Jumat, Agustus 31, 2018

Nawacita dan Perjuangan Merebut JICT, Pelabuhan Tanjung Priok dari Cengkeraman Asing


Kita, rakyat ketika Presiden Jokowi menjadi presiden di tahun 2014 disodorkan oleh sembilan point yang akan menjadi tujuan pembangunan lima tahun beliau, "repelita" kalo Orde Baru menyebutkan. Nawacita, yang berasal dari Bahasa Sansekerta berarti Sembilan Cita, yakni: 

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas-aktif.
2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. 
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui program Indonesia Pintar dengan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Dan program Indonesia Sehat untuk peningkatan layanan kesehatan masyarakat. Serta Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera dengan mendorong program kepemilikan tanah seluas sembilan juta hektar.
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik.
8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalu penataan kembali kurikulum pendidikan nasional.
9. Memperteguh Keb-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui penguatan kebhinekaan dan menciptakan ruang dialog antar warga. 

Sudahkah tercapai menjelang beliau menyelesaikan amanah lima tahunnya? Sudah banyak yang membicarakan keberhasilan sekaligus kekurangan melalui berbagai kritik yang disampaikan pakar, politisi, bahkan rakyat lewat obrolan warung kopi atau seliweran diskusi bahkan "cyber war" di dunia maya. Apalagi jelang Pilpres 2019 yang tensinya makin memanas. 

Spesifik, membahas di Nawacita ke-7 "Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik" cukup menarik. Lebih spesifik menarik permasalahan dari jantung ekonomi Indonesia di ibu kota. Jakarta. Ada Pelabuhan Tanjung Priok atau biasa dikenal dengan Jakarta International Container Terminal (JICT) yang berada di naungan Pelindo II, salah satu BUMN Indonesia. Tak banyak yang mengetahui, JICT menyimpan api dalam sekam. Ketika publik perhatiannya tersita pada kekayaan tambang Papua dikeruk habis Amerika melalui dominasi perundangan yang leluasa diberikan ke Amerika lewat Freeport, JICT jauh dari hingar bingar keprihatinan masyarakat. Papua memang ladang uang, bahkan disebut-sebut gunung emas (padahal enggak alias terlalu berlebihan, karena sejauh ini lebih banyak menghasilkan tembaga). Wajar, ketika rakyat berharap pengelolaan Freeport kembali ke Indonesia dan syukur-syukur nendang Amerika dari bumi Papua. Tapi, gak semudah itu juga. Ada persoalan teknologi, SDM lokal, modal, dan tentu "kepentingan" juga. Wajar, ketika divestasi saham 51 persen ke Indonesia dari Freeport diapresiasi baik oleh banyak kalangan. Meski sebenarnya alih saham 51 persen ke PT Inalum ini masih menjadi pertanyaan, karena masih menjadi langkah awal lewat MoU yang diteken Juli lalu dan akan diselesaikan akhir tahun ini. Selain pro-kontra yang menyebutkan dana beli saham Inalum sejatinya berasal dari "asing" juga, yaitu pembiayaan beberapa bank. 

Balik ke JICT, Pelabuhan Tanjung Priok ini awalnya dikelola oleh PT Pelindo II. Sampai krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1998, Pelindo II memberikan hak pengelolaan JICT ke Hutchison Port Holdings (HPH) yang dimiliki taipan Hongkong, Li Kha Sing. Kontrak kerjasama ini akan berlangsung 20 tahun (2019 berakhir). Namun, lewat beberapa "permufakatan jahat" seperti yang ditulis di Buku Menguak Konspirasi Global di Teluk Jakarta, Pelindo II memberikan perpanjangan sampai 2039. Dua puluh tahun lagi, pelabuhan berprestasi dan terbesar di Indonesia itu kembali akan dikuasai HPH, yang juga memiliki saham 51 persen. Padahal, BUMN saat ini bisa mengelolanya sendiri seiring dengan berbagai pertimbangan yang ada. Cengkeraman HPH menguasai JICT ini tentu, kurang relevan dengan semangat kemandirian ekonomi yang digaung-gaungkan Pemerintah. 

Apalagi, dugaan kuat perpanjangan kontrak yang dilakukan RJ Lino, Dirut Pelindo II saat perjanjian menyalahi prosedur, karena tidak meminta izin dari Kemenhub dan Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok. Bahkan nilai jual perpanjangan JICT pada 2015 cuma 215 juta USD, lebih kecil dari 20 tahun lalu sebesar 231 juta USD. Tidak hanya itu, pengelolaan JICT juga terindikasi menyimpan bahan pelanggaran hukum yang merugikan negara trilyunan. 


5 Oktober 2015, DPR atas desakan Serikat Pekerja JICT (SPJICT) yang melakukan juga pendekatan ke berbagai tokoh penting akhirnya membentuk Pansus Pelindo II yang diketuai Rieke Diah Pitaloka. Ini menjadi titik awal, ditemukan indikasi pelanggaran tersebut. Bahkan, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)mempublish temuan yang mengagetkan, beberapa proseduran yang merugikan keuangan negara ketika Pelindo II dibawahi RJ Lini tersebut. 

BPK merilis laporan No 10/LHP/ XXV-AUI/06/20, yang menyebutkan telah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang saling berkaitan dalam proses perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dgn HPH. Indikasi kerugian negara USD 306 juta/Rp 4.081.122.000.000 (kurs Rp 13.337/USD). Semakin membengkak ketika BPK menyelesaikan pemeriksaan investigasi Kerja Sama Operasional (KSO) Terminal Peti Kemas (TPK) Koja & Pembiayaan Pembangunan Terminal Kalibaru Tahap I. Hasil investigasi itu dilaporkan dalam Rapat Konsultasi Pimpinan DPR di Senayan pada 31 Januari 2018. Kesimpulan BPK, ada berbagai penyimpangan identik terkait dengan proses perpanjangan perjanjian kerja sama yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara karena kedua proses perpanjangan tersebut dilakukan secara bersamaan, baik inisiasi, evaluasi, maupun keputusannya.

Investigasi Pembiayaan Pembangunan Terminal Kalibaru oleh BPK juga dinilai terdapat penyimpangan yang berakibat pinjaman melebihi kebutuhan. Tercatat 574,78 juta USD dana menganggur dalm bentuk deposito & instrumen lain dengan tingkat pendapatan bunga lebih rendah dari beban bunga Global Bond. Penyimpangan tersebut mengakibatkan indikasi kerugian negara pada PT Pelindo II sebesar USD 54,75 ekuivalen Rp 741,75 miliar.

Kerja Pansus Pelindo II yang juga dibantu audit BPK terhadap JICT selama ini memberikan rekomendasi agar penandatangan kontrak perpanjangan kerjasama ke HPH itu dibatalkan, demi marwah negara agar Indonesia bisa menjaga kedaulatan ekonominya. Pasalnya, Pelabuhan Tanjung Priok merupakan aset penting lalu lintas keluar masuk barang jasa yang strategis di Laut Cina Selatan, seperti yang pernah dikatakan dosen Unhan, Aries Arief Mundayat saat bedah Buku Menguak Konspirasi Global di Teluk Jakarta, di Jogjakarta pertengahan Agustus lalu. 

"Era Jokowi sudah membangun pelabuhan hingga ke Indonesia Timur. Ini adalah potensi yg luar biasa di masa yang akan datang. Pengelolaan dan kepemilikannya harus tepat," ujarnya. Angka ideal kepemilikan saham harusnya untuk Indonesia 52 persen, sisanya 49 baru bisa oleh asing. Jangan dibalik, karena kedaulatan negara bisa menurun dan otoritas negara bisa berkurang.

Beberapa rekomendasi Pansus Pelindo II yang hingga kini masih terus diperjuangkan oleh SPJICT untuk direalisasikan adalah:


Tidak hanya soal perpanjangan kontrak yang inprosedural dan merugikan negara, yang dinilai oleh banyak pihak dilakukan oleh RJ Lino secara terburu-buru kepada perusahaan Hongkong tersebut, terdapat juga indikasi perusahaan fiktif yang terlibat dalam kontrak JICT dengan Seaports Management BV (30 Maret 1999, usai HPH kuasai Pelabuhan Tanjung Priok).

RJ Lino, Ex. Dirut Pelindo II
Kesepakatannya, Seaports memberikan acces to technical knowhow and services/ akses atas keterampilan & jasa teknis selama 20 kepada JICT. Diduga hal ini tidak dilakukan, karena fungsi ini dilakukan oleh HPH. Padahal, konsekuensi MoU, JICT berkewajiban membayar Seaports 14,08% dari hasil laba bersih bulanan dipotong pajak.

Tim pemeriksa Dirjen Pajak berdasarkan informasi Transfer Pricing Document menyimpulkan jika fungsi research and development (R&D) teknologi dilakukan oleh Hutchison Port Holdings, bukan Seaports. Inilah yang menguatkan, jika kemungkinan Seaport adalah perusahaan fiktif yang digunakan HPH untuk menambah pemasukannya dari JICT. Rumit bukan? Apalagi Seaport sendiri bukan perusahaan yang berhubungan dengan industri kepelabuhanan/pengelolaan peti kemas. Bahkan, awal pendiriannya bergerak di bidang peternakan hewan, kemudian berubah ke jasa keuangan. MoU JICT-Seaports pun tak dicatatkan/dilaporkan kepada Dirjen HAKI.

Persoalan hukum di balik perpanjangan JICT ke HPH ini masih terus berlanjut untuk diselesaikan. Tujuannya konkrit, perjuangan yang diinisiasi SPJICT meminta agar Negara membatalkan perpanjangan 20 tahun ke2, hingga 2039 karena cacat hukum. Dan sangat di luar jangkauan nalar, ketika Indonesia KEMBALI memberikan kewenangan pengelolaan kepada perusahaan Hongkong ini, di saat kontrak kerjasama pertama saja sudah banyak melakukan indikasi kecurangan yang merugikan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D

Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)