Sabtu, Agustus 25, 2018

Kedaulatan Maritim Atas Pengelolaan JICT Pelabuhan Tanjung Priok dan Belenggu Perpanjangan Kontrak ke Asing Hingga 2039

Bicara kekayaan alam Indonesia yang dikuasai asing atau negara lain, rasanya sama seperti makan nasi pake lauk sayur asem bagi masyarakat Indonesia. Terlalu sering. Beberapa waktu lalu, selalu jadi headline media dan isu politik panas di media sosial, yaitu divestasi saham Freeport 51 persen ke Indonesia. Meski belum sah, titik awal akan kembalinya dikuasai emas hitam di Papua tersebut ke tangan Indonesia patut diapresiasi.

Sesuai Nawacita Presiden Jokowi, kemandirian bangsa menjadi pilar yang penting untuk menuju Indonesia berdikari. Termasuk kemandirian pengelolaan aset maritim nasional, di mana pembangunan tol laut dan lalu lintas antar pulau menjadi prioritas. 

Dengan semangat Nawacita ini, kasus Pelindo II yang memperpanjang kontrak pengelolaan JICT (Jakarta International Container Terminal) atau Pelabuhan Tanjung Priok ke perusahaan swasta asing, Hutchison Port Holdings (HPH) adalah satu dari kasus besar penegakan hukum yang menyeret beberapa pihak, terutama mantan Direktur Pelindo II RJ Lino. Bermula dari aspirasi Serikat Pekerja JICT (SPJICT) yang melakukan audiensi masif ke tokoh-tokoh nasional dan DPR RI, sehingga terbentuklah Panitia Khusus (Pansus) Pelindo II yang menemukan banyak indikasi kecurangan pengelolaan JICT dan inprosedural penunjukan kembali HPH untuk menguasai Pelabuhan Tanjung Priok sampai tahun 2039. Keputusan yang sangat disayangkan, karena Indonesia masih sangat bisa mengelola sendiri JICT dan tidak perlu memperpanjang kerjasama privatisasi aset nasional tersebut ke perusahaan taipan Hongkong tersebut. Patut diketahui, 2019 mendatang adalah kesepakatan berakhirnya pengelolaan JICT di tangan HPH. 

Berawal di Jogjakarta, upaya menyadarkan publik dan tentunya akademisi di kampus-kampus dilakukan untuk memberikan gambaran apa yang terjadi di Teluk Jakarta tersebut. Buku "Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta" karya duet MD Aminuddin dan Ahmad Khairul Fata mencoba merangkumnya secara detail dan komprehensif. Apa yang terjadi, mengapa HPH bisa kembali menguasai aset nasional Indonesia yang seharusnya dikelola anak bangsa dan berbagai persoalan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan manajemen JICT. Penanda roadshow ke beberapa kota Indonesia tersebut berlangsung melalui bedah buku di Sanggar Maos Tradisi (SMT), Ngemplak, Donoharjo, Sleman, Jogjakarta. Diikuti para mahasiswa, LSM dan akademisi, bedah buku yang mengurai sengkarut hukum pengelolaan salah satu pelabuhan terbesar Indonesia itu dihadiri oleh Ahmad Khairul Fata sang penulis, Sosiolog UGM Arie Sujito dan dosen Universitas Pertahanan (dulu Lembahanas) Aris Arief Mundayat dan Nova Sofyan Hakim (Ketua Federasi SPJICT). 




"Kami tidak anti investasi asing, tapi kami ingin pelabuhan dikelola oleh Indonesia sendiri," ujar Nova membuka bedah buku di depan para audiens yang hadir. Salah satu langkah tersebut, menurutnya antara lain road show yang sedang mereka lakukan. Sementara Khairul Fata, menyebutkan ketertarikannya menulis buku karena didasari perpanjangan kontrak aset nasional ini oleh HPH merupakan isu global. Bahkan, dia dan rekannya MD Aminuddin mendapatkan satu dus bahan untuk dipelajari. Selain tentunya mewawancarai pihak-pihak berkompeten mulai dari politisi yang terlibat di Pansus Pelindo II, akademisi, praktisi ekonomi dan pihak-pihak lain. Titik awal HPH mengelola Pelabuhan Tanjung Priok dimulai saat Indonesia mengalami krisis moneter, 1999. Grafis ini menunjukkan sejarah dan persoalan yang ada. 





Bagi Arie Sujito dari UGM, pelabuhan merupakan bargaining position sebuah negara. Sangat mencurigakan dan disayangkan, JICT yang mengelola Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan BUMN dengan sarat prestasi, menyerap tenaga kerja dan saham besar bisa dikuasai asing. Bahkan, ketika sudah bisa dikelola bangsa sendiri, masih "diberikan" kepada Hongkong untuk diprivatisasi. Oleh karenanya, power mapping dalam struktur kekuasaan politik BUMN harus diperjelas. Reformasi pejabat BUMN menjadi suatu keharusan sebagai pilar kekuatan Indonesia. Jangan sampai, Indonesia menjadi kehilangan kendali atas ekonomi dan politik. Diskusi dan penyampaian informasi-informasi penting semacam ini perlu diberikan kepada publik dan jadi perbincangan luas di media sosial.

"Serikat Pekerja JICT harus bertemu Pak Jokowi untuk membehas kasus JICT. Niat presiden membangun kedaulatan maritim harus diapresiasi positif. Tapi BUMN harus diperbaiki dulu," tegasnya. 

Senada dengan Arie Sujito, Arief Mundayat berpikir hal yang sama. Faktor ekonomi menurut dosen Unhan ini berperan penting untuk memperkuat pertahanan suatu negara. Apalagi, terkait JICT, posisi Laut Cina Selatan bagi Indonesia sangat penting dan strategis, karena arus lalu lintas perdagangan yang padat. 

Pengelolaan Pelabuhan Tanjung Priok idealnya 52 persen dikuasai Indonesia, sisanya 48 persen baru asing. Komparasi ini jangan dibalik! Jika terjadi kebalikannya, kedaulatan negara menurun dan otoritas negara bisa berkurang. Apalagi, dengan dibangunnya pelabuhan hingga ke Indonesia Timur, hal ini akan menjadi potensi yang luar biasa besar di masa mendatang. 

"Pengelolaan dan kepemilikannya harus tepat," ujar Arief tegas. Ditambahkan olehnya, BUMN kita harus dijaga dari generasi precasius, mereka yang sangat tergantung dari pihak luar. Ini agar bangsa dan perusaan negara lebih produktif dan kuat. Soalnya, serikat pekerja akan rentan tekanan dan intimidasi dari perusahaan.  Jangan sampai, generasi yang bergantung kepada luar semakin membebani dan mempengaruhi pola pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks kedaulatan maritim, sepatutnya Pemerintah melalui BUMN membangun unit-unit pasar yang kuat. 

Dengan demikian, pengusutan perpanjangan Kontrak JICT ke HPH yang diduga inprosedural dan mengangkangi kedaulatan serta kepentingan bangsa ditinjau ulang. Pelanggaran-pelanggaran hukum di manajemen Pelindo II yang mengelola JICT bersama HPH harus diusut tuntas sesuai rekomendasi Pansus Pelindo II dan temuan BPK yang menguatkan adanya indikasi permufakatan jahat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D

Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)