Selasa, Desember 11, 2012

Cintaku Se-Gede Pangrango

Dimuat di Majalah Hai edisi 29 November - 4 Oktober 2012


“Dengarkan dulu, mama belum selesai bicara. Kamu  ternyata nggak hanya suka bohongin mama, tapi juga cewek-cewek!” ujar mama keras.
“Apalagi sih, Ma? Dino harus berangkat. Nggak penting banget,” tukasku kesal. Bukan ini kali saja mama menginterogasi. Bertanya ini itu. Aku menyambar tas dan kunci motor. Meninggalkan mama di meja makan. Gemas melihatku.
Ini pasti gara-gara Tika. Adikku yang sekampus itu comel sekali menceritakan apapun. Aku Dino, kakaknya selalu menjadi laporan ke mama. Bulan lalu aku habis dimarah mama karena ketahuan minta uang keperluan kuliah fiktif. Aku ingin backpacking ke Jogja bareng teman-teman, tapi tidak punya uang. Dengan alasan ada praktikum kultur jaringan tambahan, aku sukses mengelabui mama. Tapi kecolongan Tika. Runyam jadinya. Dia mencari-cariku di laboratorium, tepat saat aku have fun di kota gudeg. Terbongkarlah kebohonganku. Sialan....
Tadi mama menasehatiku untuk tidak suka gonta-ganti pacaran. Whuohoo... hari gini ortu masih ngelarang anaknya pilih-pilih pacar! Memang aku gonti-ganti pacar, tapi itu murni karena tidak ada kecocokan. Fitri misalnya, memang cantik sih, tapi cowok mana yang tahan kalau setiap ketemu, ngobrol sambil ngupil. Ya sudah, aku putusin.
Begitu juga Vania, aku baru pacaran sebulan ketika mengetahui dia ternyata lemot kalau diajak bicara banyak, lola alias loading lama. Lalu ada Gita yang aku putusin karena tidak mau sering-sering ngedate. Mentang-mentang kuliah di kedokteran yang super sibuk dengan berbagai tugas dan praktik. Kupikir-pikir buat apa punya pacar untuk status doang, nggak bisa diajak ke mana-mana. Terpaksa hubunganku dengan Gita hanya bertahan tiga minggu.
Terakhir dengan Nisa. Sebenarnya tidak ada masalah yang membuatku tidak berkenan dengan cewek berjilbab itu. Aku waktu itu cuma mau tahu sesuatu.
“Nis, gue mau lihat dong rambut lo...” ujarku pura-pura malu tapi antusias.
What’s? Emang lo siapa? Gue nggak mau,” jawab Nisa tegas.
“Lho, aku kan pacarmu. Ayooo, dong. Soalnya gue nggak suka rambut keriting.”
Plaaakk...!
Tamparan Nisa mendarat tanpa kuduga. Tanpa memberi kesempatan buat aku mengelak. Meninggalkan tato keriting nan merah di pipiku.
“Gue bilangin, gue nggak bakal buka jilbab sembarang setelah menutupnya. Lo mau tau rambut gue? Rambut gue emang keriting. Nah sekarang jelas kan? kita putus.”
Aku ternganga. Oh my God... Kelihatannya sepele. Tapi penting menurutku, jadi sah-sah aja akhirnya hubungan cinta ini tak bertahan lama. Gara-gara hal-hal tadi mau bilang aku salah? Playboy? Nggak kan.
***
Kuliah hari bikin lelah bin capek. Tiga mata kuliah sejak jam delapan tadi, disusul dua mata kuliah lagi sampai jam empat sore. Bah, kuliah apa kuli ah... Bahkan lagu-lagu Muse dari headshet Blackberry ini tak membuat gairahku mencuat. Aku malas pulang. Takut mama masih punya stok omelan.
Kulajukan motor ke arah belakang kampus. Tempat kost-an mahasiswa berjejer diselingi warteg, warnet, rental playstation, laundry, dan warung makan. Lebih baik istirahat di kost Tungku, anak Aceh teman kuliahku yang sampai saat ini belum pernah ngulang matakuliah, hehehe... Berbanding terbalik dengan aku. Namanya aslinya Teungku Raihan, tapi kupelesetkan jadi Tungku.
Dia baru saja sholat ketika aku mendorong pintu kamarnya. “Gue capek, numpang tidur coy,” ujarku nyungsep di kasur busa.
“Tampang lo kusut kayak gitu. Salat sono, baru tidur!” Tungku melayangkan sajadah yang baru digunakannya ke mukaku.
“Nanti ah, gue ngantuk banget,” jawabku sembari menerbangkan kembali sajadah itu ke sudut kamar. Nih mahasiswa sejak jaman semester satu dulu alimnya nggak luntur-luntur ketelan Jakarta. Untungnya dia tetap nyaman berteman denganku. Padahal tidak jarang, Tungku mendapat komplain cewek-cewekku. Apalagi kalau bukan soal penyebab putus yang dibilang egois.
“Nanti nunggu magrib? Tampang lo boleh ganteng, dapat dispensasi ditaksir banyak cewek. Tapi bukan berarti lo juga dapet dispensasi boleh nggak salat dari Tuhan.”
Busyeet... sepertinya hari ini aku diserang dari segala penjuru. Aku membenamkan kepala ke kasur, menutupnya dengan bantal.
Ketika bangun, tepat seperti yang dikatakan Tungku. Sudah magrib! Cowok itu sedang khusyu’ mengaji. Aku malas-malasan ke kamar mandi mengambil wudhu. Mencoba sholat setelah mata Tungku mendelik ke arahku.
Aku memerhatikan Tungku sampai dia selesai. Alunan suaranya enak didengar, mengudara di kamar dengan bening. Salut buat temanku yang satu ini.
“Ngaji lo bagus banget, Tung...” Kataku begitu dia usai menunaikan bait-bait suci tersebut.
Dia tertawa kecil. “Biasa aja.” Padahal bagiku Tungku ini luar biasa. Pintar, alim, dan ganteng juga. Beda banget denganku. Kesamaan kami hanya satu, sama-sama ganteng, hehehe...
Btw, gue mau naik ke Gede Pangrango nih, minggu depan dengan teman-teman. Lo jadi guide ya?”
What’s!? Aku kaget dengan permintaannya. Mendaki gunung memang salah satu hobiku selain pacaran. Tawaran yang asyik buat nge-guide Tungku dan teman-temannya. Terakhir aku naik ke Gunung Cikuray enam bulan lalu. Gunung Gede juga pernah kutaklukkan.
“Jangan khawatir beberapa punya pengalaman mendaki, cuma bukan Gunung Gede. Lo kan udah pernah ke Gede.”
“Oke, bisa aja. Ada yang cakep nggak ceweknya?”
Tungku meninju pelan lenganku sambil tertawa, “Dasar, playboy lo! Banyak yang cakep, tapi kayaknya nggak bakal bertekuk lutut ama lo.”
Aku menjawab tangkas. “Ah, ntar lo kaget lho, hehehe...”
***
Aku berjalan tergesa-gesa membawa makalah yang baru saja dijilid di fotokopi seberang kampus. Gawat. Hari ini ada mi­d semester mata kuliah Pak Handiman. Gara-gara menyelesaikan makalah tugas beliau juga, aku jadi kesiangan. Bener-bener Pak Handiman, tugas dan ujian pun dibuat berbarengan. Bikin mahasiswa kelabakan.
Baru saja aku mau menstarter motor, ada yang berteriak, “Hei, hei... Mas, ongkosnya mana?” Aku kaget. Kelupaan membayar fotokopi dan ongkos jilid. Terpaksa aku berbalik. Kurogoh kantongku, tidak ada uang sepeser pun. Aku beralih membuka tas. Sama saja. Nihil! Busyet banget, aku lupa membawa uang sama sekali karena buru-buru dari rumah tadi.
Aku meringis, mas penjaga fotokopi keheranan. “Kenapa?”
“Uang saya ketinggalan, Mas, tadi buru-buru,” jawabku memelas.
“Ya, gimana dong?” ujarnya.
“Besok atau siang ini habis kuliah ya, Mas?” tawarku.
“Beneran? Mahasiswa banyak yang begini nih akal bulusnya,” penjaga fotokopi itu sewot. Aku malu setengah mati. Gile ajee... Dia pikir aku pura-pura kelupaan bawa uang.
“Memang berapa semuanya, Bang?” Kudengar suara seorang cewek.
“Sepuluh rebu...”
“Ini, saya yang bayarin.” Kuperhatikan cewek yang memakai t-shirt biru dengan jeans hitam itu mengeluarkan dompetnya. Mulutku hanya bisa melongo. Tengsin!  Takjub juga ada makhluk bernama manusia ngebaikin aku yang tak dikenalnya.
“Mbak, nggak usah. Saya, saya bisa...”
“Udah. Udah kubayar. Nggak apa-apa kok,” ujarnya santai.
“Maaf, saya duluan ya...” Dan dia pun pergi.
Aku sampai lupa, pelan kuucapkan, “terimakasih...” Abang fotokopi tersenyum tipis padaku sambil mengangkat kedua bahunya.
Buru-buru aku menghampiri motor. Benar saja aku terlambat hampir limabelas menit. Jawaban ujian tidak satu pun yang kukuasai dengan baik. Pikiranku terpengaruh cewek berambut sebahu nan manis yang membantuku tadi. Seandainya bisa kenalan. Tiba-tiba muncul ide cemerlangku. Kenapa nggak keliling kampus aja dengan motorku?
Sepertinya aku mulai jatuh cinta deh. “Lagipula kenapa dia sampai mau merelakan uangnya. Kalau bukan tertarik atau memancing aku untuk mendekatinya,” pikirku. Pede pastinya. Ehm, sebuah kesialan yang menguntungkan. Lumayan, predikat jomblo yang kusandang selama dua bulan ini bisa kubuang. Aku tersenyum girang.
Dengan revo kesayangan, kususuri jalanan kampus. Gedung-gedung kuliah dan fakultas saling berseberangan. Tidak begitu lama. “Oh Tuhanku Yang Maha Baik, Kau pertemukanlah lagi hamba dengannya.”  
Aku membunyikan klakson dengan pelan. Gadis itu berjalan dengan kedua temannya. Dia baru tersenyum ketika menyadari siapa yang mengklasonnya tadi. Aku menepikan motorku.
“Hai, aku lupa bilang terimakasih untuk bantuanmu tadi. Aku akan menggantikannya.” Kataku tiba-tiba. Tapi dia tak kaget sama sekali.
“Ah, lupakan saja soal mengganti itu,” jawabnya tenang. Kedua temannya melambaikan tangan, pamit untuk duluan. Meninggalkan kami berdua.
“Aku Dino, anak Biologi. Kamu?”
“Meida. Sastra Indonesia.”
“Wah, jago puitis-puitisan doang,” kataku tertawa. Meida ikut tertawa kecil. Dia benar-benar menarik. Barisan gigi putih membuat senyumnya enak dipandang. Rambut yang lurus, kutaksir pasti bukan karena rebonding.
Akhirnya aku dan Meida ngobrol panjang lebar. Doi selain cantik ternyata anak yang asyik. Baru bertemu beberapa saat kami sudah terlibat pembicaraan yang seru. Dia juga penyuka band lawas Kahitna seperti diriku. Hari ini aku merasa beruntung sekali.
***
Meida melewati hari-hariku saat ini. Jika tidak ada jam kuliah, aku tak segan-segan nyamperin dia di Gedung Sastra. Sekadar menikmati mie goreng di kantin sastra yang ternyata cukup bergelimang cewek-cewek bening. Salah satunya Meida yang sedang kudekati ini.
“Lo nggak punya pacar kan, Mei?” tanyaku suatu ketika.
“Nggak. Kenapa?”
“Nggak juga. Khawatir aja nanti ada yang marah.”
“Gue nggak punya pacar kok. Kalau teman sih banyak.”
Aku menjerit senang dalam hati.
“Emang nggak tertarik pacaran? Mustahil cewek cantik kayak lo nggak ada yang mau,” pancingku.
Meida tertawa. “Mau apa dulu? Kalau yang cinta ke gue sih banyak. Urusan cinta memang bikin hidup lebih hidup... ”
“Hehehe... lo bisa aja. Gue yakin deh...” kataku.
“Udah Ashar nih. Gue salat dulu ya. Lo mau ikut? Salat juga kan?”
Aku tersenyum malu. “Kamu aja deh, aku balik lagi ke fakultas.”
“Ya udah. Aku pergi dulu.”
Aku memandang Meida dengan takjub. Gadis yang sempurna.
Tiba-tiba ponselku berdering. Terdengar suara Tungku, “Oi, lo ke mana aja? Gue cari-cari. Besok kita naik ke Gede lho, lupa? Payah lo...!”
Ohlala... Meida benar-benar mengalihkan duniaku.
***
Aku meletakkan tas carier di pinggir jalan. Penat setelah hampir dua jam duduk di bus. Ada tujuh orang yang bergabung di Expedisi Tujuh in, sesuai nama. Hanya Bram dan Tungku yang baru kukenal, karena aku tadi buru-buru. Di bus aku malah tertidur dari Jakarta sampai ke Cibodas.
Satu-satu teman Tungku mengulurkan tangan padaku. Rifda, Hero, Fahri, satu orang lagi.
“Kamu? Ikut juga....”
“Hahaha...” tawaku pecah. Gadis itu ikut tertawa kecil. Manis sekali.
“Jadi kalian sudah saling kenal?” Suara Tungku.
“Iya, Meida ini orangnya baik sekali, selain cantik. Jadi wajar kan kalau aku kenal,” ujarku mengedipkan mata ke arah Tungku.
“Ah, lo kok bisa berteman dengan orang kayak gini, Han?” sambar Meida. Rupanya mereka memanggil Raihan pada Tungku.
“Gue peringatkan, lo jangan termakan gombalnya Dino,” Tungku menimpali. Lagi-lagi Meida hanya tertawa.
(Bersambung)