Selasa, April 25, 2017

Gairah Keindonesiaan ala Semarang

Dua wanita dengan latar belakang kontras, tersenyum melakukan transaksi (foto: Elzam)

Saya cinta Indonesia, saya bangga lahir dan tumbuh di negeri ini. Saya suka traveling.

Dua hal inilah, cinta Indonesia dan traveling, menjadi modal saya mewujudkan mimpi, bertekad bisa mengunjungi seluruh kota-kota di Indonesia. Dari merasakan damai Pulau Sabang di Aceh yang menghadap samudera biru, hingga menyesap segar tanah bergunung-gunung milik Papua di ujung timur Indonesia. Sebelum saya sesumbar mengatakan pernah ke negara ini ke negara itu, dan memuji keelokannya, saya ingin setiap sudut Indonesia telah saya jejaki. Itulah tekad saya.

Tentang kota paling Indonesia, saya langsung teringat film Soegija. Maksudnya apa? Tepat sekali, saya ingin menyebutkan Semarang, kota tempat setting film Soegija tersebut bagi saya sejauh ini merupakan kota paling Indonesia. Setidaknya bagi saya yang telah mengunjungi hampir seluruh kota di Pulau Sumatera dan Jawa.

Soegija mengingatkan traveling saya yang sungguh berkesan dan berpikir inilah Indonesia sesungguhnya. Film karya Garin Nugroho dengan akting cukup apik dari sastrawan Nirwan Dewanto itu membayangkan saya ingin berada di Semarang tempo dulu. Merasakan denyut-denyut patriotisme yang sama, dengan perbedaan yang sebenarnya begitu banyak karena keragaman Indonesia itu sendiri.

Provinsi yang telah saya jelajahi di Sumatera adalah Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Lampung. Satu lagi, tentu saja Bengkulu, di mana daerah pegunungan dan pesisir membentuk lanskap yang menakjubkan dari tanah jajahan Inggris tempo dulu ini. Saya lahir dan besar di Bengkulu, sampai terdampar di Jakarta setelah menamatkan kuliah di jurusan Administrasi Negara Universitas Bengkulu tahun 2006. Budaya Melayu kental di daerah-daerah Sumatera, dengan pesona alamnya yang indah tak habis dieksplorasi. TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat) salah satunya, Saya suka berpetualang di hutan belantara yang melingkupi kawasan Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan sekaligus. Di sini ada Pusat Pelatihan Gajah Seblat, habitat puspalangka Rafflesia, fauna semacam harimau sumatera, macan, atau landak. Sayang, saya belum sempat mengunjungi Bangka-Belitung yang terkenal dengan pantai menarik.

Jawa Barat, Banten, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jogjakarta pernah saya datangi. Di Banten saya beranjangsana dengan Suku Badui di Banten, plesir ke Anyer, menjejaki trek gowes mountain bike di Hutan Cidampit Serang, sampai mengelilingi Pandeglang yang tak ingin ada mal di kotanya. 

Di Jakarta, ehm ada banyak tempat yang menarik. Nongkrong di Kota Tua, mengelilingi Kepulauan Seribu (Pulau Pramuka, Onrust, Bidadari, Tidung, Pari, atau Harapan), Monas, aneka museum, wisata belanja, sampai TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Ah, kata orang di Jakarta semua ada. Tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.

Di Jawa Barat saya sebatas mengunjungi objek-objek wisata di Bandung, Bogor, dan Sukabumi. Gunung Salak, Cikuray, Gede Pangrango pernah saya daki. Untuk rafting, Sungai Citarik memang menjadi magnet tersendiri. Sangat luas Jawa Barat untuk dikelilingi, butuh waktu yang panjang!

Bagaimana dengan Jogjakarta? Sejuta romantisme memang akan didapatkan. Budaya dan pendidikan menjadi identitas yang tak pernah mati. Tak pernah bosan mengunjungi Jogjakarta. Beruntunglah, saya berkesempatan mendapatkan traveling gratis mengunjungi Jogjakarta dan Jawa Tengah selama 15 hari dari Detikcom. Alhasil, saya menjelajahi Bantul, Gunung Kidul, Wonosobo, Semarang, Magelang, Banjarnegara, dan kota-kota lain di sini. 15 hari penuh berpetualang. Rafting di Serayu, menelusuri gua-gua dan sungai bawah tanah Gunung Kidul, camping di Pantai Kapen, menikmati sunrise di Puncak Sekunir Dieng, bercengkerama dengan Penduduk Gunung Merapi, sampai merasakan aura mistis di makam raja-raja Mataram Kuno. Termasuk wisata kuliner menikmati wedang uwuh, mie koplok wonosobo, dan belalang goreng buatan penduduk Wonosari, lengkap dengan sayur lombok ijo.  

Lantas, mengapa saya berpendapat Semarang kota yang paling Indonesia?

Paling membangkitkan gairah keindonesiaan saya, adalah atmosfir Indonesia yang saya rasakan tampil  iconic jika menelusuri kota-kota di nusantara. Saya sebut demikian karena  menjelajahinya membuat saya kagum sekaligus bangga menjadi bagian dari 230 juta-an penduduk Indonesia. Semarang salah satunya. Di kota ini, Indonesia tampil apa adanya dan mengalir dalam riak yang tak pernah terhambat. Rasanya manis menikmati sudut-sudut kota Semarang yang tak seberapa luas itu, Berpindah dari satu spot ke spot berikutnya dengan jarak yang tak terlalu jauh. Di kota ini, miniatur Indonesia terungkap dalam spirit keberagaman yang kuat dan menginspirasi saya untuk selalu kangen. Kota multikultural yang penuh pesona karena toh di sini perbedaan tetaplah mengidentitaskan satu, yaitu Indonesia kita. Indonesia saya, Indonesia kamu, Indonesia dia, Indonesia mereka….

Waktu itu saya mengunjungi Semarang menggunakan kereta api dari Jakarta. Turun di Stasiun Tawang, disergap cuaca yang hangat menjelang sore. Sejarah perkeretaapian Indonesia tak bisa lepas dari Semarang, karena kantor kereta api tertua berada di Semarang, apa yang sekarang di sebut Gedung Lawang Sewu di kawasan Simpang Lima. Begitu keluar dari Stasiun Tawang, saya langsung terperosok ke dalam sejarah kelam Indonesia. Little Netherland tampak begitu tua, setua negeri itu (Belanda) menjajah kita lebih tiga setengah abad, lebih lama dari penjajahan Portugis, Jepang, dan Inggris.

Di kota lama ini, sejatinya saya kagum dengan arsitektur gedung-gedung yang merupakan Belanda kecil di timur dunia. Bangunan khas  Eropa menjulang, berjendela besar, ventilasi melengkung, dengan pilar-pilar besar dengan tata letak teratur dan sinergis, seakan membenarkan rasa inferior yang menggelayut manja di benak orang Indonesia. Wong Londo dianggap kelas atas, terdidik, berilmu, dan bermartabat, meski sebenarnya mereka tetaplah penjajah. Saya sedih, tapi ini masih anggapan banyak orang Indonesia sekarang. Di mana terbukti layar kaca dan lebar kita bangga memajang wajah Indo di seni peran. Kuliner  western (dan luar negeri lainnya) menjamur, lalu seakan mengkasta di tingkat teratas. 

Dan saya lebih miris lagi, Kota Lama alias Little Netherland yang kokoh dan tetap berdiri berabad-abad ini memojokkan saya dengan Indonesia yang saya cinta. Kami kolonial membangun stasiun kereta api, gedung-gedung, jembatan dengan benar seakan-akan kami akan hidup ratusan bahkan ribuan tahun ke depan di Indonesia. Tapi sekarang, kalian membangun jembatan, jalan, atau mega proyek lain untuk waktu yang lebih singkat dari umur kalian satu generasi sekali pun, karena digerogoti mentalitas korupsi. Saya menikmati menyusuri Gereja Blenduk, Gedung Marabunta, Jembatan Berok, dan Folder Tawang. Tapi saya tak bisa menikmatinya dengan baik, begitu membandingkannya dengan bangunan-bangunan Indonesia yang kerapkali jebol, hancur, dalam hitungan bulan di media massa. Entah ini perasaan yang berlebihan atau tidak, tapi inilah yang sebagian membenak ketika saya menelusuri Little Netherland.

Namun di balik rasa miris tadi, saya pun masih tetap bangga menjadi bagian dari Indonesia. Di Kota Semarang saya melihat patriot-patriot sejati yang tak sekali pun meminta pamrih, apalagi tanda jasa. Di jalan-jalan Kota Semarang, saya kagum dengan bapak tua berkaki telanjang menjajakan wedang jahe, mbok-mbok penjual jajanan pasar, dan mas-mas pengemudi becak yang santun mengantar saya berkeliling. Bagi mereka ini, mencari nafkah bukan persoalan seberapa besar yang kita dapat, tapi seberapa keras kita berjuang dan berkah bagi keluarga di rumah. Pelajaran yang sangat sulit saya dapatkan melihat situasi bermasyarakat kita saat sekarang. Biasanya yang paling suka saya amati kehidupan sehari-hari masyarakat, lalu lalang di jalanan, dan pasar tradisional.

Seorang nenek yang berbelanja di Pasar Gang Baru, Semarang (foto: Elzam)
Di Pasar Tradisional Gang Baru, saya sangat tersentuh dengan praktik pluralisme masyarakat Semarang yang notabene terdiri dari banyak penganut agama. Ada Buddha dan Konghucu yang banyak dianut peranakan, Tionghoa, Nasrani, dan Muslim. Di Gang Lombok, pasar sepanjang jalan yang rasanya tak lebih dari satu kilometer ini semua tumplek-blek menjadi satu. Tidak ada lagi perbedaan, karena lebur menjadi satu kepentingan; berjual beli. Saya melihat perempuan tua Njawani berjualan jajanan tradisional  seperti gablok, jadah ketan, cetot, gendar, kue pandan, dan apem. Pembelinya tumpah ruah dari orang Tionghoa, Padang, Jawa, sampai Sunda. Di lain tempat, pedagang Tionghoa sibuk menjual peralatan sembahyang di kuil. Ada perempuan berjilbab yang sumringah melayani pembeli berkerudung sepertinya, tapi bukan muslim, melainkan seorang biarawati. Pemandangan ini membuat saya benar-benar haru, sekaligus bangga. Saya merinding. Seperti inilah Indonesia kita yang penuh perbedaan, yang seharusnya damai tanpa sekat yang harus dipaksakan dalam identitas-identitas personal/komunitas, tapi tak mengindahkan ragam lain yang juga punya identitas.

Bagian inilah juga yang membuat saya mengingat Semarang menjadi kota yang paling Indonesia yang pernah saya kunjungi. Kota tempat pastoral pertama Indonesia, Soegija membaktikan hidupnya untuk kejayaan Indonesia ini tampak sangat nyaman ditinggali oleh beragam latar belakang. Tidak heran di sini mesjid menjamur (dengan icon Mesjid Kauman dan Mesjid Agung Jawa Tengah) , vihara dan kelenteng bertahan, gereja menjulang. Sekolah-sekolah semacam pesantren atau kolose terbuka untuk didatangi setiap anak muda yang ingin memelajari keyakinannya.

Berkaca dari pengalaman menelusuri Pasar Tradisional Gang Baru yang buka subuh sampai menjelang tengah hari itu, saya tak lagi kaget dengan kultur paling Indonesia milik Kota Semarang. Di Kelenteng Sam Pho Kong, saya menikmati obrolan dengan peziarah muslim peranakan Tionghoa yang datang berombongan. “Cheng Ho adalah pelaut muslim yang gagah berani mengajarkan keteladanan simpati dan toleransi,” ujar bapak yang seingat saya mengaku bernama A Seng itu. Atas dasar itu pula, di Kelenteng Sam Pho Kong, banyak muslim berziarah. Selain tentunya penganut Konghucu, Buddha, ataupun Tao (keyakinan yang banyak dipeluk warga Tionghoa).

Sembahyang di kelenteng (foto: Elzam)
Lalu siapa yang tak mengenal herbal Indonesia kebanggaan Indonesia yang disebut jamu? Ketika berkunjung ke Museum Jamu Jago lagi-lagi saya dibuat bangga. Berkat usaha dan kerja keras T.K. Suprana, pemilik perusahaan jamu tertua Indonesia, jamu sekarang tak pernah lekang Berjaya. Bahkan menemukan bentuknya dalam bentuk yang modern menyesuaikan zaman, di samping jamu tradisional yang dijual dalam bentuk segar oleh mbok-mbok jamu dan tetap lestari.

Membicarakan kuliner pun, Semarang saya pikir tetap menunjukkan kota paling Indonesia. Ada soto kudus yang mengenyangkan, wedang tahu yang menghangatkan, lumpia yang eksotis perpaduan kuliner Tionghoa dan Jawa, ganjel rel yang merupakan makanan tempo dulu, atau wingko babat yang sebenarnya “impor” dari provinsi sebelah (Jawa Timur).


Jadi lengkaplah sudah. Jika ditanya harus ke manakah mengunjungi objek wisata untuk merasakan satu rasa paling Indonesia? Saya menjawabnya Kota Semarang dan saya tak akan pernah ragu atau enggan untuk mengunjunginya kembali. Dua hari sewaktu saya berkunjung tak cukup untuk menuliskan kesemua hal tentang kota di tengah-tengah Pulau Jawa tersebut. Di kota ini, sejarah, kultur, kebiasaan, dan keragaman suku menjawab inilah Indonesia sebenarnya. Satu kota paling Indonesia yang pernah saya datangi. Dan tentu saja, saya percaya masih ada kota-kota paling Indonesia lain dalam ruang, waktu, atau konteks yang berbeda.