Sabtu, Agustus 28, 2010

DZIKIR BINTANG-BINTANG


(Dimuat di Majalah Al Izzah, Oktober 2005)

Aku terus menatap gundah pada malam. Apa yang lebih indah selain menikmati malam ini. Malam cantik. Setelah hujan di satu malam bulan Maret.Udara malam kian lembab karena hujan mengguyur bumi. Pun daun, tunas dan kelopak merekah segar. Bersyukur untuk desah nafas penghambaan.

Berkacalah pada ruang terbuka. Bernama alam. Seperti hujan bersama tumbuhan dengan saling pengharapan. Ibarat pelangi bersama butir hujan ditimpa mentari. Pada bintang dengan eksotika malam.

Blaaam……!

Aku menangis. Tidak berbentuk derai air mata. Tidak pada mata yang berkaca-kaca. Tidak pada sengau nafas yang sesenggukkan. Namun, lebih dahsyat menyentuh

Rabbi…mengapa jiwa
Kian hampa…
Khalik…mengapa gelora
mahabbah
Tak menyentuh fitrah….

***

Siapa yang tak meragukan kredibilitas seorang Yudi dalam da’wah. Mahasiswa semester akhir yang telah lama tenggelam dalam aktivitas ruh itu. Ia menyebutya aktivitas ruh karena kegiatan mahasiswa satu-satunya yang ia ikuti di kampus dengan melibatkan orientasi ukhrawi. Berbanding lurus dengan kebersihan niat pada seorang aktivis da’wah kampus (ADK).

Namun sosok da’i seperti apakah seorang Yudi? Agendanya menjawab, tadi sore ba’da ashar rapat, besok pembicara di pelatihan Jurnalisme Islam. Lusa, sebagai peserta pelatihan Bla...bla...bla....

Oke, satu point telah ia dapat. Berikutnya, sosok pembelajar bagaimanakah seorang Yudi? Majelis-majelis ilmu menjawab, Kajian rutin menyela, buku-buku Keislaman, berbicara....

Baik, point kedua meyakinkan. Tapi apa salahku, begitu dahaga, tak menemukan muaranya.

"Afwan, akhi... mengapa akhir-akhir ini ana melihat antum selalu menghindar?" tanya Ridwan perlahan padaku.

Aku bukannya tak menyadari. Telah tiga tahun aku menenggelamkan diri pada rutinitas
da’wah kampus. Konsep sekaligus praktik yang ideal menurutku. Mencoba berislam dengan baik, di tengah moralitas dan intelektualitas memprihatinkan di tempat bernama kampus.

Ingat pertanyaan Ridwan,aku menjawab resah, "entahlah..."

Ridwan tersenyum lembut,"ana siap mendengar" tawarnya.

Aku menjawab diplomatis, "ana belum siap berbicara"

Muka Ridwan terlihat sedikit sendu. Aku berharap ia tidak kecewa atau tersinggung. Ia
beranjak pergi meninggalkanku di teras masjid Darul Ulum selepas mengucapkan salam.

"Akh Ridwan...Afwan ya!" Teriakku pelan dan tertahan. Lagi-lagi ia tersenyum, mengangguk. Lalu menghilang di kejauhan.

Telah menjadi kebiasaanku untuk tidak membicarakan masalah yang kerap kuhadapi
pada orang lain.

Resah biar ku telan sendiri, nilai jeblok biar kujalani sendiri, malas berakhtivitas biar kuusahakan bangkit sendiri. Maka teman-temanku sesama ADK menganggapku tertutup. Tidak apa-apa. Bukankah satu masalah yang kuhadapi tak berarti dibanding beragam masalah umat.

****

Kalau begini aku selalu ingat ibu nun jauh di Sumatra. Beliau satu-satunya sosok inspiratif bagiku.

"Bu...Yudi pengen ngomong." ucapku melalui telpon.

"Ehm,ya..." Ibu merespon singkat. Sepertinya beliau tahu lagi-lagi aku mau curhat.

"Yudi lagi nggak enak nih, Selalu resah bawaannya..." prolog keluh-kesahku meluncur
cepat.

"Kamu kan bisa cerita dengan temanmu? Jangan selalu tergantung dengan orangtua. Apalagi Yudi jauh..." Ibu mengingatkan. Memang ini kali ketiga aku menelpon dalam satu minggu yang sama, dengan keluhan yang sama.

"Aduh, Bu..." jawabku memelas.

Ibu malah menjawab tegas, "Ibu bukannya melarang kamu sering nelpon tapi rugi kan
budget mingguan buat interlokal. Kamu harus lebih berkomunikasi dengan teman-temanmu..."

"Bu..." potongku masih penuh harap.

"Nggak! Kamu harus mulai membuka diri dengan orang lain. Ada suatu ketika ternyata kita memang perlu teman, walau sekedar berbicara masalah remeh temeh pribadi sekalipun," saran Ibu lagi. Aku tidak tahu bagaimana Ibu bisa seperti pengasuh rubrik psokologi majalah saja. Benar-benar nyaman.

Ku dengar di seberang sana Ibu menambahkan nasihatnya, "Bukankah ukhuwah Islamiah kental mewarnai aktivitas seperti Yudi. Itu kan yang selalu kamu katakan?"

Aku Terhenyak. Benar,kata-kata itu pernah kuungkapkan pada liburan beberapa waktu lalu. Saat Ibu menanyakan aktivitasku, teman-temanku.

"Makasih ya bu, udah ngingetin Yudi." Aku tidak ingin mendesak ibu untuk mendengar
ceritaku. Sepertinya tak mungkin.

Aku tahu Ibu bukannya tak mau mendengar keluhan alias curhat anaknya.Beliau sepertinya ingin agar aku tidak selalu bergantung pada Ibu. Sudah mahasiswa
jangan selalu ada apa-apa lari ke ibu. Ah, aku...

Hoooooow... Aku membuka mata. Suasana masih lenggang, gelap.

Aku berada di lapangan kampus. Tempat mahasiswa biasa bermain bola kaki. Sepi, hanya ada bintang-bintang. Gelap.Hanya ada denting simfoni daun mahoni di tepi lapangan, Berkresek.

"Hei, hei! Ada apa denganmu Yudi?" tegurku pada diri sendiri

Dan hatiku. Ia ikut bertanya. "Tidakkah kau ingin menggenapi dzikir bintang-bintang?"

Aku selalu ingin beramal. Aku ingin istiqomah di jalan-Mu ya Allah, but kesendirian seperti ini...

Sendiri?

Aku bengong. Apakah organisasi yang kami bangun saat ini beranggotakan satu orang?
Organisasi yang legitimate sebagai lembaga da’wah kampus. Aku jatuh di titik nadir
bernama futur. Entahlah, bagaimana definisi futur yang kupahami. Saat ini aku ingin sendiri. Tanpa aktivitas, tanpa interaksi dengan orang lain.

Bad mood. Mending bersantai di kamar kost. Aku ingin membuat pengakuan.

Dengarkan ya!Aku memang aktivis,miris melihat Islam ditinggalkan. Aku memang aktivis,
laris menjadi pembicara di sana-sini.

Aku menangis karena ruhiyahku kritis.
Aku...
individualis.

Pengakuan yang sangat tepat. Meskipun baru kuakui di sudut kamarku

***

Aku berdiri di depan kost Ridwan yang sederhana. Baru saja aku hendak mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Pintu itu telah terbuka. Sosok ikhwah renyah di depanku telah tampil rapi.

Ridwan terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Namun ia membalas menyalamiku dengan erat.

"Wah, ana senang banget nih antum datang, jarang-jarang sih…..” ujarnya membuka
pintu lebar-lebar.

"Enggak pernah" ralatku. Memang ini kali pertama aku sowan ke kost Ridwan.

"Oh, begitu ya?"

"Antum mo kemana akh?"
"Aku menjadi tak enak datang tidak tepat waktunya.

"Ana ada jadwal rutin. Nemuin adik-adik tingkat, silatuhrahim!"

Aku kembali bingung.Jadwal rutin? Proker, program kerjakah? Kok aku nggak tahu. Polos kutanyakan pada Ridwan, "Proker departemen apa sih?"

"He-he-he..." Ridwan tertawa pelan. Lho kok?

Ia kembali menambahkan penjelasannya, "Antum kok prokerholic banget ya"

Aku tersenyum canggung dengan julukan itu.

"Tidak masuk dalam program kerja LDK manapun. Ya, proker ana lah. Bagaimana kalau antum ikut?" tawar Ridwan.

Aku berpikir keras,tujuanku kemari kan mau "study rukhiyah." Ya, semacam studi
banding bagaimana ADK lain berkiprah sehari-hari. Samakah denganku. Tak apalah. Kuputuskan ikut dengan akh Ridwan. Aku akhirnya menjawab, "boleh."

Berdua kami menuju rumah kost Gerry. Tidak lama memang pengamatanku. Satu jam acara
silatuhrahim itu cukup untukku memberikan penilaian. Masih hangat di memoriku jabatan hangat disertai pelukan erat mereka. Canda Tawa yang lepas. Curhat Gerry mengenai cewek sekelasnya yang rspek dan “agak beda”. Sampai Ridwan sempat-sempatnya membawa sekantong makanan ringan untuk Gerry.

Dan ketika mereka pamitan. Binar-binar mata Gerry itu, Apakah itu berarti persahabatan berbingkai iman? Ukhuwwah Islamiahkah? Aku benar-benar takjub dengan
jadwal rutin Ridwan. Apalagi ia bilang jadwal rutinnya bukan hanya untuk Gerry, tapi juga Irham, Ferdi, Firman, Jay…menjadi target rutinnya pula!

Aku menghempaskan tubuh di kursi meja Ridwan. Kamar yang nyaman. Tidak terasa capek setelah mengunjungi Gerry tadi. Aku penasaran, menyapu pandangan pada dinding kamar. Kusentuh sebuah figura kecil. Foto lima ADK angkatanku, Ridwan salah satu dari mereka. Foto energik berlatar sebuah taman rindang.

“Acara kapan nih, Akh?”

“Oh, rihlah bareng. Waktu kita ajak bareng antum dulu, antum bilang enggak bisa ikut
karena lagi males “

Ridwan mencoba mengingatkan. Benar, ketika itu aku memang sama sekali tak berminat,
meski pun waktuku kala itu cukup longgar. Ah, ada sedikit rasa sesal menggayutiku. Satu moment mereka lewati tanpa aku. Wajah-wajah mereka tampak teduh sekaligus riang di foto tersebut.

Aku meraih album foto di atas meja. Kuperhatikan lembar demi lembar fotonya. Sepertinya semua anak-anak Kerohanian ada, kecuali aku dan ...akhwat
he-he-he... Foto-foto di pantai, kamar kost, kampus dan ini? Sepertinya di rumah Ardi. Aku tahu karena kami satu kota. Mereka pernah ke rumah Ardi rupanya.

Ridwan seperti tahu apa yang ada di benakku. “Foto antum enggak masuk nominasi sih. Abis enggak pernah gabung bareng ikhwah-ikhwah. Kalau foto kepanitiaan ana enggak punya, enggak tahu klisenya dipegang siapa.”

Aku berdiri. Studi rukhiyahku dimulai bukan dengan wawancara. Print-out berwarna cerah menarik minatku untuk membacanya. Tulisan motivasi yang ditempel di dinding.

Tiga hal yang membuat Umar bin Khattab betah di dunia: jabatan tangan yang menggugurkan dosa, qiyamulail, bertemu saudara seiman. Kudu itsar donk!


Aku tersenyum membacanya. Kreatif juga ikhwah Sosiologi ini. Terus kualihkan pada kertas kecil di dekat bantal. Contekkan ujian? Aku membacanya. Lagi-lagi moment privasi ikhwah yang diurusi Ridwan. Tanggal lahir ikhwah yang dia kenal berurutan manis. Aku menggeleng.

Aku memang selalu mendapat kado ultah dari Ridwan. Hadiah yang kerap kuanggap lucu.
Pake kado-kadoan segala. Biasa saja. Namun kini aku melihat kerasnya perjuangan Ridwan mengistimewakan saudara seimannya. Aku merasa luruh, setitik debu dalam kilauan pribadi istimewa semacam Ridwan.

Inikah aplikasi rukhiyah militan berdimensi ukhuwah itu? Sepertinya studi rukhiyah ini telah menemukan perbedaaannya dengan keseharianku.

***

Memang baik dalam kesendirian, menikmati desahan nafas yang menyambar-nyambar itu.
Berdua menemani zikir bintang-bintang di langit. Ketundukkan pada-Nya tidak terbatas pada aktivitas da’wah. Menyeru pada jalan Rabb, retorika lancar…terlalu dangkal hamba memahami berda’wah untuk agama-Mu, ya Allah!

Kutemukan jawabnya.

Bersama-sama mengakrabkan diri. Bersama-sama menghambakan diri. Dan cukuplah semesta alam menjadi saksi. Cinta manusia seperti apakah lagi yang kupinta? Ketika cinta saudaraku melebihi cintanya pada diri sendiri...


[ilustrasi diambil dari www.alfiyandi.wordpress.com]

**Menulis adalah membaca apa yang kau anggap ada di semesta kita.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D

Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)