Selasa, Juli 22, 2014

Pilpres 2014, Sebuah Catatan Subjektif

Beliau melakukan pencitraan di televisi dan media lain, jauh sebelum perhelatan pilpres 2014 dimulai. Bekerja sedemikian keras untuk meyakinkan, ada sosok pemimpin yang tegas, berwibawa, ksatria, dan membangun Indonesia menjadi macan Asia, dikagumi bangsa asing. Didukung oleh sedemikian banyak parpol dan ulama, dikulik kisah cintanya yang penuh pesona karena setia menanti belasan tahun dengan tetap bertahan menyendiri. Dipuja kegagahan dan ketampanannya. Dihormati sifat kerasnya. Diakui patriotismenya sebagai prajurit nasionalis, dan, dan, dan…

Tidak mudah menelan kekalahan setelah bertahun-tahun mensosialisasikan keinginan menjadi presiden Indonesia. Yang terkubur dalam satu hari saja, pilpres 7 Juli 2014.

Tidak heran, beliau pantas berjuang lebih keras lagi agar situasi bisa berubah. Undang-undang masih mengatur agar kekalahan pahit mungkin bisa berbuah manis. Meminta rekapitulasi ulang atau gugatan ke MK. Dengan alasan kecurangan dan pemilihan yang inkonstitusional. Demi demokrasi yang bermartabat?

Sementara kita diminta  abai, sang pemenang sudah sedemikian parah ditikam kecurangan karena oknum partai yang menguasai pemerintah memanfaatkan posisi untuk teman koalisi,sejumlah elit birokrasi membuat “seruan” tertulis/tak tertulis memenangkan sang jenderal, oknum panitia pemilihan terindikasi condong ke merah-putih, fitnah dan kampanye hitam bertubi-tubi yang mengabaikan demokrasi beretika disemat sangat pekat, fisiknya dicela, tampangnya jadi soal, pion/boneka ditasbihkan, beragam idelogi kontra satu sama lain yang katanya tak pantas di negeri agamis-pancasilais dilabeli pada otaknya, kerja singkatnya disebut tak amanah, hasil kepemimpinannya dinihilkan, daerah kelahiran disebut-sebut membencinya, ibukota dipastikan tak sudi memilih karena telah ditinggalkan, dan, dan, dan… Tapi sayang, itu tak membuat suara untuk sang lawan menjulang. Sang pemenang sudah mulai terkuak dari berbagai prediksi statistika-matematika. Kita abai, bahkan ilmu tak boleh ada sekadar memprediksi, setelah kemarin-kemarin boleh jadi acuan di lain pemilihan. Alasan berderet-deret.

Atas nama kecurangan dan inkonstitusional, pengumuman minta ditunda ulang, pemilihan minta diulang.

Rasanya sekarang tak lagi menjadi penting bagi rakyat! Siapa yang paling menderita dan menjadi korban paling dominan dirugikan dengan cara-cara demokrasi tak bermartabat, kekanak-kanakan, mengabaikan etika manusiawi, dan memaklumi nilai agama tak perlu menjadi pijakan saat mengajak orang pada pilihan presiden yang dielu? Kau yang kalah menjadi korban ketidakadilan dan ketidakbenaran? Sementara, bagiku sang pemenang rasanya korban paling teraniaya. Di musim pilpres ini, di musim pilkada lalu.

Kedua pihak belum bisa berdemokrasi dengan elegan dan bermartabat. Memang. Pun pendukungnya. Kita menuju ke sama, dan mungkin masih jauh.

Tapi jangan menepuk air di dulang, mengatakan kemenangan diraih karena kecurangan, sementara sang pemenang lebih banyak dicurangi meski (dan tetap dimenangkan rakyat). Oleh siapa? Tanya kepada jejak-jejak di belantara sosial media, cetakan koran, tebaran website-blog, arsip video, tabloid musiman, ceramah-ceramah,  dan, dan, dan …  Jangan tanyakan pada rumput yang tak lagi  bergoyang, dengan hijau segarnya yang meranggas kering. Sang rumput tak tahu apa-apa, ikut mati dibius aura hitam sifat kita...

*Soal catatan ini, jangan dianggap. Hanya coretan satu orang subjektif yang begitu semangatnya mengikuti pilpres dibanding tahun-tahun sebelumnya, yang memilih Jokowi sejak dari awal. Memilih Jokowi jadi gubernur, lantas memilih Jokowi menjadi presiden. Ia tak lebih sosok pemegang jabatan politik yang tak biasa, anti-mainstream, yang kulihat selama ini tak kutemui di birokrasi, namun sekarang mulai bermunculan pemimpin yang serupa. Dan ia tetap bukan nabi bagiku, dalam tahiyat Muhammad Saw masih kusebut, Allah Swt masih kutuhankan.