Hijau. Warna yang paling saya
suka. Mendengar kata hijau, maka saya
membayangkan hutan. Selalu begitu. Membayangkan hijau hutan saja membuat saya
seketika segar. Apalagi trekking di dalamnya, naik gunung, atau duduk di taman kota nan terbatas di Jakarta ini.
Lantas benak saya menjejak ke mana-mana soal
hutan dengan segenap isinya. Konflik tiada habis. Hutan sebagai
habitat flora dan fauna berhadapan dengan perilaku manusia memperlakukannya dengan tendensius. Berorientasi uang, uang dan uang. Maka hutan dirambah
menjadi kebun sawit. Hutan digunduli untuk diambil kayunya. Hutan dibakar hingga
gajah dan harimau liar di daerah saya,
Bengkulu, turun ke desa-desa. Mengancam keselamatan karena rumah mereka, hutan tak lagi menyediakan mangsa. Saya mendukung gagasan Greenpeace menggugah kesadaran kita, untuk mulai menyadari bahwa
hutan penting bagi hidup manusia. Gerakan dukungan melalui
aksi nyata Protect Paradise menjadi keharusan untuk semua orang ambil bagian. Mari dukung dengan klik di sini! Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Hutan pula membuat ribuan hektar
sawah mengering karena debit air Bendungan Air Manjunto di Mukomuko, masih di
Bengkulu, menurun drastis. Tepatnya tak bisa menyediakan sediaan air yang
cukup karena Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang menjadi hulu Sungai Manjunto bertahap menuju tandas.
Saat menjadi wartawan Bengkulu
Ekspress, harian lokal di Bengkulu (2007-2009), saya sempat ngepos di Mukomuko. Sebelah timur kabupaten ini berbatasan
langsung dengan TNKS. Penduduknya dominan
berkebun sawit. Perusahaan sawit skala besar juga tumbuh pesat
mengcengkeram. Bersama wartawan ANTARA Biro Bengkulu bernama
Rini, kami masuk keluar hutan dan bekas hutan yang menjadi sawit. Tidak banyak
wartawan lokal yang doyan beginian (siapa yang mau capek-capek investigasi di hutan, kedinginan kala hujan, medan berat, musti bawa bekal, etc).
Lebih gila lagi, kepala desa setempat bisa mengeluarkan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) atas hutan lindung |
Saat investigasi perambahan bersama Balai Besar TNKS dan LSM, yang cewek itu Rini. |
Ditemani para aktivis
lingkungan dan polisi hutan, kerap pula kami mesti bermalam di hutan atau kebun
sawit warga. Sudah biasa. Petualangan ini kerap saya rindukan setelah resign, lantas hijrah ke Jakarta.
Bahkan mobil semacam ini pun harus ditarik jika musim hujan |
Mereka ini (penduduk dan
perusahaan sawit) ikut andil menyulap hutan menjadi hamparan sawit. Rahasia
umum, pejabat penyangga pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) ikut
menggarap hutan dengan mempekerjakan warga. Tentu saja, bukti sahih sukar
didapatkan karena yang bergerak di lapangan orang lain, kaki tangan mereka. Izin
Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar terus diperluas dan ditenggarai menyerobot hutan
lindung, termasuk TNKS. Bersama LSM setempat semacam Genesis dan Walhi kami
sering mengkritisi hal demikian dengan pemberitaan-pemberitaan tak sedap. Tak
sedap bagi semua stakeholder yang
ditenggarai terlibat. Putus asa dibuatnya? Memang. Tidak di Kepolisian, tidak
di level pemerintahan dan legislatif, semua memberi alasan normatif; tenaga
kurang di lapangan, cakupan wilayah yang luas, dana kontrol terbatas, akan
segera ditindak sesuai aturan, sedang diselidiki, bla-bla-bla… Tapi saya tahu
persis, sekadar alibi untuk menutup borok berjamaah. Data terakhir dari Balai
Besar TNKS total kawasan yang telah dirambah seluas 41.303 Ha (2012), Bengkulu
menyumbang rambahan terluas kedua 3.520 Ha, setelah Kerinci/Jambi yang mencapai
28.255 Ha. Sumber klik di sini!
Melihat hutan yang siap beralih fungsi menjadi kebun sawit di tengah gerimis |
Hasil penebangan liar hutan oleh masyarakat |
Tulisan ini hanya sekadar
curhatan seorang mantan wartawan yang sama sekali tak hebat. Persoalan tata
kelola hutan dan kesadaran masyarakat masih 'payah'. Sementara birokrasi di daerah kian
jumawa sewenang-wenang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi,
alih-alih memiliki political will yang bersahabat untuk hutan. Seakan mereka tak butuh mewariskan oksigen untuk anak cucu karena
sekarang udara masih gratis. Padahal kerusakan hutan di seluruh dunia jelas mengancam
orang-orang rimba yang terkait langsung, flora fauna penyerta, dan dunia secara
umum dengan pemanasan global. Seperti yang dikatakan Greenpeace di sini!
Saya kerap
diserang migrain tiap kali berita-berita investigasi saya seperti tak berbalas. Tak ditindaklanjuti.
Belum lagi ancaman dan konflik dengan pihak yang terganggu terhadap temuan dugaan pelanggaran. Pada akhirnya saya
memilih jalan sunyi. Ya, sejujurnya penulisan hard news bukan passion
saya. Dari awal lebih menyukai
produk sastra, novel, cerpen, dan puisi. Saya tak punya banyak amunisi dan mental baja untuk bertahan.
Meski demikian, saya masih
menyukai hijau. Novel lawas Mochtar Lubis, Berkelana di Rimba yang dibaca ketika SD, tetap favorit saya. Mengambarkan keindahan dan kegunaan hutan. Inilah sebabnya, saya suka menulis yang terinspirasi awal kehidupan bumi, hutan. Cerpen tentang kearifan manusia pada hutan, rimbawan yang jatuh cinta pada
hutan, dunia petani seperti orangtua saya, cinta petualang-pendaki,
tempat indah di sudut Indonesia bernama hutan. Bahkan saya sedang
menulis novel dengan tokoh utama bernama Rimba.
Nah, ini cover novel yang sampai sekarang masih saya suka. |
Setidaknya saya ingin tetap mewarisi karya-karya yang membuka mata kita. Bahwa kita butuh benar hutan untuk melanjutkan hidup. [Elzam]
Wah, Mas Bro, tetap semangat ya berusaha untuk dunia yang tetap hijau.
BalasHapusGO GREEN! ahhh, aku belom pernah ke hutan nih :(
BalasHapusterimakasih gan sangat baik info nya
BalasHapussaya suka blog nya
saya sangat suka dengan info nya gan terimakasih
BalasHapusterus berkarya gan