Minggu, Februari 21, 2010

Kusampaikan kata berbaris rapi menghadapmu.

Kusampaikan kata berbaris rapi menghadapmu.
Sepertinya diam, tapi gegas di hati.
Menghamparkan semua harap
aku percaya padamu saja

dan bila dihantamkan aku pada pilu pahit
kuambil penawarnya darimu
Lalu luka menguap suka
Padamu, bersama adalah belajar
menghapal bahwa hidup adalah tentang bertahan.

jadilah bara yang membakarku
gelegakkan buncah cahaya
sampai terang jiwa

padamu, aku lakukan juga.

Utan Kayu, 00:43/21.02.2010

[Elzam Zami]

Jumat, Februari 12, 2010

Tentang Emak: Inspirasi Hidup Sang Anak, Cinta, dan Pengorbanan


Emak melewati malam-malam sendiri di sebuah pondok kecil di pedalaman Bengkulu, tanah Sumatera. Sendiri saja. Wangi kelopak putih bunga kopi menemaninya. Menjelang senja, apalagi ketika hujan usai turun kelopak-kelopak kecil menyerupai bunga melati yang berbongkah-bongkah merekah dan memenuhi hamparan kebun kami hingga esok pagi ketika waktu dhuha sampai. Sungguh semerbak memenuhi udara segar pegunungan. Lalu bunyi serangga yang biasa kami sebut wirwir akan mendominasi suara malam beserta desir angin yang menggoyangkan rimbunan bambu, pohon durian, pohon puput, petai cina, atau hamparan batang kopi berdaun hijau dan tebal. Beliau tidur dengan kasur dan selimut seadanya. Kasur kapuk yang diisi sendiri oleh tangan beliau yang pohonnya juga tumbuh di sekitar kebun.

Sebelum tidur Emak acapkali harus memperbaiki kertas bekas semen Padang yang direkatkan (menggunakan lem sagu) ke dinding untuk menghalau dingin. Dinding pondok tempat Emak melepas lelah adalah pelopoah. Terbuat dari bambu yang dibelah memanjang, lalu dimemarkan menyerupai kepingan papan di mana sebelumnya direndam supaya lembut. Dinding ini menyisakan celah-celah yang harus ditutup agar udara dingin dan angin pegunungan tak masuk ketika malam.

Emak akan tertidur lelap setelah seharian bekerja menjadi petani, yang berkarir dengan beronang,* sengkuit,** sepatu plastik hitam, dan topi bundar berpinggir lebar dari daun rumbia yang biasa dinamai serindak. Emak membersihkan rumput liar, membuang ranting-ranting mati, menumbangkan tunas, dan cabang tanaman kopi yang tak perlu, serta menyemprot hama. Semua pekerjaaan yang membutuhkan kekuatan otot itu dilakukannya sendiri. Padahal, bila melihat postur tubuh Emak, banyak orang seperti tidak akan memercayai kalau memang Emak melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik itu. Jika musim panen tiba maka Emak akan memetik kopi, memikulnya sampai ke halaman pondok yang dipenuhi gundukan kopi hasil petikan. Kopi merah harus dijemur layaknya menjemur padi hingga kering. Setelah itu baru bisa dibawa ke heller, tempat menggiling kopi dengan mesin untuk memisahkan kulit dan biji kopi.

Menjelang subuh Emak telah bangun, berwudhu dengan air dari gerigen yang telah disiapkan di belakang pondok sebagai persediaan sewaktu-waktu dibutuhkan. Sumber air cukup jauh, yakni sebuah aliran telaga berjarak sekitar 300 meter dari pondok, menujunya harus menuruni cadas yang berkelok-kelok. Lagipula terang yang belum sempurna membuat babi hutan, beruang, dan binatang lain semacam kalajengking masih punya alasan untuk berkeliaran. Jika menemani Emak di kebun saat-saat sekolah diliburkan, seringkali aku melihat Emak sholat dengan duduk saja. Kecapaian yang amat sangat menuntut demikian. Subhanallah. Duduk terpekur dengan mukenah putih tipis dan lusuh, membuat hatiku ngilu. Emak tetap menjalankan ibadah, melepaskan semua pengharapan pada Allah semata setelah segenap ikhtiar ditunaikan.

Begitulah... bertahun-tahun sosok ibu yang kupanggil Emak berkiprah. Sampai kini ia tetap melakoninya. Menjadi petani sekaligus ibu bagi anak-anaknya yang sekarang telah beranjak dewasa semua.

Lalu ke manakah suaminya, anak-anaknya? Bapak hanya seorang guru. Dengan sembilan orang anak, maka mengandalkan gaji semata jelas tak mencukupi. Jadilah Emak mengurus kebun kopi. Sebelumnya kakak laki-laki keduaku yang mengurusnya. Emak hanya membantu. Tiga orang adikku –yang ketika itu belum bersekolah-- melewati masa kecilnya di kebun. Aku selalu tertawa mengingat Nina, adikku bungsuku kaget melihat ikan kok bisa ada di dalam kaleng? Maklum, sejak masih beberapa bulan dia dibawa ke kebun. Dan hampir-hampir tidak pernah melihat ikan sarden kalengan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Sesekali saja ke Emak ke Curup, kota kabupaten tempatku tinggal. Bahkan ketiga adikku sering berlari berlindung di bawah rerimbunan kopi bila pesawat terbang lewat di atas sana. Mereka takut jika pesawat itu adalah pesawat Amerika yang membombardir Irak ketika Perang Teluk berkecamuk di tahun 1990-an lalu. Mereka hanya tahu pesawat untuk perang dan bisa saja mencelakai mereka yang sedang asyik bermain di sekitar pondok. Tentu saja informasi sepotong-sepotong itu hasil dari mendengar pembicaraan orang-orang dewasa kala itu. Namun ketika kakak keduaku memutuskan berhenti bertani dan ingin kuliah, Emak mengambil alih kebun. Hanya sesekali jika waktu libur sekolah dan saudara laki-lakiku yang lainnya ikut membantu. Menemani Emak di kebun yang hasilnya telah berjasa membiayai sekolah kami.
Aku masih ingat, lekat dalam benakku sampai sekarang peristiwa-peristiwa yang berulang-ulang terjadi. Seringkali aku disuruh pergi ke kebun untuk mengabarkan perihal kakak ketigaku yang kuliah di Jogjakarta membutuhkan uang. Waktu itu aku masih SMP dan harus naik angkutan umum menuju desa asal kami, diteruskan berjalan kaki untuk mencapai kebun.

Emak akan menjadi tumpuan harapan, dengan harapan kopi telah kering dan bisa segera dijual. Belum selesai kopi dipanen semua, belum kering keringat Emak. Sang anak telah meminta hasil, sedangkan aku tahu Emak di kebun makan sangat seadanya. Ketegaran macam apalagi yang bisa menandingi Emak? Sering aku menatapnya lamat-lamat ketika istirahat duduk beralaskan tanah. Berteduh di bawah pohon sekadar melepaskan sejenak rasa lelah. Matahari menyala-nyala membuat kerja gampang haus dan letih. Aku memperhatikannya takjub sekaligus perih. Emak petarung sejati.

Kukatakan sekali lagi, jika melihat Emakku, pasti tidak akan mengira beliau bisa sekuat itu mengurus kebun kopi sendirian. Tubuh Emak kecil, kurus, tingginya mungkin sekitar 155 cm dan bobot kurang dari 40 kg. Tapi dia benar-benar kuat. Mampu berjalan kaki dari desa ke kebun yang berjarak sepuluh kilometer lebih, ditambah dengan mengangkut beronang berisi kayu bakar di pundaknya.
Bapak memang cukup berpendidikan, lulus diploma sampai akhirnya bisa menjadi guru. Tapi tidak dengan Emak, beliau tak lulus SD dan hanya hanya bisa membaca seadanya. Meski demikian Emak tipe yang berpandangan jauh ke depan. Pendidikan bagi anak-anaknya adalah mutlak. Kondisi keuangan keluarga yang jauh dari mencukupi, bahkan sering kekurangan membuat dirinya menjadi orang pertama di keluarga yang turun membantu. Dan dialah sebenar-benarnya pahlawan bagiku dan saudara-saudaraku. Emak berjuang mati-matian mengurus kebun warisan satu-satunya kakekku untuk membantu pendidikan anak-anaknya.

Emak membesarkan kami dengan kasih sayang tanpa pernah mengeluh. Caranya membesarkan kami tidak dengan memberikan semua apa yang anak-anaknya inginkan atau menemani kami belajar setiap waktu. Bahkan karena lebih sering di kebun, banyak waktu kami untuk tidak bisa bersama Emak. Tapi kami memahami, pilihan itu diambil karena sesungguhnya bagi Emak kasih sayang harus dikonkritkan. Dan pilihannya saat itu adalah beliau harus bekerja membantu perekonomian keluarga.

Hasilnya meski sering ditinggal Emak ke kebun, kami anak-anaknya terbiasa mengerjakan segala sesuatu secara mandiri. Kami terbiasa mencuci pakaian sendiri-sendiri, bergantian memasak, atau membersihkan rumah. Tidak ada pekerjaan rumah tangga yang tidak bisa kami selesaikan. Baik laki-laki ataupun perempuan, pekerjaan semacam itu tidak menjadi masalah lagi karena sudah biasa dilakukan. Berbeda dengan teman-teman kebanyakan yang semuanya serba tersedia karena ibu mereka mempunyai waktu yang banyak untuk mengurus keluarga sehari-hari.

Bila pekerjaan di kebun selesai dan bisa ditinggalkan cukup lama, maka Emak akan pulang ke rumah. Hal yang paling sulit kuungkapkan adalah beliau sebenarnya mengidap penyakit tubercolosis (TBC). Penyakit yang kemungkinan besar diakibatkan ketika tahun-tahun sebelumnya Emak pernah menjadi buruh harian pemilih biji kopi. Waktu itu bersama ratusan wanita lain Emak bekerja memisahkan biji kopi sesuai dengan tingkat kualitas masing-masing sebelum diolah lebih lanjut. Pekerjaan itu mengharuskan beliau bergumul seharian dengan kotoran kopi dan debu di gudang. Namun riwayat penyakit demikian tak membuat ia berhenti berbuat, Sembari kontrol rutin di Puskesmas, Emak tetap berjuang untuk kami anak-anaknya.
Emak tidak akan bersantai-santai di rumah karena dia tidak bisa tinggal diam. Maka beragam kegiatan tambahan dilakukan Emak, bekerja menjadi pembuat kue, membantu toko kelontong, menanam kangkung di belakang rumah, dan pekerjaan lain yang tak bisa kuingat semua. Uang yang beliau dapatkan habis untuk membayar biaya sekolah kami, kuliah kakakku, dan membantu kebutuhan rumah.

Berbicara tentang Emak adalah mengurai berjuta keteladanan. Bahwa kami harus giat belajar, harus mempunyai harapan, dan bangkit melebihi beliau beberapa langkah ke depan. Sebisa mungkin melesat lebih jauh beratus kali daripada kehidupan orangtua kami. Emak pernah berujar, “Cukuplah Emak yang tidak berpendidikan, tapi kalian tetap harus sekolah, kalau bisa sampai kuliah. Pendidikan tinggi bukan hanya untuk mencari pekerjaan, tapi agar bisa memanfaatkan hidup lebih baik. Orang yang bersekolah itu becaro,*** beda dengan yang tidak mengenyam pendidikan. Menyelesaikan pendidikan jangan sekali-kali hanya bertujuan supaya mendapatkan pekerjaan yang hebat.”

Nasihat Emak, ditambah melihat semangat kerasnya menjadi penopang keluarga bersama Bapak membuat aku berusaha sekolah sebaik mungkin. Dengan susah payah perjuangan Emak aku bisa menyelesaikan kuliah. Sama seperti kakakku yang kuliah di Jogjakarta -meski harus berhenti- Emak menjadi tumpuan membiayai kuliahku. Sampai sekarang Emak masih tetap bertahan menjalankan hidup yang penuh dengan kerja keras dengan menjadi petani kopi. Saran kami agar kebun itu dikerjakan orang lain dan keluarga kami mendapatkan bagi hasil tidak digubris. Menurut Emak hasilnya menjadi lebih sedikit karena harus berbagi, sedangkan kebutuhan sangat banyak. Lagipula bila diurus orang lain, Emak khawatir tidak dilakukan sebaik pemiliknya sendiri.

Emak sejak menikah dengan Bapak tak pernah berhenti berjuang. Terlebih ketika anak-anaknya mulai lahir satu-persatu. Masih kami kenang setiap fase-fase pekerjaan yang dilakukannya. Ketika merasa sedikit berbeda dengan teman-teman yang lain. Misalnya waktu aku masih SD antara kelas 2 atau 3, terasa sekali seakan tidak mempunyai ibu, karena ketika pulang Emak tidak menyambut kami. Beliau sibuk bekerja dan baru pulang menjelang magrib sebagai buruh harian pemilah biji kopi. Adikku masih dua kala itu dan si bungsu mendapatkan ASI setelah Emak pulang.
Aku kerapkali terenyuh sekaligus kagum dengan kerasnya jalan hidup yang mesti dilalui Emak. Emak memang tidak berpendidikan, tapi demi bisa menjalankan ibadah lebih baik, dia terbata-bata membaca buku do’a dan panduan sholat. Emak masih menyempatkan mengikuti majlis taklim jika tidak sedang di kebun.

Sekarang di usianya yang lebih dari 50 tahun, Emak masih bekerja mengurusi kebun kopi milik kami. Tiga orang adikku semuanya masih kuliah. Satu sedang menggarap skripsi, sedangkan adik yang tengah menginjak semester lima. Terakhir si bungsu yang baru saja masuk tahun pertama di sebuah perguruan tinggi negeri Bengkulu. Ditambah salah seorang kakakku yang berinisiatif mengambil pendidikan guru Taman Kanak-Kanak sambil nyantri di Pesantren Daurut Tauhid, Bandung. Alasan-alasan ini pula yang membuat orangtua kami masih bekerja. Di usia yang tak lagi muda Emak masih mengurus kebun. Terkadang adik yang laki-laki ikut membantu di sela-sela kuliah. Kakak lelakiku yang kebetulan belum menikah juga sesekali ikut membantu. Bapak yang telah pensiun pun masih mengajar di salah satu sekolah swasta.

Aku malu sebenarnya. Sedih belum bisa membantu Emak dengan maksimal. Bekerja di Jakarta (dan hidup kost) membuatku tak bisa menyisihkan uang lebih banyak. Hanya sesekali aku membantu mengirim uang untuk adik-adikku. Selebihnya semua masih menjadi tanggungan orangtuaku dan dibantu saudara-saudara yang telah menikah. Sepanjang usianya Emak selalu memberikan apa yang terbaik bagi anak-anaknya. Seluruh tenaga dan waktu dicurahkan tanpa berpikir balas jasa apa yang akan kami berikan.
Tentang Emak, aku akan merangkumnya menjadi satu kalimat. Emak selalu dan akan tetap ada untuk eksistensi keluarga kami. Beliau sangat-sangat bermakna bagi kami menyusuri lorong-lorong kehidupan di dunia. Emak akan menjadi sosok ibu yang selalu menjadi inspirasi ketika kami mulai malas dan enggan untuk bangkit dalam rintangan hidup. Belajar tentang cinta dan pengorbanan maka senyata-nyatanya guru adalah bagaimana Emak membesarkan kami. Menjadi beralasan ketika Rasulullah Saw menyampaikan bahwa orang yang pertama harus kita hormati adalah ibu. Rasulullah Saw menjawab sampai tiga kali dengan jawabannya yang sama ketika sahabat menanyakan siapa lagi yang harus dihormati setelah ibu. “Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu,” itulah jawaban Rasul yang mulia.

Terkhusus untuk Emak, aku mencintainya sepenuh jiwaku yang tak pernah lupa akan tetes keringat yang beliau kucurkan. Dan biarlah jejak-jejak kakinya yang terekam menyusuri bumi Allah ketika menjemput rezeki bagi anak-anaknya menjadi saksi. Satu hal yang ingin sekali kupersembahkan adalah menghajikan Emak, tentunya dengan Bapak. Apakah ini bisa terwujud, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Aku akan tetap berupaya. Ya Allah, berkahilah umur yang panjang untuk kedua orangtuaku dan jadikan aku hamba yang bisa menunaikan bakti pada keduanya. Amiin. [Elzam]