Judul :
Athirah
Jenis
: Novel otobiografi
Pengarang :
Alberthiene Endah
Tahun Terbit :
Desember 2013
Penerbit :
Noura Books
Halaman :
404 halaman
ISBN :
978602781667
Athirah, judul buku ini sekaligus menjadi nama tokoh sentral yang menggerakkan
cerita. Tepatnya menggerakkan hidup Jusuf Kalla secara nyata, yang oleh Alberthiene
disampaikan dalam bentuk novel. Tidak seperti novel otobiografi lain yang
memfokuskan pada tokoh populer yang dikenal luas. Sosok ibunda Jusuf, Athirah, dalam
novel ini justru menjadi nadi cerita, dibanding Jusuf Kalla sendiri, yang tentu lebih kita kenal.
Menceritakan Athirah, yang
dipanggil Emma (baca: Emak) dalam sudut pandang Jusuf. Alberthiene mampu menempatkan
emosi cerita pada kadar yang alamiah. Emma, wanita asal Bone, kukuh berusaha
mempertahankan kesabaran ketika sang suami, Hadji Kalla menikah lagi. Pedih
dimadu tak lama mengurung dirinya. Pun saat mendapat surat bernada tak enak
dari istri kedua, ia hanya diam dalam pilu dibungkus kebijaksanaan. Tak
tersulut amarah. Emma tetap mengurus suami saat di rumahnya dan menjadi cahaya
penentram bagi anak-anak. Bahkan, Emma bangkit menjadi pedagang kain sutera
sukses di atas kaki sendiri. Selain menjalankan usaha transportasi Cahaya Bone
yang direntas bersama sang suami. Sementara suaminya menjalankan NV. Hadji
Kalla yang bergerak di bidang perdagangan.
Setegar dan sesabar apapun, saat
Bapak di rumah istri keduanya, kekosongan menjelma di hati Emma. “Sejak
Bapak menikah lagi, rumah kami redup. Tapi ibuku adalah perempuan pemantik
cahaya. Aku bisa menangkap sedihnya walau dunia selalu melihat kebahagiaannya”
(hal. 39). Jusuf sadar sekali, perasaan Emma sangat halus. Tak sekali pun
ia meminta Emma mempertanyakan alasan berpoligami pada Bapak atau bertanya
kenapa ‘tak melawan’. Alih-alih, Jusuf remaja sebagai lelaki tertua tampil
memimpin keluarga dengan delapan adik: Ahmad, Zohra, Saman, Suhaeli, Siti Ramlah,
Halim, Fatimah, Farida. Berikut satu kakaknya, Nur.
Naluri itu tumbuh begitu saja,
berkembang karena menyayangi Emma. Ia tekadkan hati, untuk tak jauh-jauh dari
Makassar demi sang ibu. Sementara sikapnya pada Bapak tak pernah bisa berubah.
Tiap pagi Bapak sarapan di rumah, keluar untuk berdagang, lalu kembali saat
menjelang magrib sampai makan malam. Selebihnya, Bapak milik keluarga kedua.
Kewibawaan yang sedemikian dalam membuat Jusuf kelu jika hendak bertanya alasan
lelaki itu mencintai perempuan lain. Tapi jauh dari dalam hatinya pula, Jusuf
sadar Bapak tetap perhatian pada anak-anaknya. Bertanya tentang sekolah,
kebutuhan-kebutuhan, dan mengaji. Tak ada yang dilewatkan. Bapak sempurna
menjadi ayah di mata Jusuf. Sempurna menjadi suami bagi Emma. Kekurangannya
cuma satu, ia mempunyai keluarga baru! Jusuf cepat dewasa karena tempaan
kondisi demikian. Diam-diam hal itu diperhatikan pula oleh ayahnya. Sampai saat
SMA Bapak menegaskan lewat lisan (hal. 258).
Lewat novel ini, tergambar utuh
kepribadian Jusuf terasah karena sikap mendua sang ayah. Momentum Emma,
momentum dirinya pula. Dari Emma ia belajar arti kesabaran, sampai untuk urusan
cinta ala anak muda pun terlupakan.
Semata-mata pikiran dicurahkan untuk mengasihi Emma dan saudaranya, juga
belajar berdagang. Sampai momentum itu datang, Emma bisa bangkit, menampakkan
gairah hidup lagi di tahun ke-3. Emma sampai di tahap ikhlas. Jiwa yang kosong
menjadi energi untuk menjalankan keputusan: berbisnis penuh. Bukan usaha bersama
dengan suaminya. Inilah yang membuat Jusuf lega, sehingga atas sindiran temannya,
bergaul lebih banyak. Ia mulai berusaha jatuh cinta, sampai bertemu Mufida yang
kelak menjadi istrinya. Mufidah tak mudah direngkuh. Gadis Minang anak guru
sekolah Muhammadiyah tersebut ketat berprinsip. Tak menolak, tapi tak juga
memberi tanda menerima Jusuf. Irit bicara dan sangat sukar diajak sekadar
membonceng skuter Jusuf. Ia hormati betul sikap sang gadis. Emma telah
mengajarkan lewat tingkah laku, perempuan memang perlu berprinsip untuk
menentukan sikap dan pandangan. Selalu ada alasan dari tiap tindakan perempuan
yang demikian kukuh. Pelajaran itu Jusuf pegang untuk meraih cinta Mufidah.
Ketidaksetujuan ayah Mufidah ternyata tak jauh dari latar belakang poligami
keluarganya. Apalagi nenek Jusuf pun, Mak Kerra, adalah istri ke-4 kepala
kampung. Saat itulah hatinya cabik, tapi juga memahami, tak ada ayah yang ingin
anaknya dimadu. Jusuf dapat meyakinkan Mufidah saat keduanya sudah kuliah.
Kesabaran berbuah restu ayah Mufidah. Di bagian-bagian yang merajut kisah ini,
cerita terbangun apik. Pembaca diajak pula menikmati alam Bone dan Makassar
yang diciptakan. Penulis sepertinya melakukan riset langsung sehingga setting
demikian kuat muncul. Budaya Bugis, dunia pedagang dan bahari menjadi keasyikan
tersendiri bagi pembaca.
Perjalanan kesabaran dan
keikhlasan Jusuf dapatkan dari Emma. Tapi bukan berarti Bapak tak berperan. Ia
belajar berdagang dari ayahnya yang mengamanahkan satu toko untuk dikelola.
Jusuf juga memperluas pergaulan dan berorganisasi karena ayahnya melakukan hal
yang sama. Bapak sebagai orang terpandang tak bisa dipungkiri menjadi inspirasi
tersendiri. Jusuf memimpin adik-adiknya untuk tidak pincang menjalani hidup
karena korban poligami. Mereka semua bisa menunjukkan prestasi, bukan pemberontakan.
Masing-masing meninggalkan rumah untuk sekolah di Jawa sampai Amerika. Rumah
sepi. Emma merasa kehilangan dan bertanya apa gerangan yang membuat demikian.
Dialog menyentuh pun tercipta. “Apakah kalian merasakan sesuatu yang buruk
dari rumah ini, Jusuf? Katakan dengan jujur ….” Suara Emma hilang timbul
ditelan isaknya. “Tidak, Emma, jusru rumah ini terasa indah bagi kami. Rumah
ini adalah sekolah kehidupan yang tiada tandingannya…” (hal 361).
Membaca novel ini membuat kita
berpikir ulang. Bagaimana pun keadilan diterapkan pelaku poligami, tetap ada
retak yang disisipkan untuk istri-istri dan anak-anaknya. Ayah Jusuf menyadari
ini, dan mewanti-wanti saat Jusuf menikah, supaya Jusuf menjaga hati Mufidah
tak ikut retak. Seperti beliau memperlakukan Emma. Sementara istri pertama lah
yang telah menolong dirinya saat nyaris bangkrut karena resesi ekonomi. Emma
ringan saja memberikan uang hasil berdagang sutera dan berlian milik pribadi
pada Bapak.
Pada akhir cerita di tahun 1982,
Emma meninggal karena operasi sirosis yang gagal. Jusuf dan saudaranya terguncang.
Tapi Bapak lebih terguncang. Mungkin merasa bersalah memperlakukan Emma yang
sekali pun tak pernah bertindak negatif saat dimadu. Bapak juga meninggal
ketika istri pertamanya belum genap 100 hari berpulang. Saudara Jusuf semua
meminta ayahnya diurus di rumah istri pertama, tapi Jusuf memutuskan lain. Ia
tahu, bagaimana pun pilihan ayahnya adalah beristri dua. Keputusannya, sang
ayah disemayamkan di rumah istri pertama, tapi didoakan di masjid persis di
samping rumah Emma. Tempat ia kerap menjadi imam, rumah kedua bagi Jusuf dan
saudaranya.
Novel Athirah sangat tepat menjadi bahan perenungan untuk memahami hati perempuan sebagai istri
dan anak-anak dalam perkawinan poligami. Tidak ada justifikasi salah dan benar
dituturkan. Semua berjalan alamiah. Emma seperti ingin berbagi ke pembaca, menghadapi
lingkungan yang menyedihkan bukan berarti seseorang kalah. Mengalah, sabar,
lalu berjuang menjadi cara ampuh menekan pedih. Pada akhirnya, selalu akan ada
hikmah dalam tiap pilihan hidup tiap orang terdekat kita. Selamat membaca! (Elzam Zami)
wow, reviewnya memikat banget nih, jadi pengin baca buku ini. Luar biasa ya Emma ini, sedikit dari perempuan yg ikhlas dimadu dan tetap positive thinking.
BalasHapusMakasih udah berkunjung Mbak Uniek... Iya, saya yang nggak begitu suka otobiografi novel malah jadi suka dan ikut hanyut *emang banjir, ahaha...
BalasHapusRekomended novelnya
Bagaimana ya hati istri2 ustadz2 yang dimadu?
BalasHapus