Judul :
SUNYI, Sebuah perjalanan hidup
Jenis :
Novel
Pengarang :
Eni Martini dan Ifa Avianty
Penerbit :
Panser Pustaka, Jogjakarta (Cetakan pertama, Oktober 2013)
Halaman : 240
ISBN : 602-7798-73-4
Tak banyak novel yang menuangkan
isu rumah tangga yang sarat pro-kontra, lalu mengemasnya dalam cerita popular renyah. Satu dari yang tak banyak ini adalah Novel Sunyi,
karya duet Eni Martini dan Ifa Avianty yang cukup berhasil. Tema
poligami dalam Sunyi dekat dengan
realitas di masyarakat kita. Banyak terjadi, berikut dengan sub-tema penyerta
yang tak ada habis-habisnya. Dicerca banyak orang, tapi banyak juga dibela,
bahkan menjadi pelaku suami beristri dua atau lebih tersebut.
Novel sunyi menciptakan tiga
perempuan dengan masalah masing-masing yang pelik. Menciptakan kesunyian yang
dipendam dalam-dalam. Melati, pemilik daycare
bersuamikan Radit yang work-holic sebagai akademisi, sehingga
menciptakan depresi sang istri yang nyaris tak pernah diperhatikan. Malaya,
teman SMA Melati, pemilik coffee shop
yang sunyi karena jodoh yang tak kunjung tiba di usia 35 tahun. Lantas Soraya,
karyawan Melati yang bersuamikan Reza dan tak bisa hamil karena mandul. Itu
pula yang membuatnya bekerja sebagai pengasuh anak-anak. Di sisi lain, kerinduan
akan anak membuat Reza ingin menikahi Malaya, owner coffee shop tempat ia biasa ngopi. Sementara
Soraya, sejatinya tak sanggup berbagi suami, tapi ketegasan tak terlisankan
membuat Reza berkesimpulan Soraya bersedia dipoligami (hal. 148).
Awalnya Melati tak tahu, jika
pangeran yang melamar sahabatnya adalah
suami Soraya. Begitu rahasia itu terkuak, ia tak kuasa memihak pada siapa. Baik
Malaya atau Soraya adalah dua sahabat yang dicintainya. Soraya bersedih di
tengah kegembiraan Malaya. Wanita yang mencintai Reza sepenuh hati itu tak
jujur pada suaminya. Sementara rumah tangga
Melati dengan Radit di ujung prahara karena miskin komunikasi. Padahal di mata
Soraya dan Malaya, Radit-Melati yang dikarunia bayi Zea adalah gambaran
keluarga bahagia. Terbersit kekaguman (bercampur sedikit iri) di hati keduanya.
Di Bab 16 (hal. 178), Melati
tumbang, jatuh sakit karena memikirkan Radit yang sibuk sendiri. Di bagian
berikutnya terkuak, autis asperger-lah yang membuat ia demikian, salah satu
penyebab lelaki itu hanya tertarik pada diri sendiri (hal. 193). Kondisi Melati
yang drop juga diperparah curhat Soraya tentang nasibnya yang akan
segera mendapat madu. Sementara sebelumnya Malaya bingung, ketika tiba-tiba
Melati memberikan pesan via ponsel yang penuh tanya, “Dear Mala. Aku hanya ingin tanyam apakah boleh andainya kita meraih
bahagia dengan membuat seorang lain patah hati?” (hal. 176). Pada akhirnya kejernihan hati dan kejujuran
jua lah yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan wanita-wanita tersebut.
Eni Martini dan Ifa Avianty tak
mencoba membuat isu sensitif ini menjadi begitu kejam, membuat kita bertikai. Toh, soal wanita yang bersedia
dipoligami atau tidak, dikembalikan pada pilihan wanita itu sendiri. Bisa
menolak, bisa menerima. Para lelaki harus menghormati dan menerima sikap tiap
wanita. Meski jelas, Islam membolehkan. Kalau boleh ditangkap, bisa jadi lewat
novel ini, pembaca bisa menyimpulkan silakan berpoligami, tapi jika dengan
praktik tersebut pelakunya tak bahagia (yang juga wujud keikhlasan), jangan
lakukan!
Sebagai bacaan menghibur sekaligus membuat cara
pandang kita kaya terkait poligami, novel ini tepat sekali. Tak hanya terpusat
pada isu poligami, masalah tokoh Melati pun sarat inspirasi. Komunikasi,
perhatian, dan saling memahami pasangan dengan jujur haruslah selalu dipupuk.
Tak hanya cukup bertahan dalam diam tak bicara. Ujungnya, tentu saja, semua
indah pada waktunya. [Elzam]
suka sama resensinya, makasih yaa ^_^
BalasHapusSama-sama Mbak Eni... Makasih juga udah berkunjung
BalasHapus