Senin, Juli 13, 2020

Belajar Cara "Mendidik" di Kuliah Online Sokola Institute: Sejarah Pendidikan Konstektual Sokola, Apa Itu Pendidikan Kritis dan Refleksi Filosofi Mengajar

Sore dengan cuaca yang cenderung hangat di Halmahera, jika tidak sedang musim hujan. Waktu di mana acapkali satu keluarga kecil membelah jalanan utama yang mengelilingi pulau terbesar di provinsi Maluku Utara, menuju Desa Payahe, Oba, yang secara administratif masuk ke Kota Tidore Kepulauan. Biasanya mereka, iseng mencari ikan buat lauk di kampung nelayan atau mengambil uang di satu-satunya ATM se-kecamatan, yang sialnya lebih sering tak berfungsi. 

Keluarga kecil itu adalah kami. Satu ayah, satu ibu dan satu anak perempuan berusia 9 tahun. Sambil mengendarai motor matic kreditan yang sudah berjalan beberapa bulan, kami menikmati betul pemandangan di kiri kanan jalan. Di mana-mana kebun kelapa. Melambai-lambai tenang tersapu angin. Jalanan sangat lengang. 

"Tahu gak, tiap kali menyusuri Jalan Trans Halmahera ini, seperti de javu. Melayang ke impian masa kecil karena terpercik pelajaran Sejarah dan IPS di SD. Berasa pernah ada di negeri rempah-rempah ini. Akrab dengan Pulau Tidore dan Ternate, yang sejak dulu jadi poros keramaian berpuluh-puluh Kepulauan Maluku Utara," ujar saya. 

"Sekarang kita sudah ada di sini." 

Biasanya, kami akan ngobrol seru, menertawakan kegilaan-kegilaan atas aksi nekat kami memilih tinggal di timur Indonesia. Provinsi yang ada di kepala banyak orang; terisolir dari mana-mana, terbelakang dari pembangunan, modernitas dan pendidikan. Selama ini kami tinggal di Jakarta, saya pekerja swasta dan istri guru TK. Terakhir menepi di Depok, karena saya kerja full remote untuk sebuah perusahaan media di Jepang tidak tahan dengan hiruk pikuk Jakarta. Padat, polusi dan panas, meskipun kerja dari rumah. Sementara istri masih mengajar sebuah TKIT di Bilangan Condet, Jakarta Timur. 

Petualangan dimulai dari mimpi kami tinggal di kampung atau pinggiran kota yang nyaman. Mungkin Jogjakarta atau Bali. Mengelola taman baca untuk anak-anak dan membuat TK yang asik, bikin anak-anak kita menjadi pribadi yang manis, pintar dan kreatif. Tapi secepat ini? Lantas memilih pindah ke Maluku Utara. Yang mendengarnya saja, ibu saya di Bengkulu dan mertua di Sukabumi kaget. Semua berawal dari adanya penerimaan CPNS (ASN) akhir 2018 yang berada di daerah-daerah. Seingat saya ada Nias di Sumatera Utara, Aceh, Riau, Bengkulu, NTT, NTB, Maluku Utara dan Papua. Tiba-tiba saya punya ide,"Ma, ayo kamu jadi guru di daerah. Ini kesempatan buat kita pindah ke daerah."

Isteri yang dari awal enggan jadi PNS mengeryitkan dahi. 13 tahun jadi guru TK, gak pernah terbersit kepengen jadi PNS. Streotipe PNS yang santai, lamban, sikut sana sikut sini beraroma KKN dan gak kreatif terlanjur bikin dirinya enggan melirik status tersebut. Apalagi di daerah. Kebayang bikin stress dan tak sesuai dengan jiwanya. Saya meyakinkan, anggapan tersebut tak sepenuhnya salah, tapi tak sepenuhnya benar. Di manapun kita bekerja, karakter diri seseorang lah yang akan membawanya sebenarnya bekerja. Bukan hal lain. Apapuan kondisi dan tantangannya. 

"Indonesia Timur itu kekurangan guru. Jangankan guru yang bagus, guru yang sesuai latar belakang pendidikannya saja sudah ketemu. Mereka butuh guru, hak setiap anak-anak juga dapat pendidikan, kan?" kata saya.

"Iya memang timpang. Gak ada aku di Jakarta sebagai guru gak bakal ngaruh. Guru banyak di sini, bagus-bagus. Satu guru di daerah akan sangat berarti. Coba aja kamu yang urus deh registrasinya." 

Saya ketawa. Secepat itu kami memutuskan. Satu lagi yang membuat kami mantap, bonusnya adalah tinggal memuaskan hasrat jalan-jalan. Saya pun mulai googling beberapa daerah yang sekiranya bisa kami tinggali. Kriterianya cuma ada listrik, ada sinyal internet, ada air minum. Menyesuaikan work from home yang saya jalani sejak 2007. Selain itu tidak prioritas. Akhirnya saya menawarkan Tidore Kepulauan di Maluku Utara. Saya menelusuri detail setiap info unit kerja pada formasi yang ditawarkan, sampai ke seberapa jauh dengan BTS (Base Transceiver Station), kondisi listrik dan jarak ke pusat kota. Bonus yang bikin kami sepakat ke Tidore, karena hasrat bisa keliling pantai-pantai di gugusan pulau-pulau Maluku Utara. Tentu ini akan sangat menyenangkan. 

Serius dengan rencana tersebut, berdua kami terbang ke Ternate, lalu menyeberang ke Pulau Tidore untuk survey lokasi. Apa reaksi mendarat di Tidore? Sepi. Bahkan lebih sepi dari kota kecamatan di kampung istri di Sukabumi. Kami jatuh cinta untuk kali pertama dengan pulau kecil yang sepi, cuma ada angkot dan bentor (becak motor) dan toko-toko ala kadarnya. Belum pernah liat kota sesepi ini dan penilaian kami Tidore cukup religius, tenang dan cocok untuk menyepi. Episode lanjutannya adalah istri bolak-balik Jakarta-Ternate untuk urusan CPNS ini. Cukup menyita energi karena begitu urusan selesai langsung balik Jakarta, tanggung jawab di sekolah lama harus ditunaikan. Sangat menguras kantong juga, karena harga tiket yang super mahal. Kebayang juga nanti, kalo lulus kami bakal tidak bisa sering-sering pulang kampung menengok orangtua. 

Singkat cerita, ternyata isteri lulus. Satu yang membuat saya agak khawatir adalah kelangsungan pendidikan puteri kami, Kekey. Membayangkan apa jadinya dia sekolah di kampung. Jangankan bicara model pembelajaran asik yang diterapkan, fasilitas yang cukup, inovasi pembelajara, bla bla bla... Gurunya pun kadangantara ada dan tiada. Persis seperti yang banyak saya baca di media dan pengalaman orang-orang di sana. Apalagi Kekey bahkan belum menyelesaikan satu semester di kelas satu. Bayarpun berasa mau nangis, karena kami bela-belain demi pendidikan anak membayar sekian puluh juta. Bukan karena kami berkecukupan, tapi keinginan anak mendapatkan pendidikan terbaik. Kemudian satu semester ditinggalkan demi pindah ke Maluku Utara. Kali ini giliran isteri yang menghibur, "Bukan guru di sekolah saja yang mendidik anak. Tapi juga kita berdua, kan?" 

Januari 2019 kami tiba di Tidore. Kejutannya, isteri bertugas di Pulau Halmahera karena ternyata lokasinya bukan di Pulau Tidore. Rupanya informasi yang saya dapatkan dengan berselancar di dunia maya sangat terbatas. Kami salah memprediksi, karena ternyata Kota Tidore Kepulauan itu meliputi Pulau Tidore, Pulau Mare dan sebagian pesisir barat Pulau Halmahera. 

*** 

Sabtu-Minggu lalu, 11-12 Juli 2020 lalu, saya mengikuti Kuliah Online Sokola Institute (Koalisi). Kuliah daring dari Sokola Institute, sebuah organisasi yang menyasar pendidikan nonformal berbasis masyarakat adat (dan marginal) yang diinisiasi oleh Butet Manurung. Kuliah ini berlangsung tiap akhir pekan sampai 8 Agustus mendatang. Di pekan pertama, materi diampu oleh Butet Manurung, Abdul Saleh, dan Faradilla. 



Lantas, kenapa saya menceritakan sebab kami ada di Halmahera dan apa hubungannya dengan Koalisi? 

Saya mengingat cita-cita kecil jika tiba nanti. Ingin membuat taman bacaan untuk anak-anak, membuat aktivitas-aktivitas literasi semacam belajar menulis, kelas jurnalistik dan hal-hal menyenangkan lainnya. Setahun di Halmahera, sementara isteri mulai menikmati passion-nya menjadi guru TK di desa kami, melakukan perubahan secara bertahap. Dari yang kadang sekolah kadang tidak, tidak ada evaluasi akhir semester (rapor), membuat aktivitas belajar menjadi yang dirindukan anak-anak yang sebelumnya tidak ada ghairah berangkat sekolah, melakukan pensi (pekan seni) untuk kali pertama sekolah berdiri, outing ke alam, dan merombak aktivitas kelas yang selama ini sekadar bernyanyi, mengisi lembar kerja, makan dan pulang, hingga menginisiasi guru-guru TK/PAUD lain untuk belajar bersama bagaimana mengelola sekolah lebih baik. 

Sementara saya, masih jalan di tempat. Sempat ingin menjadi guru SMA di sekolah swasta, tapi saya merasa tidak percaya diri. Saya lulusan Fisip yang sehari-hari menghadap laptop untuk media tempat saya bekerja. Merasa tidak bisa mengimbangi isteri untuk turut berbuat, meski sedikit saja. Mau membuka taman baca, koleksi buku-buku kami masih sangat sedikit. Buku-buku di Jakarta sudah dibawa ke Sukabumi, karena belum bisa kami bawa. Jadi sementara ini, setiap kali ke Ternate, saya mencoba membelikan Kekey buku-buku permintaannya dan majalah anak-anak. Beberapa anak-anak memang sering bermain dengan Kekey di rumah, kadang sambil membaca. Namun di sini lebih banyak yang tidak atau belum bisa membaca. Kelas tinggi empat dan lima pun masih banyak yang sulit membaca. Jangan ditanya kelas satu, dua dan tiga. Bahkan, ada anak SMP yang masih belum bisa membaca. Tidak masuk akal, bukan? 

Sedianya, bulan Juli ini kami akan mulai mempersilakan anak-anak yang tidak bisa membaca untuk berkumpul di rumah. Belajar calistung. Namun pandemi covid-19 membuat kami urung menghimpun mereka di rumah. Saya pikir, kuliah online ini bisa memberikan gambaran kami mengelola taman baca kelak. Saya dan isteri pun terpikir, untuk mencoba membuka kelas calistung untuk anak-anak Suku Tobelo Dalam (Togutil) di hutan Halmahera. Info yang kami dapatkan dari pegawai Suaka Alam Ake Tayawi Lolobata saat ngobrol, mereka terkendala relawan yang bersedia mengajari anak-anak suku pedalaman tersebut. 

Dari kelas pertama Koalisi yang saya dapatkan. Saya jadi merenung. Apa yang dilakukan Sokola Institute, yang disarikan dari pengalaman Butet Manurung menjadi guru bagi Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas jauh melampaui apa yang saya pikirkan. Saya pikir, mengajari anak-anak membaca artinya mendekatkan mereka pada kemudahan mengejar cita-cita. Apakah menjadi polisi, guru, dokter, pengusaha dan profesi-profesi "sukses" lainnya. Membuka wawasan mereka untuk menjadi maju dan tidak terbatas pada cangkang sendiri "di kampung" yang serba terbatas. Mampu dan ingin kuliah setinggi-tingginya ke luar daerah bahkan ke luar negeri. 


SEJARAH PENDIDIKAN KONTEKSTUAL SOKOLA

Saya mendengar kiprah Kak Butet mengajar Orang Rimba di Jambi sudah cukup lama. Sejak kuliah di Universitas Bengkulu, provinsi tetangga Jambi dulu. Juga membaca pengalamannya di Taman Nasional Bukit Dua Belas lewat buku "Sokola Rimba" yang terbit tahun 2007. Dimulai dari aktivitasnya sejak 1999 bekerja pada sebuah lembaga konservasi, yang dinilainya mentok tidak bisa bertujuan self-determination, kemampuan menentukan nasib sendiri karena dibatasi tujuan konservasi semata. Padahal, sejatinya pendidikan idealnya bisa menjadi senjata beradaptasi menghadapi masalah baru dari luar komunitas. Sokola memercayai, masyarakat adat memiliki eksistensi pengetahuan sendiri yang membuat mereka survive ratusan tahun. Diberi pendidikan, menjadi pertanyaan Orang Rimba, "Kami sudah bisa baca tulis, tapi kenapa hutan masih habis juga?" Inilah yang menjadi pertanyaan besar Kak Butet, apa gunanya dia menjadi pengajar sebenarnya?

Pendidikan jadi tak bermakna, ketika "rumah" mereka perlahan habis. Dihadapkan masalah seperti penerbangan liar, masuknya konsep uang/pasar, dan hal lain yang berisiko merusak tempat tinggal atau mengubah sistem adat. Konsep uang misalnya, mereka termarginalisasi karena buta huruf saat bertransaksi dengan pihak luar. Belum lagi, program-program yang menjauhkan masyarakat, seperti masuknya sekolah formal di beberapa masyarakat adat Indonesia. Ada yang timpang, ketika sekolah formal akan ditetapkan di komunitas atau masyarakat adat. Inilah alasan-alasannya seperti yang saya kutip dari materi kuliah dari Kak Butet:

- Sekolah formal tidak mengajarkan kemampuan yang sesuai dengan potensi alam sekitarnya.
- Sekolah formal tidak mengakomodasi sistem budaya lokal
- Sekolah Formal tidak mengakomodir cara belajar lokal dan sifat alamiah yang dinamis di alam bebas
- Sekolah Formal tidak (belajar) merespon persoalan kehidupan dan perubahan sekitar anak (setan bermata runcing)
- Sekolah Formal tidak merespon persoalan dan perubahan sekitar anak (setan bermata runcing)
- ISTILAH “SEKOLAH UNTUK PERGI” Anggapan: semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin besar kemungkinan seseorang meninggalkan kampung halamannya dan adat-istiadatnya.

Masalah di atas lah yang menjadi dasar Sokola hadir, membuat PENDIDIKAN MENJADI KONSTEKSTUAL. Bayangkan anak rimba yang hafal ratusan mamalia, jejak, obat kalau digigit, perangkapnya, siklus hidupnya, belum lagi semua binatang lain, serangga, reptil, dsb, ribuan tanaman, kontur tanah, juga kecakapan hidup, bertahan hidup di rimba, membaca tanda alam atau bencana, obat tradisional, mantra, pengetahuan adat, norma dan kepercayaan, dsb.

Dengan segala pengetahuan tersebut, maka Orang Rimba mempunyai sudut pandang normal (ideal atau maju) berbeda dengan orang kota. Konsep rumah, kepemilikan barang, lingkungan, makanan, sanitasi dan banyak hal lain berbeda "normalnya" dengan kita yang kadang terperangkap stigma menilai Orang Rimba. Prinsip-prinsip pendidikan berpihak yang menjadi dasar Sokola Rimba: 
● Live in 
● Humility (membumi) Belajar sebelum Mengajar (melawan syndrome ‘Hero’), datang sebagai murid, dengan pertanyaan bukan jawaban, banyak mendengar bukan bicara. 
● Adaptasi (mengakomodir kultur dan ritme harian, bahasa, makanan, kebiasaan) 
● Tidak mengintervensi nilai-nilai lokal 
● Kebersamaan dan menyenangkan 
● Kontekstual (materi, oendekatan, dll)

Dari kultur pendidikan dan persoalan komunitas inilah, pendidikan berbasis komunitas adat ternyata lebih mendalam. Tidak terpaku pada memberantas buta huruf (calistung) di tahap Literasi Dasar; tapi terus beranjak ke Literasi Terapan; penguatan identitas kultural oleh pemuka lokal/wawasan kerimbaan, pengetahuan dunia luar dan akses fasilitas atas hak warga negara/wawasan dunia luar, Pendidikan yang mendukung Advokasi; kaderisasi, pengorganisasian dan networking, berjaringan dengan pihak yang relevan. 

Dari pemaparan panjang Kak Butet, saya mendapat sudut pandang baru. Pendidikan seharusnya memiliki keberpihakan. Kepada siapa? Masyarakat itu sendiri. Mereka harus menjadi subjek pendidikan, bukan malah objek dari pendidikan yang kita pahami selama ini. Pendidikan idealnya mengikuti konteks yang mampu mendekatkan seseorang dengan kondisi etnografi. Lingkungannya sendiri, tanah yang didiami, identitas adat/lokal, kebiasaan dan tradisi turun-temurun. Dan ini jalan panjang yang tidak serta merta berhasil mengubah perspektif pendidikan komunitas adat dan kelompok marginal. Butuh waktu bertahun-tahun sampai ke tahap masyarakat pada akhirnya mampu mandiri menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi saat berhadapan dengan masalah-masalah di luar komunitas mereka. Beradaptasi tapi tetap lestari menjalankan sistem adat yang selama ini menaungi kehidupan mereka. 




APA ITU PENDIDIKAN KRITIS?

Ini kelas menarik yang diampu Pak Saleh Abdullah, peneliti INSIST (Indonesian Society For Social Transformation) yang terlibat di beberapa kerja Sokola. Benarkah pendidikan itu membuat seseorang menjad kritis? Jawabannya, iya. 

Pada dasarnya semua pendidikan mengajarkan sikap kritis. Karena pendidikan memberi pengetahuan kepada orang yang tidak tahu menjadi tahu. Namun bisa berbeda-beda hasilnya sesuai pada tahap kesadaran yang dibangun untuk peserta didik. Pendidikan akan melalui beberapa tahap kesadaran manusia; Magis (menerima apapun apa adanya), Naif (melihat ada kaitan antara fenomena tanpa merasa perlu mencari tahu), Ontologis ( melihat dan menyelidiki kaitan sebab akibat sebuah realitas), Fungsional (merasa perlu fungsi sistem atau subsistem dalam mengatur kehidupan), Kritis (pertanyaan-pertanyaan atau gugatan kritis mulai muncul sebagai implikasi dari semua perkembangan dinamika kesadaran sebelumnya), Transformatif (tahap akhir kesadaran yang menyadarkan perlunya pengorganisasian diri/komunitas untuk melakukan perubahan bagi perbaikan). 

Dari tahapan kesadaran kritis yang dicapai proses pendidikan ini, menjadi relevan bagaimana pendidikan harus berjalan secara konstektual. Bisa memberikan keberpihakan kepada persoalan-persoalan sosial yang dihadapi setiap komunitas tadi. Orang Rimba misalnya, menghadapi ancaman menyempitnya wilayah jelajah meramu dan berburu atau miss konsepsi uang saat transaksi dengan pihak luar, sampai pemaksaan-pemaksaan "kemajuan" yang dibawa program pembangunan yang sebenarnya tidak perlu karena tidak dibutuhkan atau tidak cocok bagi masyarakat adat. 

Pembahasan ini cukup panjang. Berkelindan dengan produk-produk kebijakan yang sarat kepentingan di mana masyarakat adat menjadi bagian dari negara. Guru di sini akan mendekatkan semua materi belajar sejak literasi dasar (calistung) kepada kontekstual masyarakat adat. Hal-hal yang terkait dengan kepentingan komunitas dalam memecahkan persoalan kehidupan mereka, juga didiskusikan dan para guru terlibat dalam diskusi-diskusi pemecahan masalah. Bahkan membantu memfasilitasi berhadapan dengan pihak-pihak kepentingan lain, penentu dan pelaku kebijakan. Berangkat dari komunitas itu sendiri, bukan guru. 

Terkait dengan kekhasan keberlangsungan masyarakat adat, saya baru mengetahui UU Desa memberi keleluasan sebuah desa/desa adat/nama lainnya untuk tidak bisa lagi diintervensi oleh kekuatan-kekuatan perusak dari luar, termasuk oleh struktur di atasnya. Termasuk penetapan untuk menjadi desa adat, dan hak untuk mengelola dengan kewenangan berdasarkan hak asal-usul. Berangkat dari asas  Lex Specialis (Hukum yang bersifat khusus) yang dimiliki UU Desa. Artinya, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Desa wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang ini. Lex specialis derogat lex generalis. Hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Dan menurut saya, dalam praktiknya model pendidikan Sokola tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam pendekatan nonformal. Bagaimanapun, Sokola kebanyakan melakukan model pendidikan untuk masyarakat adat (Orang Rimba, Tayawi/Togutil, Kajang) dan kelompok marginal (pesisir Kota Makassar). Jumlah masyarakat adat tentu terbatas, begitupun kelompok marginal yang komunitasnya homogen. Saya tidak tahu jumlahnya, tapi sekolah nonformal tidak selalu menyasar peserta didik dari latar belakang yang sama. Yang artinya: pola hidup, gagasan/cita-cita, kebutuhan dan latar belakang mereka yang belajar di satu sekolah nonformal sangat mungkin berbeda. Bukankah model dan treatment memetakan masalah pun akan sangat beragam? Dan belum tentu mewakili satu tempat di mana sekolah nonformal tersebut berlangsung. Tampaknya, ini butuh diskusi lebih lanjut di kuliah online minggu-minggu berikutnya. 

Kredit: Alief Dharmawan (peserta kuliah)



REFLEKSI FILOSOFI PENDIDIKAN SOKOLA

Nah, ini materi yang menurut saya sangat kontemplatif. Patut menjadi perenungan bagi setiap orang yang menyandang gelar guru atau volunteer. Materi disampaikan Kak Dilla (Faradilla Apristawijaya) yang saat ini sedang melanjutkan S3 kependidikan di Finlandia.

Intinya, sejauh yang saya tangkap, setiap dari proses pembelajaran upayakan melepaskan pusat kegiatan ada pada kita. No, kita tidak sedang menjadi penyelamat bagi peserta didik yang sedang dalam bahaya, kita tidak sedang menjadi orang pintar yang memintarkan orang bodoh, menjadi pahlawan mengatasi ketertindasan orang lain. Ini bukan tentang guru atau volunteer. Kaitannya, tentu dengan motivasi yang mendasari orang bergerak. Antara ego, tuntutan apresiasi, syndrom super hero, kebutuhan peserta didik/komunitas, dan sebagainya bisa saja membuat terpeleset. 

Beririsan dengan konsep pendidikan harus kontekstual dan aktual. Realita atau masalah menjadi objek pembelajaran sementara subjek pendidikan adalah peserta diri (komunitas) itu sendiri. Pengertian aktual tidak semata-mata nyata dan konkret, tetapi juga mengandung aspirasi dari orang-orang yang berada di dalamnya. Ini yang perlu dicatat. Pendidikan harus menjadi kesepakatan, sama-sama menyenangkan. Setiap kegiatan dan keberlangsungan pendidikan berangkat dari proses dialogis antara guru dan peserta didik (dan komunitas). Kalau menurut Kak Dilla, perlu sikap yang membumi, keyakinan pada keberdayaan komunitas, kasih sekaligus kritis. Dengan demikian alasan dan tujuan menjadi pendidik harus bersinergi. 

Banyak yang menarik dari Kak Dilla dalam kuliah kali ini. Namun saya ringkas saja, mengutip kesimpulan Kak Beatrice yang menjadi MC kuliah daring pekan pertama saat menutup kelas, yang juga diamini istri karena ikut mendengarkan. "Pendidikan yang sejati tidak akan terjadi tanpa dialog. Dan pendidikan haruslah kontekstual dan aktual serta berkontribusi langsung pada kehidupan, karena sekolah adalah untuk kehidupan."

[]

Jumat, Agustus 02, 2019

Gramedia Writers and Readers Forum 2019: Untuk Satu Indonesia, Welcome Penulis dan Pembaca Buku Indonesia



Great idea...!

Selalu suka dengan ide-ide Gramedia mengembangkan literasi Indonesia. Selalu kontekstual menanggapi dinamika teknologi di era industri 4.0 yang high technology dan menghapus sekat geografis karena perkembangan internet dan komunikasi. Jaman dulu baca buku, yang kebayang tumpukan kertas dibundel. Itu baru disebut buku. Sekarang beralih ke e-book atau buku berbasis layanan laman website macam Whatpadd yang hits banget di kalangan pembaca dan penulis. Banyak buku printed yang terbit berawal dari page view bengkak di Whatpadd

Dari sisi bisnis sih, Gramedia Pustaka Utama, penerbit terbesar Indonesia memang harus berjuang mewujudkan minat literasi di Indonesia untuk menyelamatkan bisnis (iya juga sik, bayangin kalo gak ada yang mau baca buku lagi, hahaha...). Bukan, bukan itu. Semua percaya, peradaban bangsa tidak lepas dari pengetahuan, dan pengetahuan tidak lepas dari buku. 

Kalo kata Kang Maman Suherman, pegiat komunitas taman baca masyarakat (TBM) dan penulis, mau virus literasi berhasil itu kuncinya cuma tiga; Baca, Iqro, Read, Buku. Sayangnya, Indonesia berada di nomor dua dalam hal minat baca di atas Botswana. Setiap tahun, rata-rata satu orang Indonesia baca buku satu judul. Ini yang menyebabkan kita jadi negara peringkat ke-2. Dari belakang. 

"Tapi Indonesia negara paling banyak ngomong, negara pertama paling banyak ngebacot. Nge-tweets di Twitter. Jadi kebayang kan, bagaimana hasilnya banyak omong tadi paling dikit baca?" beber Kang Maman di Opening Gramedia Writers and Readers Forum di Perpustakaan Nasional, 1 Agustus 2019 kemarin. 

Berangkat dari keprihatinan inilah, Gramedia sebagai penerbit intens melakukan kegiatan literasi di Indonesia. GWRF salah satu gelaran, yang dimaksudkan untuk menjadi ajang pertemuan penulis dan pembaca Indonesia. Berlangsung mulai dari 2 Agustus sampai 4 Agustus di Perpustakaan Nasional yang megah di Jalan Medan Merdeka, Jakarta. 

Kalau tahun lalu berlangsung dua hari dan gratism untuk tahun ini dilakukan dengan berbayar. Ada beberapa kelas yang dibuka yang melibatkan 45 penulis buku, pegiat literasi dan pemateri profesional. Mereka akan berbagi pengalaman dan praktik nyata dunia keliterasian dalam balutan tema yang berbeda. Sementara tema besar yang diusung Gramedia, "Literacy in Diversity" Bagaimana menunjukkan kerapatan satu Indonesia yang berasal dari beragam budaya yang berbeda. Sederet nama yang akan menjadi pemateri di GWRF di antaranya Fiersa Besari, Ayu dan Ditto, Aan Mansyur, Sapardji Djoko Damono, Rintik Sedu, Ahmad Fuadi, Budiman Sudjatmiko, Maman Suherman, Naela Ali dan Ayu Utami. 

Tema yang dibahas khas milenial dari yang ringan, serius, seperti budaya dan sastra, pemantik kreatifitas, hingga spiritualitas. Dan tentunya, Editor's Clinic. Peserta diberi kesempatan berkonsultasi langsung dengan editor banyak penerbit yang tergabung di Grup Kompas Gramedia. 

"Gramedia bisa saja menunggu di naskah yang masuk. Jumlahnya ratusan setiap bulannya, dan 90 persen lebih ditolak. Tapi komitmen ikut mengembangkan literasi dan menumbuhkan penulis baru harus dilakukan. Kalo penulis ada ide, ayo kita bicarakan. Kita create bersama sampai menjadi buku yang layak dibaca," ujar Mas Wandi, dari Gramedia yang menyebut GWRF 2018 yang lalu bahkan berhasil memunculkan penulis baru. 

Jumat, Agustus 31, 2018

Nawacita dan Perjuangan Merebut JICT, Pelabuhan Tanjung Priok dari Cengkeraman Asing


Kita, rakyat ketika Presiden Jokowi menjadi presiden di tahun 2014 disodorkan oleh sembilan point yang akan menjadi tujuan pembangunan lima tahun beliau, "repelita" kalo Orde Baru menyebutkan. Nawacita, yang berasal dari Bahasa Sansekerta berarti Sembilan Cita, yakni: 

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas-aktif.
2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. 
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui program Indonesia Pintar dengan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Dan program Indonesia Sehat untuk peningkatan layanan kesehatan masyarakat. Serta Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera dengan mendorong program kepemilikan tanah seluas sembilan juta hektar.
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik.
8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalu penataan kembali kurikulum pendidikan nasional.
9. Memperteguh Keb-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui penguatan kebhinekaan dan menciptakan ruang dialog antar warga. 

Sudahkah tercapai menjelang beliau menyelesaikan amanah lima tahunnya? Sudah banyak yang membicarakan keberhasilan sekaligus kekurangan melalui berbagai kritik yang disampaikan pakar, politisi, bahkan rakyat lewat obrolan warung kopi atau seliweran diskusi bahkan "cyber war" di dunia maya. Apalagi jelang Pilpres 2019 yang tensinya makin memanas. 

Spesifik, membahas di Nawacita ke-7 "Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik" cukup menarik. Lebih spesifik menarik permasalahan dari jantung ekonomi Indonesia di ibu kota. Jakarta. Ada Pelabuhan Tanjung Priok atau biasa dikenal dengan Jakarta International Container Terminal (JICT) yang berada di naungan Pelindo II, salah satu BUMN Indonesia. Tak banyak yang mengetahui, JICT menyimpan api dalam sekam. Ketika publik perhatiannya tersita pada kekayaan tambang Papua dikeruk habis Amerika melalui dominasi perundangan yang leluasa diberikan ke Amerika lewat Freeport, JICT jauh dari hingar bingar keprihatinan masyarakat. Papua memang ladang uang, bahkan disebut-sebut gunung emas (padahal enggak alias terlalu berlebihan, karena sejauh ini lebih banyak menghasilkan tembaga). Wajar, ketika rakyat berharap pengelolaan Freeport kembali ke Indonesia dan syukur-syukur nendang Amerika dari bumi Papua. Tapi, gak semudah itu juga. Ada persoalan teknologi, SDM lokal, modal, dan tentu "kepentingan" juga. Wajar, ketika divestasi saham 51 persen ke Indonesia dari Freeport diapresiasi baik oleh banyak kalangan. Meski sebenarnya alih saham 51 persen ke PT Inalum ini masih menjadi pertanyaan, karena masih menjadi langkah awal lewat MoU yang diteken Juli lalu dan akan diselesaikan akhir tahun ini. Selain pro-kontra yang menyebutkan dana beli saham Inalum sejatinya berasal dari "asing" juga, yaitu pembiayaan beberapa bank. 

Balik ke JICT, Pelabuhan Tanjung Priok ini awalnya dikelola oleh PT Pelindo II. Sampai krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1998, Pelindo II memberikan hak pengelolaan JICT ke Hutchison Port Holdings (HPH) yang dimiliki taipan Hongkong, Li Kha Sing. Kontrak kerjasama ini akan berlangsung 20 tahun (2019 berakhir). Namun, lewat beberapa "permufakatan jahat" seperti yang ditulis di Buku Menguak Konspirasi Global di Teluk Jakarta, Pelindo II memberikan perpanjangan sampai 2039. Dua puluh tahun lagi, pelabuhan berprestasi dan terbesar di Indonesia itu kembali akan dikuasai HPH, yang juga memiliki saham 51 persen. Padahal, BUMN saat ini bisa mengelolanya sendiri seiring dengan berbagai pertimbangan yang ada. Cengkeraman HPH menguasai JICT ini tentu, kurang relevan dengan semangat kemandirian ekonomi yang digaung-gaungkan Pemerintah. 

Apalagi, dugaan kuat perpanjangan kontrak yang dilakukan RJ Lino, Dirut Pelindo II saat perjanjian menyalahi prosedur, karena tidak meminta izin dari Kemenhub dan Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok. Bahkan nilai jual perpanjangan JICT pada 2015 cuma 215 juta USD, lebih kecil dari 20 tahun lalu sebesar 231 juta USD. Tidak hanya itu, pengelolaan JICT juga terindikasi menyimpan bahan pelanggaran hukum yang merugikan negara trilyunan. 


5 Oktober 2015, DPR atas desakan Serikat Pekerja JICT (SPJICT) yang melakukan juga pendekatan ke berbagai tokoh penting akhirnya membentuk Pansus Pelindo II yang diketuai Rieke Diah Pitaloka. Ini menjadi titik awal, ditemukan indikasi pelanggaran tersebut. Bahkan, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)mempublish temuan yang mengagetkan, beberapa proseduran yang merugikan keuangan negara ketika Pelindo II dibawahi RJ Lini tersebut. 

BPK merilis laporan No 10/LHP/ XXV-AUI/06/20, yang menyebutkan telah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang saling berkaitan dalam proses perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dgn HPH. Indikasi kerugian negara USD 306 juta/Rp 4.081.122.000.000 (kurs Rp 13.337/USD). Semakin membengkak ketika BPK menyelesaikan pemeriksaan investigasi Kerja Sama Operasional (KSO) Terminal Peti Kemas (TPK) Koja & Pembiayaan Pembangunan Terminal Kalibaru Tahap I. Hasil investigasi itu dilaporkan dalam Rapat Konsultasi Pimpinan DPR di Senayan pada 31 Januari 2018. Kesimpulan BPK, ada berbagai penyimpangan identik terkait dengan proses perpanjangan perjanjian kerja sama yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara karena kedua proses perpanjangan tersebut dilakukan secara bersamaan, baik inisiasi, evaluasi, maupun keputusannya.

Investigasi Pembiayaan Pembangunan Terminal Kalibaru oleh BPK juga dinilai terdapat penyimpangan yang berakibat pinjaman melebihi kebutuhan. Tercatat 574,78 juta USD dana menganggur dalm bentuk deposito & instrumen lain dengan tingkat pendapatan bunga lebih rendah dari beban bunga Global Bond. Penyimpangan tersebut mengakibatkan indikasi kerugian negara pada PT Pelindo II sebesar USD 54,75 ekuivalen Rp 741,75 miliar.

Kerja Pansus Pelindo II yang juga dibantu audit BPK terhadap JICT selama ini memberikan rekomendasi agar penandatangan kontrak perpanjangan kerjasama ke HPH itu dibatalkan, demi marwah negara agar Indonesia bisa menjaga kedaulatan ekonominya. Pasalnya, Pelabuhan Tanjung Priok merupakan aset penting lalu lintas keluar masuk barang jasa yang strategis di Laut Cina Selatan, seperti yang pernah dikatakan dosen Unhan, Aries Arief Mundayat saat bedah Buku Menguak Konspirasi Global di Teluk Jakarta, di Jogjakarta pertengahan Agustus lalu. 

"Era Jokowi sudah membangun pelabuhan hingga ke Indonesia Timur. Ini adalah potensi yg luar biasa di masa yang akan datang. Pengelolaan dan kepemilikannya harus tepat," ujarnya. Angka ideal kepemilikan saham harusnya untuk Indonesia 52 persen, sisanya 49 baru bisa oleh asing. Jangan dibalik, karena kedaulatan negara bisa menurun dan otoritas negara bisa berkurang.

Beberapa rekomendasi Pansus Pelindo II yang hingga kini masih terus diperjuangkan oleh SPJICT untuk direalisasikan adalah:


Tidak hanya soal perpanjangan kontrak yang inprosedural dan merugikan negara, yang dinilai oleh banyak pihak dilakukan oleh RJ Lino secara terburu-buru kepada perusahaan Hongkong tersebut, terdapat juga indikasi perusahaan fiktif yang terlibat dalam kontrak JICT dengan Seaports Management BV (30 Maret 1999, usai HPH kuasai Pelabuhan Tanjung Priok).

RJ Lino, Ex. Dirut Pelindo II
Kesepakatannya, Seaports memberikan acces to technical knowhow and services/ akses atas keterampilan & jasa teknis selama 20 kepada JICT. Diduga hal ini tidak dilakukan, karena fungsi ini dilakukan oleh HPH. Padahal, konsekuensi MoU, JICT berkewajiban membayar Seaports 14,08% dari hasil laba bersih bulanan dipotong pajak.

Tim pemeriksa Dirjen Pajak berdasarkan informasi Transfer Pricing Document menyimpulkan jika fungsi research and development (R&D) teknologi dilakukan oleh Hutchison Port Holdings, bukan Seaports. Inilah yang menguatkan, jika kemungkinan Seaport adalah perusahaan fiktif yang digunakan HPH untuk menambah pemasukannya dari JICT. Rumit bukan? Apalagi Seaport sendiri bukan perusahaan yang berhubungan dengan industri kepelabuhanan/pengelolaan peti kemas. Bahkan, awal pendiriannya bergerak di bidang peternakan hewan, kemudian berubah ke jasa keuangan. MoU JICT-Seaports pun tak dicatatkan/dilaporkan kepada Dirjen HAKI.

Persoalan hukum di balik perpanjangan JICT ke HPH ini masih terus berlanjut untuk diselesaikan. Tujuannya konkrit, perjuangan yang diinisiasi SPJICT meminta agar Negara membatalkan perpanjangan 20 tahun ke2, hingga 2039 karena cacat hukum. Dan sangat di luar jangkauan nalar, ketika Indonesia KEMBALI memberikan kewenangan pengelolaan kepada perusahaan Hongkong ini, di saat kontrak kerjasama pertama saja sudah banyak melakukan indikasi kecurangan yang merugikan negara.

Pasang Behel dan Pertanyaan Benarkah Jelek Itu Menyakitkan?

Usia saya sudah di atas kepala tiga. Berapa buntutnya? Haha... gak usah diperjelas. Cukup buat gambaran sudah punya anak satu yang duduk di bangku kelas satu SD.

Di usia segini, baru kesampaian melakukan keputusan maha penting yang akan mengubah hidup saya, penampilan saya. ~Halah

Minggu, 25 Agustus lalu saya pasang behel. Pagar gigi yang berupa biji-biji brackets ditempel ke gigi dan dihubungkan dengan seutas kawat titanium. Haha.... Sebenarnya udah kepikiran beberapa tahun lalu gimana kalo dipasang behel ini gigi, biar bisa pede kayak orang-orang senyum lebar ala ala bintang iklan odol. Udah sering baca-baca how to-nya dan referensi dokter spesialis orthodental yang oke. Cuma belum berani untuk merealisasikannya, karena banyak hal.

~ Ribet
~ Lama makenya, kayaknya gak bakal tahan dan telaten. Apalagi tipikal orang kayak saya yang males-malesan dan kadang suka teledor
~ Malu
~ Mahal... Ini sih yang paling ngeri, hahaha. Karena biaya pemasangan behel cukup mahal. Dan itu kudu visit untuk kontrol secara teratur hingga beberapa tahun ke depan, tergantung berapa lama terapi pemasangan gigi dikawatin.

Sampai pada suatu momen, Kekey, putri kecil saya yang bawel gigi depannya otek-otek. Lama banget copotnya dan ngeluh sakit. Agak heran, karena sebelumnya udah dua kali ompong lepas dengan mudah. Tumbuhnya pun cepat. Gak pake drama minta dibantu otekin, nangis atau apalah. Pulang-pulang udah bawa bungkusan tisu isi gigi, haha... Pernah juga pas nganter ke sekolah copot begitu sampai dan kumur-kumur, selesai.

Papa alay jaman now itu, behelan!

Singkat cerita, pergi ke dokter gigi sekalian nganterin sepupu bini yang kontrol behelnya. Dokter gigi, usai diperiksa, malah dokternya menolak nyabut gigi Kekey. Kaget. Kata si Budok, gigi  atpenggantinya masih jauh didalam dan belum turun banget. Nggak usah dipaksakan, karena nanti dia akan mendorong gigi sendiri gigi susu tanpa diperintah. Lantas gigi anak-anak pun akan otek serta copot sendiri. Jika dipaksa copot, maka ompongnya akan lama dan hasilnya nanti, gigi yang tumbuh akan jelek. Oh... baru tahu. Salut juga sama dokter ini, nolak rejeki nyabut gigi. Jadilah Kekey batal copot gigi depan atasnya.

Ngobrol-ngobrol, lalu nanya soal gigi saya sendiri yang jelek. Gak berlapis atau awur-awuran kayak sarden di kaleng juga sih. Cuma dua gigi depan atas gede banget, satunya mencelat nongol. Sementara secara keseluruhan tonggos alias boneng. Hahaha... Iya jelek, kalo ketawa atau foto susah nyari sudut yang pas untuk menyamarkan si bentuk gigi yang menyakitkan ini. Sama dokternya diliat dan ngobrollah kemungkinan buat pasang behel, berapa lamanya... Kata dokter sih melihat secara umum, gak bakal lama karena giginya sudah rapi melengkung. Jadi gak bakal makan waktu kayak Halimah, sepupu bini yang udah pake behel sejak 2015 hingga sekarang. Kebayang, kan? Udah mau SD itu gigi kalo disekolahin.

Pulang-pulang, nanya ke Manda, boleh gak pasang behel. Jawabnya boleh aja, biar kamu cakepan dan pedean. "Tapi ribet lho, asal siap aja sama perawatannya."

Dan akhirnya fix, pasang behel. Apalagi sekarang kan full remote ngantornya. Jadi jarang ke luar. Begitulah, hingga udah hampir seminggu jadi cowok behelan daku. Bagaimana pengalamannya? Masih belum kerasa banget perjuangannya yang orang bilang ngilu, susah makan, bla bla bla...

Secara umum, karena tahap awal masih dipasangin behel untuk mengembalikan posisi gigi depan yang nongol sendiri dari barisan tadi. Jadi baru pasang bracket di gigi atas. Setelah ini selesai dokter akan melihat plan selanjutnya treatment yang tepat untuk membuatnya menjadi lebih rapi dan tidak lagi tonggos. Rekayasa-nya tetap dengan melepas dua gigi di belakang gigi taring, sehinggga nanti akan tersedia ruang bagi gigi untuk berbaris rapi. Gusi dan rahang yang kecil menjadi penyebab mengapa gigi maju ke depan kalo kata dokternya. Mereka akhirnya berdesakan dan cenderung condong ke depan karena sesak. Pencabutan gigi ini lazim buat orang yang pasang behel. Gigi bawah pun nanti kemungkinan begitu, agar simetris dengan yang di atas. Kemudian, empat gigi paling depan yang atas ini akan diikat oleh dokter dengan satu ikatan agar stabil dan "ngumpul". Belum kebayang gimana bentuknya.

Gimana, udah hampir sama gantengnya sama Abang sepupunya Kekey?

Lantas, gimana rasa dibehel? Ehm... Gak enak. Awalnya hari pertama biasa aja, cuma berasa mulut keganjel brackets. Hari kedua, baru gigi berasa ngilu. Khususnya gigi depan yang nongol tadi, karena efek ditarik ke bekalangnya udah berasa. Makan jadi kurang nikmat, karena kudu hati-hati. Lantas, sempat juga ujung kawat di sebelah kiri nusuk ke dinding mulut. Itu doang sih. Sekarang kalo makan ngunyahnya gak sampe halus, langsung glek. Sedih, takut juga badan kurus jadi makin kurus, hahaha... Makan yang harusnya menjadi proses menyenangkan, karena dinikmati level nikmatnya jadi berkurang.

Selebihnya, repot soal kebersihan. Abis makan maunya gosok gigi aja. Minimal kumur-kumur. Tapi ada baiknya, karena jadi aware sama kebersihan gigi.

Belum tau lagi nih, kontrol seharusnya Rabu lalu. Cuma karena janjian ama dokternya belum kesampaian, jadi ditunda hari Minggu besok.

Dan balik soal kepercayaan diri tadi. Sekarang kalo foto mingkem malah tambah hancur, foto senyum ya lumayan lah. Tonggosnya tersamarkan. Kemarin sesi foto-foto di Gelora Bung Karno saat ngeliat Asian Games. Penasaran hasil awal saat ane berbehel ria? ~siape lo, Tong!

Itu fotonya, yang di atas buat yang kepo.