Senin, Februari 24, 2014

Mak, Ipang Juga Mau Sekolah

(Dimuat di Lampung Post, Minggu/16 Februari 2014)  

Versi koran, difotoin temen dari Lampung. 



Ini versi e-paper yang ditemukan di internet
Asih berjalan lesu usai pulang sekolah. Bukan karena terik matahari, tapi ingat permintaan adiknya tadi pagi. Sewaktu ia mau berangkat. 
“Mak, Ipang juga mau sekolah.”
“Ehm... kamu pasti sekolah, Pang. Kalo tidak tahun ini, mudah-mudahan tahun depan,” ujar emak. Asih melihat emak menenangkan adiknya, tapi murid kelas 4 SD itu tahu emak tidak yakin Ipang bisa sekolah. Entah sampai kapan...
Ipang sudah 8 tahun sekarang, telat setahun masuk sekolah. Emak cuma tukang cuci dan setrika. Hidup mereka seadanya karena sang ayah telah lama meninggal. Rumah mengontrak, harga kebutuhan yang tak terjangkau membuat mereka hidup pas-pasan.
“Ipang malu kalo tahun depan sekolah, badan Ipang kan lebih gede dari anak lain,” jawabnya ngambek.
Emak tak memedulikan keluhan Ipang. Beliau tetap membereskan cucian yang sudah bersih, melipat, dan memasukkannya ke keranjang untuk disetrika. Setelah itu baru emak mendekati Ipang, merangkul pundaknya.
“Tapi Ipang kan pintar, sudah bisa membaca, perkalian, menghitung...”
Ipang memotong omongan emak, “pintar tapi tak punya rapor, huh...”
Emak tertawa kecil melihat Ipan kali ini manyun. “Ipang sabar ya! Sekarang baru satu anak emak, mampu emak sekolahin. Kalau Ipang sekolah, artinya Kak Asih berhenti. Ipang mau begitu?”
Ipang menggeleng mendengarnya.
Asih yang mengintip dari balik gorden pintu hanya bisa bersedih. Itulah yang membuat Asih berpikir seharian tadi di sekolah. Bagaimana caranya Ipang bisa sekolah?
***
Hari ini sebelum ke sekolah, emak meminta Asih memberikan cucian ke rumah Bu Ridwan.
“Ini cuciannya, kamu jangan lupa ya, Nak. Jangan lupa ucapkan juga terimakasih nanti,” pesan emak sambil menyerahkan kantong berisi pakaian yang sudah rapi.
“Iya, Mak. Nanti Asih sampaikan,” ujar Asih.
Emak menerima uluran tangan Asih yang menyalaminya, “sekarang berangkatlah, hati-hati!”
“Mak... bagaimanana kalau Asih berhenti sekolah? Biar Ipang saja sekolah. Asih kan perempuan,” jelas Asih tiba-tiba.
 “Jangan Asih. Sayang kalau kamu berhenti.”
“Tapi Ipang...”
“Sudahlah, jangan kamu pikirkan. Tugas utama kamu adalah belajar, yang lain biar emak yang pikirkan, mengerti?” tanya emak lembut.
Asih pun mengangguk pelan. Terbersit sedikit rasa kecewa di hatinya.
Di kelas Asih masih memikirkan Ipang. Gadis kecil itu terus berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk sekolah Ipang. “Mengamen sepulang sekolah?” otaknya berputar. Tentu saja emak akan bertanya jika ia pulang terlambat.
“Hayooo... lagi ngelamunin apa?” Tiba-tiba Fitri, teman sekelas menepuk pundaknya.
“Eh... tidak. Aku lagi tak mikirin apa-apa kok,” Asih berusaha menutupi masalahnya.
“Jangan bohong deh, aku tahu kamu akhir-akhir ini seperti ada masalah. Siapa tahu aku bisa membantu lho,” ujar Fitri. Rupanya dia tidak percaya begitu saja.
Asih terdiam cukup lama. Bimbang antara bercerita atau tidak. Akhirnya ia putuskan bercerita. Tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu Fitri memang bisa membantu. Asih pun menceritakan soal Ipang yang ingin sekolah dan kendalanya. Fitri mendengar dengan penuh perhatian.
“Oh jadi begitu...” jelas Fitri begitu selesai mendengar cerita Asih.
“Iya. Jadi bagaimana, kamu ada ide buat aku bekerja?”
“Hehehe... sayangnya, nggak,” jawab Fitri sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pura-pura.
Asih pun makin tidak bersemangat.
“Jangan manyun, Non. Begini nih, aku baca di majalah ada yayasan yang programnya membiayai sekolah anak tidak mampu. Orangtua asuh begitu. Bagaimana kalau kita datangi yayasan itu sepulang sekolah nanti?”
Beneran? Aku mau.” Wajah Asih berbinar-binar bahagia. Dia meraih kedua tangan Fitri, “Terimakasih ya, mau membantuku.”
“Sama-sama. Tenang saja, Fitri...” jawab Fitri pura-pura seperti merasa hebat.                 
Sepulang sekolah mereka naik bus kota ke tempat tersebut, Yayasan Orangtua Asuh Anak Bangsa. Di sana mereka bertemu perempuan yang sudah cukup berumur, yang  biasa dipanggil Oma Martha. Rupanya beliau sehari-hari mengurus yayasan tersebut bersama beberapa relawan lain.
“Jadi setiap anak mendapat biaya dari orangtua asuh masing-masing. Yayasan inilah yang menjadi perantara,” sahut Oma Martha memberi penjelasan. Asih dan Fitri mengangguk tanda mengerti.
“Oma akan mengusahakan donatur untuk adikmu, Ipang. Tahun ini dia sudah harus kita sekolahkan,” tambahnya lagi.
“Benar Oma?” Asih seperti tidak percaya.
“Iya. Oma dan teman-teman di yayasan akan berusaha, dan biasanya berhasil,” katanya penuh semangat. Beliau mengambil selembar kertas. Lalu menanyakan beberapa hal tentang Ipang dan keluarganya, kemudian menuliskannya.  Setelah itu, beliau menyarankan Asih dan Fitri untuk pulang. Oma Martha akan memberi kabar secepatnya.
***
Tiga hari kemudian Asih terkejut begitu tiba di sekolah. Hampir semua teman sekelas menghampirinya. Beberapa memberikan selamat. Tentu saja Asih bingung.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Asih pada Rafael, sang ketua kelas.
“Lho, memangnya kamu belum diberitahu ibu koperasi?”
Asih bengong. “Soal apa?”
“Kamu dipilih jadi pengurus kantin koperasi sekolah. Kata ibu koperasi, sebagian keuntungan akan diberikan untukmu, sebagai upah karena menjaganya setiap istirahat. Lumayan untuk bantu biaya sekolah,” jelas Rafael.
“Kok bisa?”
“Kami yang mengusulkan, atas ide dari Fitri, hehehe...” ujar Rafael sambil tertawa.
Asih terharu sekali atas kebaikan teman-temannya. “Terimakasih ya, sudah banyak membantuku,” ujarnya pada teman-teman yang menggelilinginya. Dalam hati ia berkata, “uh, Fitri nyebelin. Kenapa tidak bilang-bilang, sampai aku seperti mau pingsan  kegirangan begini.”  Asih benar-benar gembira.
Saat pulang ke rumah kejutan kedua membuat Asih tak kalah gembira. Emak mendapat surat dari Yayasan Orangtua Asuh Anak Bangsa. Isinya menjelaskan Ipang mendapatkan orangtua asuh yang bersedia membiayai sekolahnya.
“Sih, kita harus bersyukur pada Tuhan. Ipang dapat orangtua asuh. Masih banyak orang baik yang membagikan rezekinya untuk orang seperti kita. Kalian berdua akhirnya sama-sama sekolah, Nak,” ujar emak.
Asih mengangguk sambil memeluk emak. Dia sudah tidak sabar membayangkan perasaan Ipang mendengar berita gembira itu. Sayangnya, Ipang sedang bermain bersama temannya.
“Coba kamu cari adikmu. Biar dia cepat mengetahui kabar yang diimpikannya selama ini,” pinta emak.
Asih pun berlari riang ke luar rumah. “Ipang pulaang! Ada berita gembira, kamu bisa sekolah...” Asih berteriak penuh semangat. [Elzam]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D

Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)