Kamis, Juli 22, 2010

Kuah Pindang Ayam Kuning


Hehehe...liat-liat ada blog cewek yang ngaku hobi masak. Ehm, baca-baca resep andalannya, aku jadi kepengen banget makan pindang ini. Kebayang pindang ikan mas di rumah buatan nyokap ato ayuk (mbak) yang enakkk atau pindang tulang yang bisa slurrrph-slurrpph... Kuahnya itu lho, gurih banget. Aku emang suka makanan berkuah dan seger-seger kayak pindang atau sop.

Sebenarnya mau ngesave di flasdisk, buat pindahin ke NB di rumah, tp lupa (alias gak punya, hohoho...) Jadi biar gak lupa, aku taruh di blog-ku aja. Siapa tau nanti kalo ada waktu luang bisa praktik sama My Honey di kontrakan. ^_^


Bahan :
Daging ayam, aku pake sayap ayam, cuci bersih, rendam dengan perasan jeruk nipis
Belimbing wuluh, potong memanjang (aku ga pake soalnya disini ga ada)
Tomat besar, potong besar2
Cabe Merah besar, iris besar2
Daun jeruk
Daun salam
serai dikeprek
Jahe dikeprek
air asam jawa
kecap manis
air

bahan halus :
Bawang merah
Bawang putih
Kunyit
Kemiri

Caranya :
1. Tumis bumbu halus, hingga harum, masukkan daging ayam,kecap, air,jahe, serai, daun salam, daun jerik. Masak hingga ayam empuk.
2. Masukkan belimbing, cabe, tomat, air asam, masak hingga air menyusut. Angkat dan sajikan. (disalin dari www.nisamufti.blogspot.com)

**Menikmati kebahagian itu tak ubahnya meracik masakan. Butuh kesabaran, ketelitian, dan rela berbau asap ria untuk mendapatkan kenikmatan di ujungnya**

Selasa, Juli 20, 2010

Pada Keriangan yang Jujur


Kadang-kadang wajah riang sekali pun manusia dewasa masih bisa berbohong. Dengan berbagai alasan! Ada yang sekadar untuk basa-basi agar lawan bicara merasa nyaman, ada yang "meriang-riangkan" diri, ada yang bermaksud menghibur diri, atau agar orang lain menganggap dirinya sempurna (paling tidak seperti tidak mempunyai masalah).

Begitulah, kejujuran tak hanya soal kata-kata yang kerap kita dengar dari sepotong lidah. Kejujuran pada akhirnya bicara sampai pada perbuatan yang sejalan dengan kata, pada ekspresi yang tak pernah dibuat-buat. Seperti pesan Al-Qur'an yang kira-kira mengatakan "amat besar murka Allah pada manusia yang mengatakan apa-apa yang tidak mereka lakukan dengan perbuatan." Ah, tentu yang saya bicarakan dalam konteks menipu diri dengan ekspresi muka yang tidak baik.

Saya, seringkali memerhatikan kanak-kanak yang nyaris tak pernah merasa sedih. Mereka dalam keadaan apapun, di manapun tetap bisa bergembira. Berlarian, memainkan apapun yang ada di dekatnya, bertanya ini-itu, tertawa-tawa bersama teman-temannya. Jujur sekali. Satu yang membuat saya iri, mereka, kanak-kanak itu tak punya beban.Mungkin saya lebay kali ya? Menjadi dewasa memang selalu ditimpa masalah. Baik dan buruk. Lalu bagaimana kamu menanggapinya adalah bicara kadar kedewasaan dan sikap bijakmu memandang hidup. Toh hidup, selalu berada dalam himpitan senang-susah, miskin-kaya, damai-konflik, hitam-putih, lapang-sempit.

Memaknai hidup, adalah jujur memenuhi keinginan diri sendiri. Mengikuti nurani yang bahasa agamanya fitrah. Lalu hempaskanlah kata-kata nafsu, logika ngawur, atau pemakluman-pemakluman diri yang sebenarnya hanya ngeles; saya manusia yang tak luput dari salah.

Ah, maafkanlah jika tulisan ini tidak jelas. Hanya sekadar curhat sebelum pulang kantor. Mencoba jujur menulis apa yang ada di pikiran (yang juga mikir tak jelas).
^_^

**Tak perlu susah membuat kata-kata, tapi ungkaplah apa yang dibisikkan nurani. Maka itulah kejujuran**