga). Mas Zaenal dan Imam ini sudah malang melintang bikin schript untuk teve. Antara lain Si Entong, Si Kriwil, Wara-Wiri, beberapa FTV, sampe acara masak Foodvaganza. Asyiknya, aku terharu dan senang banget nonton FTV Rahasia Cemara dan serial pertama Si Kriwil. Keren euy, Si Kriwil ceria, sementara Rahasia Cemara bikin haru.

Soal materi? Mantap. Mas Imam langsung tanpa ba-bi-bu ngasih tips dan trik bikin skenario. Mulai dari format, aturan-aturan, bikin karakter, sampai durasi. Mudah sekali dipahami, apalagi kita langsung disuruh praktik nulis scene lanjutan dari skenario Rahasia Cemara. Aku kayaknya nggak nemuin kesulitan, ahahaha... (Sombong yee!) Masih ada tugas, ke depan kita para alumni disuruh bikin skenario film pendek berdurasi 5-8 menit. Ehm, sebenarnya aku juga pengen bikin skenario FTV. Udah kebayang ceritanya.

Waduh, senangnya kalo bisa dijadiin sinetron. (Mulai ngebayangin nih, mengkhayal)
Okey, chayoo! Jangan males, zam. Go action...!

Selasa, Maret 01, 2011

Sebuah Kata Rahasia



Judul: Antologi 12 Cerpen Pilihan Annida Online “Sebuah Kata Rahasia”
Penulis:Tetsuko Eika, Gusrianto, Lukman Mahbubi, Eka Retnosari, Andi Asrizal, Adi Zam zam, Syamsa Hawa, Irhayati Harun, Sam Edy, Ganda Pekasih, Zahriyah Inayati, Elzam Zami
Editor: Tim Annida Online
Penerbit: SMG Publishing
Tahun Terbit: 2010, Juni
Ukuran: 20x13 cm; 150 gr

Paket Komplet yang Menggigit



Meski Novel masih merajai pasar fiksi saat ini, dan kumpulan cerpen (kumcer) sudah melewati masa keemasannya, akan tetapi kehadiran 12 cerpen dalam Antologi ini tampaknya bisa menjadi penyulut kerinduan terhadap kumpulan cerpen berkualitas. Bagaimana pun, tidak semua orang bisa dengan cepat melahap dan mencerna pesan dalam sebuah novel yang terdiri dari ratusan halaman, sementara itu, hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja untuk menangis, tersenyum, atau terpingkal ketika membaca sebuah cerpen, begitu pun dalam meresapi pesan yang dikandungnya.

Apa yang membuat Antologi Sebuah Kata Rahasia ini lahir menentang arus membanjirnya novel di pasaran? Apakah ada sesuatu yang cukup spesial yang ditawarkan di dalamnya sehingga yakin dapat eksis di tengah gempuran teenlit, chicklit, dan novel-novel pembangun jiwa-raga yang saat ini digemari masyarakat? Jawabannya, tentu saja!

Jika buku diumpamakan seperti Pizza, meminjam pengandaian Hernowo yang menulis Andai Buku Sepotong Pizza, maka antologi Sebuah Kata Rahasia merupakan seloyang besar pizza yang tiap potongnya memiliki rasa dan topping yang berbeda-beda. Inilah yang menjadikannya pantas membikin penasaran siapa pun pecinta pizza—ups, pecinta buku maksudnya.

Bagi pecinta cerpen-cerpen ”kelas berat” (yang layak disematkan gelar “karya sastra”), mungkin cerpen ”Sepenggal Kejujuran Iblis” yang ditulis oleh seorang santri dari Madura ini bisa menjadi cerpen unik dan menarik yang asyik untuk ditelisik. Pertama, cerpen ini menggunakan sudut pandang yang tak lazim, yaitu sudut pandang orang kedua. Sepanjang umur Annida-Online, baru dua cerpen saja yang penulisannya memakai sudut pandang ini. Selain aneh, karena menjadikan pembacanya seolah berperan sebagai tokoh utama, sudut pandang ini juga tidak mudah dituliskan. Dalam cerpen ini, pembaca seolah-olah menjadi tokoh bernama Nuh, yang oleh iblis selalu disebut ”kau”.

Kedua, cerpen ini mengisahkan sesuatu yang tak lazim pula. Terinspirasi oleh kisah Odipus, tokoh Nuh rupanya menemukan sosok bayi di pantai Lombang, yang tidak lain adalah anak sekaligus cucunya sendiri. Bayi hasil perzinahan istri dan anak lelakinya yang berhasil diperdaya iblis!

Nah, selain cerpen karya Lukman Mahbubi tersebut, karya Andi Asrizal yang berjudul “Ranah Pilu Lelaki Senja” juga bisa disebut nyastra. Akan tetapi, dominan warna lokal alias kedaerahan pada cerpen ini sangat kuat. Jadi bagi para pecinta karya sastra yang berlatar daerah, jangan lewatkan cerpen yang sarat kritik sosial ini.

Bicara tentang kritik sosial, cerpen “Balada Pengemis” yang ditulis Irhayati Harun juga mengemas kritikan pedas menjadi nikmat, mungkin judul aslinya “Balado Pengemis”. Ditulis dengan alur mengalir, kegeraman penulisnya akan fenomena “anak pengemis”, yaitu anak yang ngiler dan sangat tergantung pada harta plus warisan dari orangtua, sungguh bisa menjadi cerminan bagi tiap kita. Jangan-jangan kita juga pengemis bergamis, atau pengemis berkumis.

Masih untuk para pecinta “sastra serius”, ilustrasi roda kehidupan di kalangan orang-orang menengah ke bawah bisa ditemukan dalam potret 3 tokoh: “Tukang Es Doger, Tukang Payung, dan Seorang Ibu”, karya Eka Retnosari ini cukup apik, menggabungkan 3 tokoh yang sama sekali tidak mengenal, tidak bertautan, bahkan nyaris tidak berdialog, tapi terhubung dalam satu garis merah bernama uang seribu rupiah.

Bagi penggemar cerpen puitis, ada cerpen “Melukis Senja Jogja” karya Elzam Zami yang menutup seluruh cerpen dengan manis. Meski lebih mirip sebuah catatan perjalanan dan sepenggalan potret kehidupan, namun cerpen ini ditulis dengan kata-kata puitis berbaris-baris, membangun suasana syahdu, menggunakan berbagai majas yang kaya, sehingga membuat pembaca serasa bernostalgia di Jogja.

Kalau kebetulan pembaca buku ini mencari cerpen yang romantis, tersedia pula! Bukalah cerpen rajutan Zahriyah Inayati yang berjudul “Sang Perantara Cinta”, rasakan kejujuran bertuturnya di cerpen tersebut, yang diakui terinspirasi dari True Story. Belakangan, penulis yang berprofesi apoteker ini semakin giat memproduksi cerpen, luar biasanya… kesemuanya terinspirasi dari kisah pribadinya juga. Wow!

Bagi para pecinta karya motivasi. Belakangan ini, pasca meledaknya tetralogi Laskar Pelangi, memang banyak orang yang terinspirasi untuk membuat impian, bercita-cita tinggi. Nah, buat para pemimpi… cerpen Mutiara Pesisir milik Ganda Pekasih dalam buku ini bisa menawarkan sesuatu yang berbeda. Sama-sama tentang impian, tetapi penulisnya tidak terjebak karya klise mengenai perjuangan-kerja keras-kemudian berhasil! Ia justru menyandingkan impian tersebut dengan dongeng Nenek Srintil. Nenek siapakah itu? Apa hubungannya impian dengan Nenek Srintil? Penasaran?

Pecinta cerpen “kelas ringan” alias cerpen populer, yang tidak sampai membuat kening mengernyit, alis mata bertaut, dahi mengerut, bahkan bisa jadi sebaliknya, membuat suasana ceria, bibir tertawa, dan disudahi dengan nafas lega, ada cerpen “Kakek-Kakek Duniawi” karya Gusrianto yang meskipun ringan tapi berbobot, dan mampu berkali-kali membuat pembaca tergelak sekaligus merenung (sambil nyengir). Jangan sampai terlewatkan!

Demikian pula “10 Hari Tanpa Pulsa” milik Adi Zam zam, juga cerpen “Gara-gara Macan” Syamsa Hawa yang sama-sama menyindir manusia masa kini tapi dengan gaya bertutur meremaja. Bukankah banyak manusia zaman sekarang yang merasa tidak bisa hidup tanpa HP, tanpa pulsa, tanpa online? Dan juga sangat percaya pada zodiak, ramalan, meski tidak sampai ke dukun? Yang berjiwa remaja musti baca kedua cerpen ini!

Selanjutnya, cerpen “Tahlilan vs Rokok” buah pena Sam Edy, sungguh cerpen yang amat cerdas memukul telak para pecinta rokok, pemerintah, juga para pemuka agama yang tidak tegas menetapkan hukum merokok. Perlu dibaca oleh siapapun yang sering berada dalam dilema kronis: menegur para perokok atau sekedar menghindarinya.

Terakhir, para pecinta karya humanis, cerpen yang menjadi Lead judul buku ini wajib dibaca oleh setiap anak di seluruh dunia, baik yang sudah berumur, maupun yang di bawah umur (?), ini adalah sebuah cerpen yang menembus perbedaan agama, warna kulit, jenis rambut, bentuk hidung, atau perbedaan suku, “Sebuah Kata Rahasia”, karya Tetsuko Eika (yang meski kedengeran Jepang banget, tapi ternyata asli Bandung).

Cerpen ini sungguh pandai menyembunyikan kata rahasia yang dinantikan oleh setiap ibu dari anak-anaknya. Baru di akhir cerita kita dapat mengetahui apa sebenarnya kata rahasia itu. Dan di detik itu pulalah kita bisa merasa sangat terharu dan—bagi yang melankolis dan punya pengalaman empiris—pasti menangis.

Akhirnya, paket komplit yang tersedia untuk semua kalangan inilah yang menjadi penguat karakter Antologi cerpen pilihan Annida Online ini. Setelah semua potongan pizza itu habis dilumat, tidak hanya membuat para penikmat berkata “Hmmm… lezaaat!” tapi juga membangun tekad untuk menjadi insan yang lebih baik lagi dari sebelumnya, insya Allah.
Tertarik mencicipi paket komplit yang “menggigit” ini? Jangan minta apalagi pinjam, beli doong! [Annida-Online]

**Ini buku cerpen yang terbit ketika aku masih kru Annida. Cerpenku masuk bukan karena KKN lho, tapi emang proses seleksinya melibatkan semua redaksi dan respon pembaca, hehehe. Masih tersedia, kalo mau beli, klik aja www.annida-online.com ya :-D **

Sabtu, Februari 26, 2011

Ketika Nyamuk Bicara

Hehehe...
Malu euy, sebenarnya mau posting buku-buku yang pernah kuterbitkan (hohoho...) Secara ini buku antologi, di mana bukan karyaku seutuhnya. Tapi buku bareng-bareng penulis lain.

Tapi nggak apa-apalah. Biar semangat. Nah ini karya pertamaku yang jadi buku. Nyempil sebuah cerpenku "Teror sang Monster". Dan ternyata masih dijual online di www.kutukutubuku.com. Hayoo, yang mau beli, cek TKP ya!

Judul nih buku "Ketika Nyamuk Bicara", terbitan Zikrul Hakim, 2005. Isinya memuat 12 cerpen penulis-penulis FLP (Forum Lingkar Pena) se-Sumbagsel.

Jumat, Februari 25, 2011

Nanti, Suatu Saat

Janji pada angin
kau juga bisa melayang

Mimpi adalah terbang melihat kau di bumi
mengaca; kau tak putus berjuang
dan kecilmu membesar sudah
[Elzam]

gambar dari http://gubuk-biru.blogspot.com

**Minimal kita berkata-kata dalam hati, menancapkan tekad di hati, meski belum melakukannya**

Kamis, Januari 13, 2011

Iseng di Kantor

Ini gambar-gambar yang kubuat di program paint. Hahaha, program yang paling dipake anak TK atau SD. Tapi nggak apa-apalah. Mau gimana lagi, nggak jago bikin yang lebih canggih. Dibuatnya iseng aja, saat lagi bingung hilang mood di kantor, internet offline, dan referensi jeblok.

**Lumayan, ada juga yang kubikin wallpaper kompieku. Mengapresiasi karya sendiri euy!
:-))**

Tak Pantas



Sekarang tentang cinta di bumi ini
Ketika mata terlelap, ia menatapmu
Ketika terbuka, ia menyapamu

Pantaskah mewujud harap kosong
pada siapasiapa yang tak membuat hidupmu nyata

Tentang cinta, bukankah kau yang menegaskan
Ketika sumpah di depan Rabb merajah bumi

Sekarang
Cinta tentang siapapun yang membuat hidupmu berwarna terang
Ikhlaskan, harap lalu yang tak pantas mendapat tempat
Karena cinta butuh jalan lurus
[Elzam]

**Untuk menyemangati teman yang bercerita di akun FB-nya**