Senin, Juli 13, 2020

Belajar Cara "Mendidik" di Kuliah Online Sokola Institute: Sejarah Pendidikan Konstektual Sokola, Apa Itu Pendidikan Kritis dan Refleksi Filosofi Mengajar

Sore dengan cuaca yang cenderung hangat di Halmahera, jika tidak sedang musim hujan. Waktu di mana acapkali satu keluarga kecil membelah jalanan utama yang mengelilingi pulau terbesar di provinsi Maluku Utara, menuju Desa Payahe, Oba, yang secara administratif masuk ke Kota Tidore Kepulauan. Biasanya mereka, iseng mencari ikan buat lauk di kampung nelayan atau mengambil uang di satu-satunya ATM se-kecamatan, yang sialnya lebih sering tak berfungsi. 

Keluarga kecil itu adalah kami. Satu ayah, satu ibu dan satu anak perempuan berusia 9 tahun. Sambil mengendarai motor matic kreditan yang sudah berjalan beberapa bulan, kami menikmati betul pemandangan di kiri kanan jalan. Di mana-mana kebun kelapa. Melambai-lambai tenang tersapu angin. Jalanan sangat lengang. 

"Tahu gak, tiap kali menyusuri Jalan Trans Halmahera ini, seperti de javu. Melayang ke impian masa kecil karena terpercik pelajaran Sejarah dan IPS di SD. Berasa pernah ada di negeri rempah-rempah ini. Akrab dengan Pulau Tidore dan Ternate, yang sejak dulu jadi poros keramaian berpuluh-puluh Kepulauan Maluku Utara," ujar saya. 

"Sekarang kita sudah ada di sini." 

Biasanya, kami akan ngobrol seru, menertawakan kegilaan-kegilaan atas aksi nekat kami memilih tinggal di timur Indonesia. Provinsi yang ada di kepala banyak orang; terisolir dari mana-mana, terbelakang dari pembangunan, modernitas dan pendidikan. Selama ini kami tinggal di Jakarta, saya pekerja swasta dan istri guru TK. Terakhir menepi di Depok, karena saya kerja full remote untuk sebuah perusahaan media di Jepang tidak tahan dengan hiruk pikuk Jakarta. Padat, polusi dan panas, meskipun kerja dari rumah. Sementara istri masih mengajar sebuah TKIT di Bilangan Condet, Jakarta Timur. 

Petualangan dimulai dari mimpi kami tinggal di kampung atau pinggiran kota yang nyaman. Mungkin Jogjakarta atau Bali. Mengelola taman baca untuk anak-anak dan membuat TK yang asik, bikin anak-anak kita menjadi pribadi yang manis, pintar dan kreatif. Tapi secepat ini? Lantas memilih pindah ke Maluku Utara. Yang mendengarnya saja, ibu saya di Bengkulu dan mertua di Sukabumi kaget. Semua berawal dari adanya penerimaan CPNS (ASN) akhir 2018 yang berada di daerah-daerah. Seingat saya ada Nias di Sumatera Utara, Aceh, Riau, Bengkulu, NTT, NTB, Maluku Utara dan Papua. Tiba-tiba saya punya ide,"Ma, ayo kamu jadi guru di daerah. Ini kesempatan buat kita pindah ke daerah."

Isteri yang dari awal enggan jadi PNS mengeryitkan dahi. 13 tahun jadi guru TK, gak pernah terbersit kepengen jadi PNS. Streotipe PNS yang santai, lamban, sikut sana sikut sini beraroma KKN dan gak kreatif terlanjur bikin dirinya enggan melirik status tersebut. Apalagi di daerah. Kebayang bikin stress dan tak sesuai dengan jiwanya. Saya meyakinkan, anggapan tersebut tak sepenuhnya salah, tapi tak sepenuhnya benar. Di manapun kita bekerja, karakter diri seseorang lah yang akan membawanya sebenarnya bekerja. Bukan hal lain. Apapuan kondisi dan tantangannya. 

"Indonesia Timur itu kekurangan guru. Jangankan guru yang bagus, guru yang sesuai latar belakang pendidikannya saja sudah ketemu. Mereka butuh guru, hak setiap anak-anak juga dapat pendidikan, kan?" kata saya.

"Iya memang timpang. Gak ada aku di Jakarta sebagai guru gak bakal ngaruh. Guru banyak di sini, bagus-bagus. Satu guru di daerah akan sangat berarti. Coba aja kamu yang urus deh registrasinya." 

Saya ketawa. Secepat itu kami memutuskan. Satu lagi yang membuat kami mantap, bonusnya adalah tinggal memuaskan hasrat jalan-jalan. Saya pun mulai googling beberapa daerah yang sekiranya bisa kami tinggali. Kriterianya cuma ada listrik, ada sinyal internet, ada air minum. Menyesuaikan work from home yang saya jalani sejak 2007. Selain itu tidak prioritas. Akhirnya saya menawarkan Tidore Kepulauan di Maluku Utara. Saya menelusuri detail setiap info unit kerja pada formasi yang ditawarkan, sampai ke seberapa jauh dengan BTS (Base Transceiver Station), kondisi listrik dan jarak ke pusat kota. Bonus yang bikin kami sepakat ke Tidore, karena hasrat bisa keliling pantai-pantai di gugusan pulau-pulau Maluku Utara. Tentu ini akan sangat menyenangkan. 

Serius dengan rencana tersebut, berdua kami terbang ke Ternate, lalu menyeberang ke Pulau Tidore untuk survey lokasi. Apa reaksi mendarat di Tidore? Sepi. Bahkan lebih sepi dari kota kecamatan di kampung istri di Sukabumi. Kami jatuh cinta untuk kali pertama dengan pulau kecil yang sepi, cuma ada angkot dan bentor (becak motor) dan toko-toko ala kadarnya. Belum pernah liat kota sesepi ini dan penilaian kami Tidore cukup religius, tenang dan cocok untuk menyepi. Episode lanjutannya adalah istri bolak-balik Jakarta-Ternate untuk urusan CPNS ini. Cukup menyita energi karena begitu urusan selesai langsung balik Jakarta, tanggung jawab di sekolah lama harus ditunaikan. Sangat menguras kantong juga, karena harga tiket yang super mahal. Kebayang juga nanti, kalo lulus kami bakal tidak bisa sering-sering pulang kampung menengok orangtua. 

Singkat cerita, ternyata isteri lulus. Satu yang membuat saya agak khawatir adalah kelangsungan pendidikan puteri kami, Kekey. Membayangkan apa jadinya dia sekolah di kampung. Jangankan bicara model pembelajaran asik yang diterapkan, fasilitas yang cukup, inovasi pembelajara, bla bla bla... Gurunya pun kadangantara ada dan tiada. Persis seperti yang banyak saya baca di media dan pengalaman orang-orang di sana. Apalagi Kekey bahkan belum menyelesaikan satu semester di kelas satu. Bayarpun berasa mau nangis, karena kami bela-belain demi pendidikan anak membayar sekian puluh juta. Bukan karena kami berkecukupan, tapi keinginan anak mendapatkan pendidikan terbaik. Kemudian satu semester ditinggalkan demi pindah ke Maluku Utara. Kali ini giliran isteri yang menghibur, "Bukan guru di sekolah saja yang mendidik anak. Tapi juga kita berdua, kan?" 

Januari 2019 kami tiba di Tidore. Kejutannya, isteri bertugas di Pulau Halmahera karena ternyata lokasinya bukan di Pulau Tidore. Rupanya informasi yang saya dapatkan dengan berselancar di dunia maya sangat terbatas. Kami salah memprediksi, karena ternyata Kota Tidore Kepulauan itu meliputi Pulau Tidore, Pulau Mare dan sebagian pesisir barat Pulau Halmahera. 

*** 

Sabtu-Minggu lalu, 11-12 Juli 2020 lalu, saya mengikuti Kuliah Online Sokola Institute (Koalisi). Kuliah daring dari Sokola Institute, sebuah organisasi yang menyasar pendidikan nonformal berbasis masyarakat adat (dan marginal) yang diinisiasi oleh Butet Manurung. Kuliah ini berlangsung tiap akhir pekan sampai 8 Agustus mendatang. Di pekan pertama, materi diampu oleh Butet Manurung, Abdul Saleh, dan Faradilla. 



Lantas, kenapa saya menceritakan sebab kami ada di Halmahera dan apa hubungannya dengan Koalisi? 

Saya mengingat cita-cita kecil jika tiba nanti. Ingin membuat taman bacaan untuk anak-anak, membuat aktivitas-aktivitas literasi semacam belajar menulis, kelas jurnalistik dan hal-hal menyenangkan lainnya. Setahun di Halmahera, sementara isteri mulai menikmati passion-nya menjadi guru TK di desa kami, melakukan perubahan secara bertahap. Dari yang kadang sekolah kadang tidak, tidak ada evaluasi akhir semester (rapor), membuat aktivitas belajar menjadi yang dirindukan anak-anak yang sebelumnya tidak ada ghairah berangkat sekolah, melakukan pensi (pekan seni) untuk kali pertama sekolah berdiri, outing ke alam, dan merombak aktivitas kelas yang selama ini sekadar bernyanyi, mengisi lembar kerja, makan dan pulang, hingga menginisiasi guru-guru TK/PAUD lain untuk belajar bersama bagaimana mengelola sekolah lebih baik. 

Sementara saya, masih jalan di tempat. Sempat ingin menjadi guru SMA di sekolah swasta, tapi saya merasa tidak percaya diri. Saya lulusan Fisip yang sehari-hari menghadap laptop untuk media tempat saya bekerja. Merasa tidak bisa mengimbangi isteri untuk turut berbuat, meski sedikit saja. Mau membuka taman baca, koleksi buku-buku kami masih sangat sedikit. Buku-buku di Jakarta sudah dibawa ke Sukabumi, karena belum bisa kami bawa. Jadi sementara ini, setiap kali ke Ternate, saya mencoba membelikan Kekey buku-buku permintaannya dan majalah anak-anak. Beberapa anak-anak memang sering bermain dengan Kekey di rumah, kadang sambil membaca. Namun di sini lebih banyak yang tidak atau belum bisa membaca. Kelas tinggi empat dan lima pun masih banyak yang sulit membaca. Jangan ditanya kelas satu, dua dan tiga. Bahkan, ada anak SMP yang masih belum bisa membaca. Tidak masuk akal, bukan? 

Sedianya, bulan Juli ini kami akan mulai mempersilakan anak-anak yang tidak bisa membaca untuk berkumpul di rumah. Belajar calistung. Namun pandemi covid-19 membuat kami urung menghimpun mereka di rumah. Saya pikir, kuliah online ini bisa memberikan gambaran kami mengelola taman baca kelak. Saya dan isteri pun terpikir, untuk mencoba membuka kelas calistung untuk anak-anak Suku Tobelo Dalam (Togutil) di hutan Halmahera. Info yang kami dapatkan dari pegawai Suaka Alam Ake Tayawi Lolobata saat ngobrol, mereka terkendala relawan yang bersedia mengajari anak-anak suku pedalaman tersebut. 

Dari kelas pertama Koalisi yang saya dapatkan. Saya jadi merenung. Apa yang dilakukan Sokola Institute, yang disarikan dari pengalaman Butet Manurung menjadi guru bagi Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas jauh melampaui apa yang saya pikirkan. Saya pikir, mengajari anak-anak membaca artinya mendekatkan mereka pada kemudahan mengejar cita-cita. Apakah menjadi polisi, guru, dokter, pengusaha dan profesi-profesi "sukses" lainnya. Membuka wawasan mereka untuk menjadi maju dan tidak terbatas pada cangkang sendiri "di kampung" yang serba terbatas. Mampu dan ingin kuliah setinggi-tingginya ke luar daerah bahkan ke luar negeri. 


SEJARAH PENDIDIKAN KONTEKSTUAL SOKOLA

Saya mendengar kiprah Kak Butet mengajar Orang Rimba di Jambi sudah cukup lama. Sejak kuliah di Universitas Bengkulu, provinsi tetangga Jambi dulu. Juga membaca pengalamannya di Taman Nasional Bukit Dua Belas lewat buku "Sokola Rimba" yang terbit tahun 2007. Dimulai dari aktivitasnya sejak 1999 bekerja pada sebuah lembaga konservasi, yang dinilainya mentok tidak bisa bertujuan self-determination, kemampuan menentukan nasib sendiri karena dibatasi tujuan konservasi semata. Padahal, sejatinya pendidikan idealnya bisa menjadi senjata beradaptasi menghadapi masalah baru dari luar komunitas. Sokola memercayai, masyarakat adat memiliki eksistensi pengetahuan sendiri yang membuat mereka survive ratusan tahun. Diberi pendidikan, menjadi pertanyaan Orang Rimba, "Kami sudah bisa baca tulis, tapi kenapa hutan masih habis juga?" Inilah yang menjadi pertanyaan besar Kak Butet, apa gunanya dia menjadi pengajar sebenarnya?

Pendidikan jadi tak bermakna, ketika "rumah" mereka perlahan habis. Dihadapkan masalah seperti penerbangan liar, masuknya konsep uang/pasar, dan hal lain yang berisiko merusak tempat tinggal atau mengubah sistem adat. Konsep uang misalnya, mereka termarginalisasi karena buta huruf saat bertransaksi dengan pihak luar. Belum lagi, program-program yang menjauhkan masyarakat, seperti masuknya sekolah formal di beberapa masyarakat adat Indonesia. Ada yang timpang, ketika sekolah formal akan ditetapkan di komunitas atau masyarakat adat. Inilah alasan-alasannya seperti yang saya kutip dari materi kuliah dari Kak Butet:

- Sekolah formal tidak mengajarkan kemampuan yang sesuai dengan potensi alam sekitarnya.
- Sekolah formal tidak mengakomodasi sistem budaya lokal
- Sekolah Formal tidak mengakomodir cara belajar lokal dan sifat alamiah yang dinamis di alam bebas
- Sekolah Formal tidak (belajar) merespon persoalan kehidupan dan perubahan sekitar anak (setan bermata runcing)
- Sekolah Formal tidak merespon persoalan dan perubahan sekitar anak (setan bermata runcing)
- ISTILAH “SEKOLAH UNTUK PERGI” Anggapan: semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin besar kemungkinan seseorang meninggalkan kampung halamannya dan adat-istiadatnya.

Masalah di atas lah yang menjadi dasar Sokola hadir, membuat PENDIDIKAN MENJADI KONSTEKSTUAL. Bayangkan anak rimba yang hafal ratusan mamalia, jejak, obat kalau digigit, perangkapnya, siklus hidupnya, belum lagi semua binatang lain, serangga, reptil, dsb, ribuan tanaman, kontur tanah, juga kecakapan hidup, bertahan hidup di rimba, membaca tanda alam atau bencana, obat tradisional, mantra, pengetahuan adat, norma dan kepercayaan, dsb.

Dengan segala pengetahuan tersebut, maka Orang Rimba mempunyai sudut pandang normal (ideal atau maju) berbeda dengan orang kota. Konsep rumah, kepemilikan barang, lingkungan, makanan, sanitasi dan banyak hal lain berbeda "normalnya" dengan kita yang kadang terperangkap stigma menilai Orang Rimba. Prinsip-prinsip pendidikan berpihak yang menjadi dasar Sokola Rimba: 
● Live in 
● Humility (membumi) Belajar sebelum Mengajar (melawan syndrome ‘Hero’), datang sebagai murid, dengan pertanyaan bukan jawaban, banyak mendengar bukan bicara. 
● Adaptasi (mengakomodir kultur dan ritme harian, bahasa, makanan, kebiasaan) 
● Tidak mengintervensi nilai-nilai lokal 
● Kebersamaan dan menyenangkan 
● Kontekstual (materi, oendekatan, dll)

Dari kultur pendidikan dan persoalan komunitas inilah, pendidikan berbasis komunitas adat ternyata lebih mendalam. Tidak terpaku pada memberantas buta huruf (calistung) di tahap Literasi Dasar; tapi terus beranjak ke Literasi Terapan; penguatan identitas kultural oleh pemuka lokal/wawasan kerimbaan, pengetahuan dunia luar dan akses fasilitas atas hak warga negara/wawasan dunia luar, Pendidikan yang mendukung Advokasi; kaderisasi, pengorganisasian dan networking, berjaringan dengan pihak yang relevan. 

Dari pemaparan panjang Kak Butet, saya mendapat sudut pandang baru. Pendidikan seharusnya memiliki keberpihakan. Kepada siapa? Masyarakat itu sendiri. Mereka harus menjadi subjek pendidikan, bukan malah objek dari pendidikan yang kita pahami selama ini. Pendidikan idealnya mengikuti konteks yang mampu mendekatkan seseorang dengan kondisi etnografi. Lingkungannya sendiri, tanah yang didiami, identitas adat/lokal, kebiasaan dan tradisi turun-temurun. Dan ini jalan panjang yang tidak serta merta berhasil mengubah perspektif pendidikan komunitas adat dan kelompok marginal. Butuh waktu bertahun-tahun sampai ke tahap masyarakat pada akhirnya mampu mandiri menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi saat berhadapan dengan masalah-masalah di luar komunitas mereka. Beradaptasi tapi tetap lestari menjalankan sistem adat yang selama ini menaungi kehidupan mereka. 




APA ITU PENDIDIKAN KRITIS?

Ini kelas menarik yang diampu Pak Saleh Abdullah, peneliti INSIST (Indonesian Society For Social Transformation) yang terlibat di beberapa kerja Sokola. Benarkah pendidikan itu membuat seseorang menjad kritis? Jawabannya, iya. 

Pada dasarnya semua pendidikan mengajarkan sikap kritis. Karena pendidikan memberi pengetahuan kepada orang yang tidak tahu menjadi tahu. Namun bisa berbeda-beda hasilnya sesuai pada tahap kesadaran yang dibangun untuk peserta didik. Pendidikan akan melalui beberapa tahap kesadaran manusia; Magis (menerima apapun apa adanya), Naif (melihat ada kaitan antara fenomena tanpa merasa perlu mencari tahu), Ontologis ( melihat dan menyelidiki kaitan sebab akibat sebuah realitas), Fungsional (merasa perlu fungsi sistem atau subsistem dalam mengatur kehidupan), Kritis (pertanyaan-pertanyaan atau gugatan kritis mulai muncul sebagai implikasi dari semua perkembangan dinamika kesadaran sebelumnya), Transformatif (tahap akhir kesadaran yang menyadarkan perlunya pengorganisasian diri/komunitas untuk melakukan perubahan bagi perbaikan). 

Dari tahapan kesadaran kritis yang dicapai proses pendidikan ini, menjadi relevan bagaimana pendidikan harus berjalan secara konstektual. Bisa memberikan keberpihakan kepada persoalan-persoalan sosial yang dihadapi setiap komunitas tadi. Orang Rimba misalnya, menghadapi ancaman menyempitnya wilayah jelajah meramu dan berburu atau miss konsepsi uang saat transaksi dengan pihak luar, sampai pemaksaan-pemaksaan "kemajuan" yang dibawa program pembangunan yang sebenarnya tidak perlu karena tidak dibutuhkan atau tidak cocok bagi masyarakat adat. 

Pembahasan ini cukup panjang. Berkelindan dengan produk-produk kebijakan yang sarat kepentingan di mana masyarakat adat menjadi bagian dari negara. Guru di sini akan mendekatkan semua materi belajar sejak literasi dasar (calistung) kepada kontekstual masyarakat adat. Hal-hal yang terkait dengan kepentingan komunitas dalam memecahkan persoalan kehidupan mereka, juga didiskusikan dan para guru terlibat dalam diskusi-diskusi pemecahan masalah. Bahkan membantu memfasilitasi berhadapan dengan pihak-pihak kepentingan lain, penentu dan pelaku kebijakan. Berangkat dari komunitas itu sendiri, bukan guru. 

Terkait dengan kekhasan keberlangsungan masyarakat adat, saya baru mengetahui UU Desa memberi keleluasan sebuah desa/desa adat/nama lainnya untuk tidak bisa lagi diintervensi oleh kekuatan-kekuatan perusak dari luar, termasuk oleh struktur di atasnya. Termasuk penetapan untuk menjadi desa adat, dan hak untuk mengelola dengan kewenangan berdasarkan hak asal-usul. Berangkat dari asas  Lex Specialis (Hukum yang bersifat khusus) yang dimiliki UU Desa. Artinya, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Desa wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang ini. Lex specialis derogat lex generalis. Hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Dan menurut saya, dalam praktiknya model pendidikan Sokola tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam pendekatan nonformal. Bagaimanapun, Sokola kebanyakan melakukan model pendidikan untuk masyarakat adat (Orang Rimba, Tayawi/Togutil, Kajang) dan kelompok marginal (pesisir Kota Makassar). Jumlah masyarakat adat tentu terbatas, begitupun kelompok marginal yang komunitasnya homogen. Saya tidak tahu jumlahnya, tapi sekolah nonformal tidak selalu menyasar peserta didik dari latar belakang yang sama. Yang artinya: pola hidup, gagasan/cita-cita, kebutuhan dan latar belakang mereka yang belajar di satu sekolah nonformal sangat mungkin berbeda. Bukankah model dan treatment memetakan masalah pun akan sangat beragam? Dan belum tentu mewakili satu tempat di mana sekolah nonformal tersebut berlangsung. Tampaknya, ini butuh diskusi lebih lanjut di kuliah online minggu-minggu berikutnya. 

Kredit: Alief Dharmawan (peserta kuliah)



REFLEKSI FILOSOFI PENDIDIKAN SOKOLA

Nah, ini materi yang menurut saya sangat kontemplatif. Patut menjadi perenungan bagi setiap orang yang menyandang gelar guru atau volunteer. Materi disampaikan Kak Dilla (Faradilla Apristawijaya) yang saat ini sedang melanjutkan S3 kependidikan di Finlandia.

Intinya, sejauh yang saya tangkap, setiap dari proses pembelajaran upayakan melepaskan pusat kegiatan ada pada kita. No, kita tidak sedang menjadi penyelamat bagi peserta didik yang sedang dalam bahaya, kita tidak sedang menjadi orang pintar yang memintarkan orang bodoh, menjadi pahlawan mengatasi ketertindasan orang lain. Ini bukan tentang guru atau volunteer. Kaitannya, tentu dengan motivasi yang mendasari orang bergerak. Antara ego, tuntutan apresiasi, syndrom super hero, kebutuhan peserta didik/komunitas, dan sebagainya bisa saja membuat terpeleset. 

Beririsan dengan konsep pendidikan harus kontekstual dan aktual. Realita atau masalah menjadi objek pembelajaran sementara subjek pendidikan adalah peserta diri (komunitas) itu sendiri. Pengertian aktual tidak semata-mata nyata dan konkret, tetapi juga mengandung aspirasi dari orang-orang yang berada di dalamnya. Ini yang perlu dicatat. Pendidikan harus menjadi kesepakatan, sama-sama menyenangkan. Setiap kegiatan dan keberlangsungan pendidikan berangkat dari proses dialogis antara guru dan peserta didik (dan komunitas). Kalau menurut Kak Dilla, perlu sikap yang membumi, keyakinan pada keberdayaan komunitas, kasih sekaligus kritis. Dengan demikian alasan dan tujuan menjadi pendidik harus bersinergi. 

Banyak yang menarik dari Kak Dilla dalam kuliah kali ini. Namun saya ringkas saja, mengutip kesimpulan Kak Beatrice yang menjadi MC kuliah daring pekan pertama saat menutup kelas, yang juga diamini istri karena ikut mendengarkan. "Pendidikan yang sejati tidak akan terjadi tanpa dialog. Dan pendidikan haruslah kontekstual dan aktual serta berkontribusi langsung pada kehidupan, karena sekolah adalah untuk kehidupan."

[]