Selasa, Oktober 11, 2016

Film Wonderful Life: Disleksia dan Definisi Ulang Kebutuhan Anak-anak Kita

Produser     : Angga Dwimas Sasongko, Handoro Hendroyono, Rio                      Dewanto
Sutradara    : Agus Makkie
Penulis      : Jenny Jusuf
Produksi     : Visinema Pictures, Creative & Co
Pemeran      : Atiqah Hasiholan, Sinyo, Lydia Kandou, Alex Abbad,                  Putri Ayudya. Arthur Tobing,Abdul Arif, Totos Rasiti,                Didi Nini Thowok   
                     
Salah satu scene yang saya suka di film Wonderful Life

Penting untuk mendapatkannya. Keajaiban-keajaiban terbaik selalu akan ada pada “keburukan” takdir yang harus dilewati.

Apa yang Anda bayangkan, ketika anak Anda ternyata di zaman modern yang begitu menekankan pada pentingnya baca tulis justru sama sekali tidak bisa belajar huruf dan angka; mengenali, mengidentifikasi dan membacanya? Seseorang tanpa harapan. Tanpa masa depan. Apakah begitu?

Inilah yang diangkat oleh Film Wonderful Life (Karena Setiap Anak Terlahir Sempurna).

Sudah lama tidak menonton akting Atiqah Hasiholan, saya cukup terkesima ketika dia memerankan tokoh Amalia dengan begitu baik di Film Wonderful Life. Amalia, wanita karir yang dihadapkan pada kenyataan anaknya Aqil (diperankan Sinyo) adalah penderita disleksia atau dyslexia. Sebuah gangguan dalam perkembangan baca-tulis yang umumnya terjadi pada anak menginjak usia 7 hingga 8 tahun.

Amalia seorang pekerja keras yang diandalkan perusahaan periklanan tempatnya bekerja. Perfeksionis, pintar dan berkarit cemerlang. Sikap yang sebenarnya dibentuk “dibentuk” oleh ayahnya. Bagaimana kesuksesan diukur dengan nilai akademis mentereng dan prestasi yang gemilang. Ini juga yang membuat Amalia tertekan, karena Aqil tidak seperti dirinya. Aqil sakik dan itu harus diobati. Ayahnya atau kakek dari Aqil pun sedemikian membuat semua menjadi beban. 

Desakan sang ayah, penyangkalan dirinya atas kondisi Aqil menjadi benang merah Film Wonderful Life.

Beruntung, saya orang pertama yang diundang menonton salah satu film anak bangsa yang memunyai visi mencerahkan ini di XXI Senayan City, Sabtu 8 Oktober 2016 lalu. Bersama rekan-rekan media dan tentunya geng blogger Jakarta. Dari Blogger Koalisi Pesona Indonesia (KOPI) dan Blogger Mungil (Blomil). 

Geng blogger yang selalu antusias dengan acara-acara inspiratif 

Sepanjang menonton film ini, sesekali saya mengenggam tangan mungil Kekey (5 tahun) anak saya. Saya pekerja kreatif, menulis cerita anak, menulis animasi anak, pernah bekerja di penerbitan anak. Jelas, saya paham betul dunia tidak berisi dokter, ilmuwan, dosen, akuntan dan profesi yang mengandalkan (kebanyakan) sisi akademik seseorang. Penari, pelukis, aktor, desainer ternama banyak yang sukses dan menjalani hidupnya dengan fun. Tapi kadang, entah bagian dari pemikiran saya yang mana, kadang lebih dominan. Menginginkan Kekey les Bahasa Inggris, Matematika, Calistung dan sederet mimpi dia akan kuliah di jurusan kedokteran, teknik atau sains.

Padahal, Istri saya adalah seorang sarjana Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sudah 10 tahun lebih menjadi guru dari bocah-bocah dengan berbagai latar belakang. Sejak selesai sekolah menengah atas istri memang sudah menjadi guru TK. Sekarang mengajar di TKIT Buah Hati Jakarta yang tidak menekankan calistung sebagai target yang penting pada anak didiknya.


Di sinilah, saya mulai membongkar ulang miss-interpretasi saya pada ukuran kesuksesan. Film Wonderful Life telah membuatnya lebih jelas. Ya, meski sebenarnya saya tidak se-saklek orang tua pada umumnya. Mungkin, (sedikit) ambisi saya ingin Kekey jadi dokter, sarjana teknik, atau saintis pada kekaguman masa kecil saya pada siswa jago matematika, fisika, kimia dan pelajaran wah lain,disayang guru-guru. Mereka populer, hahaha... Meski sebenarnya, kebanggaan tersendiri saya adalah mengenang pengalaman di SMP ketika membaca puisi, kelas hening karena menurut saya mereka terpukau dengan penjiwaan dan cara saya membawakannya. Atau ketika praktik menulis cerpen di SMA, teman-teman memuji cerpen sudah seperti cerita kebanyakan di Kawanku, Aneka Yess dan majalah keren lain. Bahkan, saat kuliah prestasi menulis saya go national, hehehe...

Istri selalu bilang, tidak apa-apa anak tidak pintar di pelajaran sains, toh dia punya kelebihan di bidang lain. Tidak apa-apa di kelas B Kekey belum bisa membaca dengan lancar, karena usia segitu bukan saatnya belajar. Tapi bermain, mengasah aspek motorik dan sosial. Yang paling penting, sekolah (TK/PAUD terutama) menghasilkan anak yang bahagia dan berkepribadian baik. Lebih penting membangun anak jujur, berempati, kritis, suka menolong, berani, ketimbang bisa calistung usia 3-6 tahun. Intinya anak harus B-A-H-A-G-I-A. 

Jadi ketika pulang dari menonton Wonderful Life, istri saya antusias. Dan mengatakan film ini penting untuk ditonton para orangtua, terutama perempuan sebagai ibu. Rencananya ia akan share dan mengajak bareng guru-guru lain dan ibu-ibu agar bisa mengetahui. Kebutuhan penting anak adalah bisa diterima apapun keadaan yang diberikan Tuhan.

Media gathering dengan Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan
Terbukti Aqil dalam Film Wonderful Life membuktikannya. Tak bisa baca tulis, toh ia sangat terampil "menulis kata dan angka" melalui gambar-gambar yang menakjubkan. Membaca imajinasi dan menuangkannya di kertas putih. Bahkan, karyanya telah tersebar secara komersial. Apa ada anak se-usianya yang casciscus baca tulis bisa menghasilkan uang? Ini baru satu sisi. Tapi yang paling penting dan melegakan, Aqil dan Amalia di film ini menemukan keajaiban dalam “kekurangan” bernama disleksia. Benar-benar keajaiban yang didapatkan dari proses menemukan kesadaran oleh sang ibu, yang kelak diikuti kakek Aqil yang pelan-pelan menerima semua orang tidak terlahir sama dan harus sama sesuai keinginan.



Film ini berhasil membawa penonton dalam realitas yang sebenarnya. Sesuai tagline Film Wonderful Life di mana "Setiap Anak Terlahir Sempurna". Kita akan dengan sangat mudah menemukan realitas bahwa anak disleksia pun punya kelebihan. Bisa sukses, bahagia dan tumbuh dengan baik. Asal kita bijaksana menghadapinya, tepat menyiasatinya, dan mencintainya apa adanya. Bagaimana caranya? Silakan tonton film yang mulai tayang di bioskop tanggal 13 Oktober 2016 ini.


Apakah film ini gambaran ideal disleksia yang rasanya "tak mungkin terjadi"? Mengingat, seperti di awal, rasanya di zaman melek baca tulis, rasanya hidup seorang disleksia akan sedemikian sulit, karena bisa dikatakan menjadi buta huruf. 


Perlu diketahui, film ini bukan menjual mimpi anak disleksia bisa sukses atau sekadar fiksi, karena Film Wondeful Life ada dalam kehidupan nyata. Tokoh Aqil benar-benar ada, kisahnya dibukukan sendiri oleh sang ibu, Amalia Prabowo. 

Ini dia bukunya, berjudul sama dengan film

Ini dia anak yang istimewa tersebut. Aqil! 

Menariknya, Film Wonderful Life merupakan pembuka gerakan Sariayu Martha Tilaar. Dinamakan Be Wonderful Movement. Gerakan yang mengkhususkan agar perempuan menjadi motor penggerak perubahan, berwawasan luas, mandiri, kuat, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. 

Di gerakan ini pula, brand kosmetik terkenal Indonesia ini akan merangkul perempuan inspiratif Indonesia untuk mengangkat isu-isu beauty green, beauty education dan beauty culture. Dan salah satu perempuan tersebut, tentunya Amalia Prabowo. [Elzam]



PS:
Saya dan Kekey sangat suka visual film ini. Hutan. Danau. Sawah. jalan lengang,pasar tradisional (ini saya yang suka, Kekey suka jejeritan karena becek dan bau, hahaha...) Karena kami bertiga memang hobi jalan-jalan outdoor. Jadi sepanjang film, saya mengingat-ngingat nama daerah yang kebetulan masuk scene. Bisa dijadwalin buat trip besok-besok. Cmiiww...!