Selasa, Desember 11, 2012

Cintaku Se-Gede Pangrango

Dimuat di Majalah Hai edisi 29 November - 4 Oktober 2012


“Dengarkan dulu, mama belum selesai bicara. Kamu  ternyata nggak hanya suka bohongin mama, tapi juga cewek-cewek!” ujar mama keras.
“Apalagi sih, Ma? Dino harus berangkat. Nggak penting banget,” tukasku kesal. Bukan ini kali saja mama menginterogasi. Bertanya ini itu. Aku menyambar tas dan kunci motor. Meninggalkan mama di meja makan. Gemas melihatku.
Ini pasti gara-gara Tika. Adikku yang sekampus itu comel sekali menceritakan apapun. Aku Dino, kakaknya selalu menjadi laporan ke mama. Bulan lalu aku habis dimarah mama karena ketahuan minta uang keperluan kuliah fiktif. Aku ingin backpacking ke Jogja bareng teman-teman, tapi tidak punya uang. Dengan alasan ada praktikum kultur jaringan tambahan, aku sukses mengelabui mama. Tapi kecolongan Tika. Runyam jadinya. Dia mencari-cariku di laboratorium, tepat saat aku have fun di kota gudeg. Terbongkarlah kebohonganku. Sialan....
Tadi mama menasehatiku untuk tidak suka gonta-ganti pacaran. Whuohoo... hari gini ortu masih ngelarang anaknya pilih-pilih pacar! Memang aku gonti-ganti pacar, tapi itu murni karena tidak ada kecocokan. Fitri misalnya, memang cantik sih, tapi cowok mana yang tahan kalau setiap ketemu, ngobrol sambil ngupil. Ya sudah, aku putusin.
Begitu juga Vania, aku baru pacaran sebulan ketika mengetahui dia ternyata lemot kalau diajak bicara banyak, lola alias loading lama. Lalu ada Gita yang aku putusin karena tidak mau sering-sering ngedate. Mentang-mentang kuliah di kedokteran yang super sibuk dengan berbagai tugas dan praktik. Kupikir-pikir buat apa punya pacar untuk status doang, nggak bisa diajak ke mana-mana. Terpaksa hubunganku dengan Gita hanya bertahan tiga minggu.
Terakhir dengan Nisa. Sebenarnya tidak ada masalah yang membuatku tidak berkenan dengan cewek berjilbab itu. Aku waktu itu cuma mau tahu sesuatu.
“Nis, gue mau lihat dong rambut lo...” ujarku pura-pura malu tapi antusias.
What’s? Emang lo siapa? Gue nggak mau,” jawab Nisa tegas.
“Lho, aku kan pacarmu. Ayooo, dong. Soalnya gue nggak suka rambut keriting.”
Plaaakk...!
Tamparan Nisa mendarat tanpa kuduga. Tanpa memberi kesempatan buat aku mengelak. Meninggalkan tato keriting nan merah di pipiku.
“Gue bilangin, gue nggak bakal buka jilbab sembarang setelah menutupnya. Lo mau tau rambut gue? Rambut gue emang keriting. Nah sekarang jelas kan? kita putus.”
Aku ternganga. Oh my God... Kelihatannya sepele. Tapi penting menurutku, jadi sah-sah aja akhirnya hubungan cinta ini tak bertahan lama. Gara-gara hal-hal tadi mau bilang aku salah? Playboy? Nggak kan.
***
Kuliah hari bikin lelah bin capek. Tiga mata kuliah sejak jam delapan tadi, disusul dua mata kuliah lagi sampai jam empat sore. Bah, kuliah apa kuli ah... Bahkan lagu-lagu Muse dari headshet Blackberry ini tak membuat gairahku mencuat. Aku malas pulang. Takut mama masih punya stok omelan.
Kulajukan motor ke arah belakang kampus. Tempat kost-an mahasiswa berjejer diselingi warteg, warnet, rental playstation, laundry, dan warung makan. Lebih baik istirahat di kost Tungku, anak Aceh teman kuliahku yang sampai saat ini belum pernah ngulang matakuliah, hehehe... Berbanding terbalik dengan aku. Namanya aslinya Teungku Raihan, tapi kupelesetkan jadi Tungku.
Dia baru saja sholat ketika aku mendorong pintu kamarnya. “Gue capek, numpang tidur coy,” ujarku nyungsep di kasur busa.
“Tampang lo kusut kayak gitu. Salat sono, baru tidur!” Tungku melayangkan sajadah yang baru digunakannya ke mukaku.
“Nanti ah, gue ngantuk banget,” jawabku sembari menerbangkan kembali sajadah itu ke sudut kamar. Nih mahasiswa sejak jaman semester satu dulu alimnya nggak luntur-luntur ketelan Jakarta. Untungnya dia tetap nyaman berteman denganku. Padahal tidak jarang, Tungku mendapat komplain cewek-cewekku. Apalagi kalau bukan soal penyebab putus yang dibilang egois.
“Nanti nunggu magrib? Tampang lo boleh ganteng, dapat dispensasi ditaksir banyak cewek. Tapi bukan berarti lo juga dapet dispensasi boleh nggak salat dari Tuhan.”
Busyeet... sepertinya hari ini aku diserang dari segala penjuru. Aku membenamkan kepala ke kasur, menutupnya dengan bantal.
Ketika bangun, tepat seperti yang dikatakan Tungku. Sudah magrib! Cowok itu sedang khusyu’ mengaji. Aku malas-malasan ke kamar mandi mengambil wudhu. Mencoba sholat setelah mata Tungku mendelik ke arahku.
Aku memerhatikan Tungku sampai dia selesai. Alunan suaranya enak didengar, mengudara di kamar dengan bening. Salut buat temanku yang satu ini.
“Ngaji lo bagus banget, Tung...” Kataku begitu dia usai menunaikan bait-bait suci tersebut.
Dia tertawa kecil. “Biasa aja.” Padahal bagiku Tungku ini luar biasa. Pintar, alim, dan ganteng juga. Beda banget denganku. Kesamaan kami hanya satu, sama-sama ganteng, hehehe...
Btw, gue mau naik ke Gede Pangrango nih, minggu depan dengan teman-teman. Lo jadi guide ya?”
What’s!? Aku kaget dengan permintaannya. Mendaki gunung memang salah satu hobiku selain pacaran. Tawaran yang asyik buat nge-guide Tungku dan teman-temannya. Terakhir aku naik ke Gunung Cikuray enam bulan lalu. Gunung Gede juga pernah kutaklukkan.
“Jangan khawatir beberapa punya pengalaman mendaki, cuma bukan Gunung Gede. Lo kan udah pernah ke Gede.”
“Oke, bisa aja. Ada yang cakep nggak ceweknya?”
Tungku meninju pelan lenganku sambil tertawa, “Dasar, playboy lo! Banyak yang cakep, tapi kayaknya nggak bakal bertekuk lutut ama lo.”
Aku menjawab tangkas. “Ah, ntar lo kaget lho, hehehe...”
***
Aku berjalan tergesa-gesa membawa makalah yang baru saja dijilid di fotokopi seberang kampus. Gawat. Hari ini ada mi­d semester mata kuliah Pak Handiman. Gara-gara menyelesaikan makalah tugas beliau juga, aku jadi kesiangan. Bener-bener Pak Handiman, tugas dan ujian pun dibuat berbarengan. Bikin mahasiswa kelabakan.
Baru saja aku mau menstarter motor, ada yang berteriak, “Hei, hei... Mas, ongkosnya mana?” Aku kaget. Kelupaan membayar fotokopi dan ongkos jilid. Terpaksa aku berbalik. Kurogoh kantongku, tidak ada uang sepeser pun. Aku beralih membuka tas. Sama saja. Nihil! Busyet banget, aku lupa membawa uang sama sekali karena buru-buru dari rumah tadi.
Aku meringis, mas penjaga fotokopi keheranan. “Kenapa?”
“Uang saya ketinggalan, Mas, tadi buru-buru,” jawabku memelas.
“Ya, gimana dong?” ujarnya.
“Besok atau siang ini habis kuliah ya, Mas?” tawarku.
“Beneran? Mahasiswa banyak yang begini nih akal bulusnya,” penjaga fotokopi itu sewot. Aku malu setengah mati. Gile ajee... Dia pikir aku pura-pura kelupaan bawa uang.
“Memang berapa semuanya, Bang?” Kudengar suara seorang cewek.
“Sepuluh rebu...”
“Ini, saya yang bayarin.” Kuperhatikan cewek yang memakai t-shirt biru dengan jeans hitam itu mengeluarkan dompetnya. Mulutku hanya bisa melongo. Tengsin!  Takjub juga ada makhluk bernama manusia ngebaikin aku yang tak dikenalnya.
“Mbak, nggak usah. Saya, saya bisa...”
“Udah. Udah kubayar. Nggak apa-apa kok,” ujarnya santai.
“Maaf, saya duluan ya...” Dan dia pun pergi.
Aku sampai lupa, pelan kuucapkan, “terimakasih...” Abang fotokopi tersenyum tipis padaku sambil mengangkat kedua bahunya.
Buru-buru aku menghampiri motor. Benar saja aku terlambat hampir limabelas menit. Jawaban ujian tidak satu pun yang kukuasai dengan baik. Pikiranku terpengaruh cewek berambut sebahu nan manis yang membantuku tadi. Seandainya bisa kenalan. Tiba-tiba muncul ide cemerlangku. Kenapa nggak keliling kampus aja dengan motorku?
Sepertinya aku mulai jatuh cinta deh. “Lagipula kenapa dia sampai mau merelakan uangnya. Kalau bukan tertarik atau memancing aku untuk mendekatinya,” pikirku. Pede pastinya. Ehm, sebuah kesialan yang menguntungkan. Lumayan, predikat jomblo yang kusandang selama dua bulan ini bisa kubuang. Aku tersenyum girang.
Dengan revo kesayangan, kususuri jalanan kampus. Gedung-gedung kuliah dan fakultas saling berseberangan. Tidak begitu lama. “Oh Tuhanku Yang Maha Baik, Kau pertemukanlah lagi hamba dengannya.”  
Aku membunyikan klakson dengan pelan. Gadis itu berjalan dengan kedua temannya. Dia baru tersenyum ketika menyadari siapa yang mengklasonnya tadi. Aku menepikan motorku.
“Hai, aku lupa bilang terimakasih untuk bantuanmu tadi. Aku akan menggantikannya.” Kataku tiba-tiba. Tapi dia tak kaget sama sekali.
“Ah, lupakan saja soal mengganti itu,” jawabnya tenang. Kedua temannya melambaikan tangan, pamit untuk duluan. Meninggalkan kami berdua.
“Aku Dino, anak Biologi. Kamu?”
“Meida. Sastra Indonesia.”
“Wah, jago puitis-puitisan doang,” kataku tertawa. Meida ikut tertawa kecil. Dia benar-benar menarik. Barisan gigi putih membuat senyumnya enak dipandang. Rambut yang lurus, kutaksir pasti bukan karena rebonding.
Akhirnya aku dan Meida ngobrol panjang lebar. Doi selain cantik ternyata anak yang asyik. Baru bertemu beberapa saat kami sudah terlibat pembicaraan yang seru. Dia juga penyuka band lawas Kahitna seperti diriku. Hari ini aku merasa beruntung sekali.
***
Meida melewati hari-hariku saat ini. Jika tidak ada jam kuliah, aku tak segan-segan nyamperin dia di Gedung Sastra. Sekadar menikmati mie goreng di kantin sastra yang ternyata cukup bergelimang cewek-cewek bening. Salah satunya Meida yang sedang kudekati ini.
“Lo nggak punya pacar kan, Mei?” tanyaku suatu ketika.
“Nggak. Kenapa?”
“Nggak juga. Khawatir aja nanti ada yang marah.”
“Gue nggak punya pacar kok. Kalau teman sih banyak.”
Aku menjerit senang dalam hati.
“Emang nggak tertarik pacaran? Mustahil cewek cantik kayak lo nggak ada yang mau,” pancingku.
Meida tertawa. “Mau apa dulu? Kalau yang cinta ke gue sih banyak. Urusan cinta memang bikin hidup lebih hidup... ”
“Hehehe... lo bisa aja. Gue yakin deh...” kataku.
“Udah Ashar nih. Gue salat dulu ya. Lo mau ikut? Salat juga kan?”
Aku tersenyum malu. “Kamu aja deh, aku balik lagi ke fakultas.”
“Ya udah. Aku pergi dulu.”
Aku memandang Meida dengan takjub. Gadis yang sempurna.
Tiba-tiba ponselku berdering. Terdengar suara Tungku, “Oi, lo ke mana aja? Gue cari-cari. Besok kita naik ke Gede lho, lupa? Payah lo...!”
Ohlala... Meida benar-benar mengalihkan duniaku.
***
Aku meletakkan tas carier di pinggir jalan. Penat setelah hampir dua jam duduk di bus. Ada tujuh orang yang bergabung di Expedisi Tujuh in, sesuai nama. Hanya Bram dan Tungku yang baru kukenal, karena aku tadi buru-buru. Di bus aku malah tertidur dari Jakarta sampai ke Cibodas.
Satu-satu teman Tungku mengulurkan tangan padaku. Rifda, Hero, Fahri, satu orang lagi.
“Kamu? Ikut juga....”
“Hahaha...” tawaku pecah. Gadis itu ikut tertawa kecil. Manis sekali.
“Jadi kalian sudah saling kenal?” Suara Tungku.
“Iya, Meida ini orangnya baik sekali, selain cantik. Jadi wajar kan kalau aku kenal,” ujarku mengedipkan mata ke arah Tungku.
“Ah, lo kok bisa berteman dengan orang kayak gini, Han?” sambar Meida. Rupanya mereka memanggil Raihan pada Tungku.
“Gue peringatkan, lo jangan termakan gombalnya Dino,” Tungku menimpali. Lagi-lagi Meida hanya tertawa.
(Bersambung)
 

Selasa, November 13, 2012

November Rain dan Kebun Kecil Kami


November rain....
Hujan bulan November....


Tidak asing saya mendengarnya kata hujan atau rain (Inggris).  Begitu manis, begitu magis. Dan entah kenapa, November rain lazim menjadi ungkapan yang identik dengan romantisme, syahdu, atau khusyu. Saya tak paham benar alasannya. Di jejaring sosial teman-teman membicarakannya, di blog puisi bertabur. Dan kita tak pernah lupa, band lawas Gun N’ Roses menyenandung lirik berjudul demikian juga, November Rain.

Tapi benar adanya mendengar atau membaca kata November rain di update status jejaring sosial teman, saya terperangkap suasana yang khas. Menyesap sejuk segar menebarkan damai yang entah kenapa. Tentang pengharapan, kecintaan, bahkan kekecewaan bisa senada dengan kata November Rain. Tergantung lintasan pikiran ketika kata ini mampir dalam memori kepala.

Dan petang tadi, hujan kembali menyapa Jakarta kali ke sekian hingga pertengahan November. AC kantor yang menyala membuat dingin menelisik hingga jari-jari ciut. Dari jendela kantor, apapun tentang hujan, saya merasa damai. Saya harap juga di luar sana.

Meski sudah lumrah, saat hujan jalanan Jakarta menjadi kian macet karena arus kendaraan melambat. Mobil berhati-hati takut kotor. Jutaan motor berteduh di bawah jembatan layang, menyisakan umpatan pengendara lain yang terganggu. Para pekerja berlindung di pinggiran gedung dan emperan toko-toko sambil mengeluh. Setengah merutuk, “Huh, hujan bikin telat pulang aja. Nggak tau orang capek apa?” Air melimpah di mana-mana. Tidak bening lagi, seperti ketika langit menumpahkannya dari langit. Kotor bercampur tanah dan residu kendaraan yang bernyawa solar atau bensin. Lalu di beberapa titik Jakarta warga mungkin cemas, takut jika hujan menjelma banjir. Semoga tidak.

Saya membayangkan seuprit halaman di depan rumah petak kami di Pasar Rebo. Tidak bisa di katakan halaman bertanah malah. Lebih pada bekas coran semen yang rusak berlubang-lubang, he-he-he.... Batang pare mungkin sekali mulai merambat pada dua pasang bilah bambu kurus yang saya pancangkan bersilang. Ada lima batang kalau tidak salah. Beberapa pohon pepaya yang begitu saya pindahkan dari pot ke tanah masih melengkung lemas pastilah sudah tegak. Saya tanam jarang di pinggiran tembok dan tempat dedaunan menumpuk (yang ini bukan halaman rumah kami sebenarnya, tapi tetangga petakan samping). Ada pula cabe yang mulai bertunas, sebatang serai, dan daun saga yang ternyata cepat membelukar gara-gara November rain. Pada daun saga ini, saya dan istri sangat berterimakasih. Ketika Kekey (1, 5 tahun) putri kami  batuk dan obat apotik tak bisa menyembuhkannya, dengan sedikit garam saya melumatkan beberapa lembar daun saga ditambah seruas kencur. Air ramuan tadi sukses membuat batuk Kekey reda, alhamdulillah. Semua tanaman ini hasil iseng-iseng. Ditabur bibitnya oleh saya atau istri ketika menemukan cabe yang busuk, melahap pepaya yang subhanallah manis sekali, atau membeli pare yang terlalu tua sehingga lebih pantas menjadi bibit ketimbang oseng-oseng.

Tahun lalu, tanah seuprit itu membelukar dengan cabe yang juga hasil iseng-iseng nenek Kekey ketika datang ke Jakarta. Sangat subur dengan pupuk kotoran kucing tetangga depan, selain kompos yang dibeli dari penjual tanaman keliling. Hasilnya lumayan sekali, karena beberapa bulan tak perlu membeli cabe.

Mudah-mudahan November rain tahun ini memberi banyak kebaikan bagi kami. Ya, tidak seberapa lah hasil "berkebun" kami. Cuma rasa senang saja melihat ijo-ijo di depan rumah petak. Menyemak di depan teras kecil dengan deretan pot usang berisi mawar dan tanaman hias indah yang saya tak tahu namanya.

Bagaimana tidak, awalnya saya sempat pesimis kemarau 2012 berkepanjangan. Hujan baru akan turun di ujung tahun atau awal 2013, sesuai prediksi para ahli. Syukurlah, tidak terbukti. Akibat kemarai, Agustus saja air tanah yang mensuplai kebutuhan air di kantor mulai kering, apalagi jika kemarau lebih lama.

Makanya, saya wanti-wanti sekali. Sekesal apapun saya karena hujan membuat aktivitas terganggu, saya mewajibkan diri jangan sampai mencela hujan. Air adalah kehidupan yang mengalir di sungai-sungai kita, empang-empang kita, dalam fotosintesa dedaunan tanah kita, minuman hewan peliharaan kita, dan darah kita.

Allahumma Shayyiban naafi’a (Ya Allah, jadikan hujan ini hujan yang membawa manfaat kebaikan).

Lalu, tentang banjir di Jakarta dan di sudut lain nusantara kita? Nah, itu soal lain lagi.

Selasa, Oktober 09, 2012

Mulut Menganga Pedas Gara-Gara Sambea Ujak Lem Boloak

Wow, ngomongin kuliner membuat lidah saya berdesis-desis. Membayangkan masakan yang saya gandrungi dari daerah asal saya, Bengkulu tercinta. Banyak  masakan tradisional yang saya hapal luar kepala karena menjadi menu sehari-hari keluarga saya. Dan tidak sombong, saya pun piawai bisa memasaknya karena didikan ibu yang membuat semua anak-anaknya, laki-laki dan perempuan bisa memasak. Minimal untuk kebutuhan perut sendiri, hehehe….

Sekarang saya ingin berbagi cerita kuliner sambea ujak lem boloak. Apa pula ini? Terjemahannya adalah sambal ujak dalam bambu. Memang, Bengkulu terkenal dengan masakan yang pedas-pedas, hampir sama dengan daerah di Sumatera lainnya. Sambea ujak lem boloak adalah masakan tradisional khas milik masyarakat Rejang di Provinsi Bengkulu (yang tinggal di Rejang Lebong, Bengkulu Utara, Lebong, dan Kepahiang).

Paling unik dari sambal yang berteman akrab dengan nasi ini adalah bahan yang menggunakan sayur-mayur khas tanah Rejang, yaitu cung kediro, sejenis tomat kecil-kecil seukuran kelerang yang asam. Hampir mirip dengan tomat ceri. Bentuknya bulat seperti bola, tapi ada juga yang sedikit lebih besar dan berkerut-kerut. Selain cung kediro, bahan lainnya adalah ikan asap. Lebih enak jika berasal dari ikan gabus. Ikan gabus asap sangat wangi dan lembut jika telah dimasak karena basah oleh kuah berbumbu pekat.
Cung kediro, tomat ceri lokal yang banyak tumbuh di Bengkulu
Cita rasa sambel ujak lem boloak sulit diceritakan dengan kata-kata. Tapi saya mencoba membantu menuliskannya. Bandingkan  jika Anda menikmati nasi bungkus yang dibungkus panas-panas lewat selembar daun pisang dengan nasi yang dibungkus dengan kertas pembungkus. Mana yang lebih nikmat? Pasti nasi berbungkus daun pisang lebih wangi dan sedap. Nah, kira-kira begitu, karena memasak sambea ujak lem boloak, tidak membutuhkan penggorengan atau kuali. Cukup dengan batang bambu baru yang masih basah, yang akan mengeluarkan aroma khas segar dan rasa legit pada bumbu saat dimasak. Selain itu, pembakaran dari kayu bakar membuat rasanya berbeda dan lebih "nendang". Ikan asap sangat enak karena terasa lembut hingga ke tulang-tulangnya, wangi, dan tidak amis. Cita rasa sambal ini semakin gurih karena menggunakan bawang daun yang dipotong-potong tidak terlalu tipis. Ini bagian yang paling saya suka, berburu potongan bawang daun di antara tumpukan nasi. Selain tentunya mengunyah ikan asap yang "enak gilaaa" tadi.
Kuah wangi segar berpadu dengan bumbu-bumbu wangi dalam sambal
Cara membuat sambea ujak lem boloak pun cukup mudah. Anda bisa mempraktikkan sendiri.

Bahan:
  •   250 gram ikan gabus asap
  • 6 buah cung kediro yang telah matang
  • 5 siung bawang merah
  • 10 buah cabe merah
  • 5 batang bawang daun, potong-potong sekitar 2 cm
  • 1 batang serai, memarkan
  • 1 ruas kunyit
  • 2 butir kemiri, bakar  terlebih dulu sampai kecoklatan
  • garam secukupnya.
  • 1 ruas bambu yang masih baru, bersihkan dan biarkan satu ujungnya tertutup.
 Cara membuat:
  • Haluskan cabe merah, kemiri, bawang merah, dan kunyit hingga halus.
  • Masukkan kira-kira 4 gelas air ke dalam bambu beserta cung kediro. Bakar di perapian dengan api sedang. Tunggu sampai mendidih dan cung kediro menjadi matang. Hancurkan cung kediro dengan menekannya menggunakan sendok.
  • Selanjutnya  masukkan ikan asap, bumbu halus, dan serai. Bakar kembali sampai ikan lembut dan matang. Tanda masakan matang adalah uap mengepul dan mengeluarkan aroma wangi. Untuk memastikan semua bahan tercampur, sesekali guncang bambu dengan hati-hati.
  • Terakhir masukkan garam secukupnya. Anda bisa menambahkan sedikit gula, jika ingin sambal yang tidak terlalu pedas.
  • Angkat dan masukkan dalam wadah. Sambea ujak lem boloak siap disajikan.

 Gampang sekali bukan? Kata ujak sendiri berasal bearti tekan, yaitu proses menekan-nekan cung kediro (tomat ceri) sampai lumat. Sambea ujak lem boloak tercipta dari filosofi masyarakat Rejang zaman dulu yang menyukai masakan alami dengan cara-cara yang sederhana. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan mereka melahap masakan yang sekali santap, dan gampang dibuat pada saat situasi peralatan masak tidak tersedia lengkap. Misalnya sewaktu di kebun, di hutan, atau di sawah. Mereka memanfaatkan wadah bambu menggantikan kuali. Membawa persediaan ikan asap yang awet  untuk lauk, dan tinggal memetik bawang daun, serai, cung, serta kunyit di kebun. Simpel sekali bukan? Meski demikian, walau dimasak ala kadarnya, sambea ujak lem boloak ini sanggup membuat kita makan lahap dan siap memulai aktivitas kembali dengan semangat penuh.
   
 Sekarang, jika susah mendapatkan bambu, sambea ujeak lem boloak bisa dimasak di rumah menggunakan kuali. Tapi tentu dengan rasa yang pasti berbeda jika dimasak di dalam bambu. Kandungan gizinya tetap sama kok. Cung kediro kaya dengan vitamin C dan antioksidan. Sementara ikan gabus kaya protein jenis albumin yang baik untuk pemulihan pasca sakit/operasi, menambah berat tubuh, dan meningkatkan kecerdasan balita/anak. Kandungan lain ikan yang bernama latin Ophiocephalus striatus ini adalah karbohidrat dan lemak.
 
Waduh, berbicara masakan tradisional unik dan sedap sekaligus bergizi, tolong jangan lupakan tanah Rejang di Bengkulu, tempat saya tinggal. Anda patut membuktikannya jika merancang trip wisata kuliner dan hubungi saya jika butuh guide :-)

Senin, Oktober 08, 2012

Lemeah "Masakan Bau” nan Gurih di Lidah, asli Tanah Rejang



Baru saja hujan di Jakarta. Cuaca yang biasa panas ke ubun-ubun menjadi lumayan segar. Dingin-dingin begini, semua pasti setuju, bawaan perut jadi lapar. Jadilah saya membayangkan makanan apa yang enak disantap. Entah kenapa, tiba-tiba saya ingat lemeah, masakan tradisional kampung saya nun jauh di sana, Curup, Provinsi Bengkulu. Santapan yang konon dicap “masakan bau” karena memang memiliki aroma khas yang bagi sebagian orang dianggap bau. Tapi percayalah, begitu engkau menyantapnya, anggapan itu akan hilang dalam sekejap. Secepat menghabiskankan lemeah dengan nasi panas mengepul. Ehm, yummy… 
 
Sekarang ini, saat menulis, saya membayangkan pedas dan nikmatnya di lidah gulai lemeah kan dawen tales (gulai lemah ikan daun talas) andalan keluarga saya. Pemilik masakan tradisional ini adalah masyarakat Rejang di Curup (Kabupaten Rejang Lebong), etnis terbesar yang mendiami Bengkulu. Beberapa kabupaten lain pun ditinggali etnis tersebut, di antaranya Lebong, Kepahiang, dan Bengkulu Utara. Dan lemeah tentunya sudah mendarah daging bagi orang Rejang yang terkenal sebagai petani ulet di antara pegunungan Bukit Barisan ini. 

Apa itu lemeah, kok namanya terdengar aneh? Bagaimana rasanya? Bagaimana membuatnya? Seberapa unik?
Lemeah adalah makanan yang terbuat dari bambu muda, yakni bambu yang baru saja muncul dari tanah dan masih menguncup kurang dari semeter. Kalau pernah mendengar rebung, nah itu lah dia! Namun ada yang tidak biasa dari proses pembuatan lemeah. Saya akan cerita bagaimana ibu saya biasa mengolah rebung menjadi lemeah yang sedap itu. Pertama, rebung yang baru diambil di kebun dikupas untuk membuang bagian yang keras. Harus hati-hati, karena banyak terdapat miang alias bulu-bulu halus dan gatal di permukaannya. Selanjutnya rebung ini dicuci bersih, lalu dipotong beberapa bagian. Potongan ini diiris tipis-tipis (seperti rolade), kemudian dicincang. Bentuknya nanti menjadi serpihan atau potongan kotak-kotak kecil. Katakanlah mirip daging cincang, namun lebih kasar. Tahap selanjutnya, rebung tadi dimasukkan di dalam baskom dan masukkan air. Terakhir, campurkan rebung cincang ini dengan potongan ikan mentah yang sudah dibersihkan. Biasanya ikan air tawar yang tak asing di sana, misalnya ikan mujair, ikan putih, ikan mas, atau ikan gabus. Tidak perlu banyak, cukup beberapa potong. Sekarang tutuplah baskom dengan rapat. Selesai! Tunggulah dua sampai tiga hari sampai lemeah berubah bau menjadi asam karena fermentasi. Taraaa, lemeah pun sudah jadi dan siap diolah sebagai masakan khas masyarakat Rejang.
Rebung muda yang telah dibersihkan sebagai bahan utama lemeah
Setiap rumah di Curup pasti hapal cara membuatnya atau temuilah di pasar-pasar tradisional. Pedagang lemeah setia menjajakan di tiap sudut. Jangan khawatir ikan seperti berbau aneh atau ada yang mengatakannya "busuk", karena hal itu disebabkan proses pengawetan alami.
Lemeah hasil fermentasi rebung muda yang siap diolah menjadi masakan nikmat
Lemeah wajib dimasak menjadi beragam masakan dengan bumbu dasar sambal.  Variasinya bisa bermacam-macam. Paling sederhana dibuat sambal lemeah. Caranya, tumis bawang merah dan putih halus beserta sambal. Begitu harum masukkan lemeah dan sedikit air. Beri garam dan gula pasir secukupnya. Rasanya? Jangan tanya. Campuran asam, pedas, dan segar menggugah selera. Selain itu lemeah akan lebih gurih dicampur udang atau ikan. Kali ini saya akan memberikan resep andalan keluarga kami, lemeah kan dawen tales.

Resep Lemeah Kan Dawen Tales
Bahan:
Lemeah, semangkuk kecil (kira-kira ¼ kg).
10 buah cabe merah.
5 siung bawang merah.
3 siung bawang putih.
Sedikit kunyit.
3 batang talas muda (ambil bagian dalam dan daun yang masih kuncup), potong-potong.
Setengah butir kelapa, ambil santannya.
½ kg ikan mas.
Minyak goreng secukupnya untuk menumis.

Cara Membuat:
1.      Haluskan bumbu yang terdiri dari cabe, bawang merah, bawang putih, dan kunyit.
2.  Tumis bumbu dalam minyak panas dengan api kecil sampai harum. Masukkan ikan mas yang telah dipotong, lalu talas. Aduk sampai bumbu merata sehingga ikan dan talas terlihat layu.
3.     Masukkan santan. Aduk pelan santan sampai mendidih, untuk menghindari kuah pecah. Jangan terlalu kuat, supaya daun alas tidak hancur.
4.  Terakhir masukkan garam dan sedikit gula. Tanda masakan matang adalah ikan tidak lagi amis. Daun dan batang talas menjadi lembut. 

Lemeah kan dawen tales ini cocok dimakan dengan nasi mengepul panas bersama keluarga. Satu lagi, temannya adalah lalap jering (jengkol muda). Waduh, surga dunia pokoknya, hehehe... Apalagi jika dimakan di dangau, pondok kecil di tengah sawah begitu habis bekerja. Rebung terasa segar dengan sensasi asam pedas bercampur kuah yang gurih karena dipadu santan. Ketika kita mencubit daging ikan, wangi khasnya akan begitu menggoda dan manisnya bakal menggoyang lidah. Yang paling saya suka adalah tekstur pucuk daun talas yang superrrr lembut, maknyuss… Daun talas ini hampir menyerupai tepung saking lembutnya, namun sedikit liat. Agak berbeda dengan batang talas yang juga lembut, tapi meninggalkan kesan kesat karena berserat. Namun perlu diperhatikan saat memasaknya. Talas harus benar-benar matang, karena jika tidak akan terasa gatal.
Nikmatnya lemah kan mas dawen tales yang disantap dengan lalap jengkol muda
Melanglangbuana ke Luar Negeri karena Khasiatnya
Begitu terkenalnya Bengkulu dengan rebung, tidak heran beberapa tahun lalu mulai dibudidayakan. Biasanya rebung diambil dari bambu liar di kebun yang tidak ditanam dengan sengaja. Olahan berupa rebung kalengan rutin diekspor ke Jepang dan beberapa negara Eropa. Pabriknya terdapat di Kabupaten Lebong, kabupaten pemekaran dari Rejang Lebong. 

Rebung mengandung antioksidan jenis fitosterol, penangkal radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Di Cina, kabarnya dipercaya menurunkan kadar kolesterol jahat dalam darah. Selain itu rebung juga memunyai kadar serat tinggi. Serat bisa melancarkan pencernaan sekaligus mengurangi resiko kanker. Tidak kalah penting kandungan rebung adalah protein yang tinggi, karbohidrat, dan asam amino. Hebatnya, rebung termasuk makanan yang rendah lemak dan gula. Lain lagi dengan talas, tanaman ini mengandung karbohidrat yang tinggi, protein, lemak, dan vitamin, serta sejumlah mineral penting. Khusus pada daun talas, kandungan proteinnya lebih tinggi dari umbi (sekitar 4-7 persen). Sementara untuk ikan, sepertinya saya tidak perlu menjelaskan, karena semua percaya si jago renang ini bergizi tinggi. 

Lemeah dan Tradisi Masyarakat Rejang
Ehm, sulit bagi saya menjelaskan sejarah masakan lemeah ini yang sahih. Hampir dikatakan tidak terdeteksi karena sejarah masyarakat Rejang sebagai penduduk terbesar Provinsi Bengkulu yang termasuk kelompok Proto Melayu masih diteliti hingga sekarang. Karena pada kenyataannya, meski memunyai aksara kuno Kaganga, asal-usul Suku Rejang (secara pasti) sulit dilacak. 

Hanya saja, sepanjang masyarakat Rejang percayai turun-temurun, lemeah begitu populer dan membudaya sebagai pelengkap lauk-pauk sehari-hari. Semua generasi tahu karena tak pernah tergerus zaman hingga sekarang. Bahkan, penduduk di luar masyarakat Rejang yang menempati daerah tersebut semisal Minang, Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan lainnya pun banyak yang menyukai.

Kalau menelusuri sejarah, masyarakat Rejang adalah suku agraris yang hidup di daerah tropis. Di mana bambu tumbuh berlimpah dan ikan pun mudah didapatkan di sungai-sungai, danau, atau rawa-rawa. Mereka akrab dengan rebung, yang juga seringkali disantap oleh beruang atau babi hutan. Sekarang, di zaman modern dan lintas batas, putra-putri Rejang telah menyebar ke berbagai belahan Indonesia dan dunia. Tiap belek sadei alias balik dusun, lemeah tetap menjadi masakan favorit yang bikin kangen. Ya pedasnya, ya wangi khasnya, ya asamnya, dan ya cita rasa unik rebungnya yang tak bisa ditemukan di tempat lain. 

Tidak heran, di Bandara Fatmawati Soekarno, saya seringkali melihat orang yang membawa jerigen yang ditutup rapat ketika habis mudik. Isinya apalagi kalau bukan lemeah mentah. Penasaran mencobanya? Ayo, bertandang ke negeri kami di Provinsi Bengkulu. Biar keluarga saya menjamu Anda sepuasnya.