Rabu, Februari 05, 2014

Pertautan Orang-orang yang Terperangkap Sunyi


Judul                    : SUNYI, Sebuah perjalanan hidup
Jenis                    : Novel
Pengarang          : Eni Martini dan Ifa Avianty
Penerbit              : Panser Pustaka, Jogjakarta (Cetakan pertama, Oktober 2013)
Halaman              : 240
ISBN                    : 602-7798-73-4




Tak banyak novel yang menuangkan isu rumah tangga yang sarat pro-kontra, lalu mengemasnya dalam cerita popular renyah.  Satu dari yang tak banyak ini adalah Novel Sunyi,  karya duet Eni Martini dan Ifa Avianty yang cukup berhasil. Tema poligami dalam Sunyi dekat dengan realitas di masyarakat kita. Banyak terjadi, berikut dengan sub-tema penyerta yang tak ada habis-habisnya. Dicerca banyak orang, tapi banyak juga dibela, bahkan menjadi pelaku suami beristri dua atau lebih tersebut. 

Novel sunyi menciptakan tiga perempuan dengan masalah masing-masing yang pelik. Menciptakan kesunyian yang dipendam dalam-dalam. Melati, pemilik daycare bersuamikan Radit  yang work-holic sebagai akademisi, sehingga menciptakan depresi sang istri yang nyaris tak pernah diperhatikan. Malaya, teman SMA Melati, pemilik coffee shop yang sunyi karena jodoh yang tak kunjung tiba di usia 35 tahun. Lantas Soraya, karyawan Melati yang bersuamikan Reza dan tak bisa hamil karena mandul. Itu pula yang membuatnya bekerja sebagai pengasuh anak-anak. Di sisi lain, kerinduan akan anak membuat Reza ingin menikahi Malaya, owner coffee shop tempat ia biasa ngopi. Sementara Soraya, sejatinya tak sanggup berbagi suami, tapi ketegasan tak terlisankan membuat Reza berkesimpulan Soraya bersedia dipoligami (hal. 148).

Awalnya Melati tak tahu, jika pangeran yang melamar sahabatnya  adalah suami Soraya. Begitu rahasia itu terkuak, ia tak kuasa memihak pada siapa. Baik Malaya atau Soraya adalah dua sahabat yang dicintainya. Soraya bersedih di tengah kegembiraan Malaya. Wanita yang mencintai Reza sepenuh hati itu tak jujur  pada suaminya. Sementara rumah tangga Melati dengan Radit di ujung prahara karena miskin komunikasi. Padahal di mata Soraya dan Malaya, Radit-Melati yang dikarunia bayi Zea adalah gambaran keluarga bahagia. Terbersit kekaguman (bercampur sedikit iri) di hati keduanya. 

Di Bab 16 (hal. 178), Melati tumbang, jatuh sakit karena memikirkan Radit yang sibuk sendiri. Di bagian berikutnya terkuak, autis asperger-lah yang membuat ia demikian, salah satu penyebab lelaki itu hanya tertarik pada diri sendiri (hal. 193). Kondisi Melati yang drop juga diperparah curhat Soraya tentang nasibnya yang akan segera mendapat madu. Sementara sebelumnya Malaya bingung, ketika tiba-tiba Melati memberikan pesan via ponsel yang penuh tanya, “Dear Mala. Aku hanya ingin tanyam apakah boleh andainya kita meraih bahagia dengan membuat seorang lain patah hati?” (hal. 176).  Pada akhirnya kejernihan hati dan kejujuran jua lah yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan wanita-wanita tersebut.

Eni Martini dan Ifa Avianty tak mencoba membuat isu sensitif ini menjadi begitu kejam, membuat kita bertikai. Toh, soal wanita yang bersedia dipoligami atau tidak, dikembalikan pada pilihan wanita itu sendiri. Bisa menolak, bisa menerima. Para lelaki harus menghormati dan menerima sikap tiap wanita. Meski jelas, Islam membolehkan. Kalau boleh ditangkap, bisa jadi lewat novel ini, pembaca bisa menyimpulkan silakan berpoligami, tapi jika dengan praktik tersebut pelakunya tak bahagia (yang juga wujud keikhlasan), jangan lakukan!

Sebagai bacaan menghibur sekaligus membuat cara pandang kita kaya terkait poligami, novel ini tepat sekali. Tak hanya terpusat pada isu poligami, masalah tokoh Melati pun sarat inspirasi. Komunikasi, perhatian, dan saling memahami pasangan dengan jujur haruslah selalu dipupuk. Tak hanya cukup bertahan dalam diam tak bicara. Ujungnya, tentu saja, semua indah pada waktunya. [Elzam]

2 komentar:

Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D

Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)