(Dimuat di Lampung Post, Minggu/16 Februari 2014)
Versi koran, difotoin temen dari Lampung. |
Asih berjalan lesu
usai pulang sekolah. Bukan karena terik matahari, tapi ingat permintaan adiknya
tadi pagi. Sewaktu ia mau berangkat.
“Mak, Ipang juga mau sekolah.”
“Mak, Ipang juga mau sekolah.”
“Ehm... kamu pasti
sekolah, Pang. Kalo tidak tahun ini,
mudah-mudahan tahun depan,” ujar emak. Asih melihat emak menenangkan adiknya,
tapi murid kelas 4 SD itu tahu emak tidak yakin Ipang bisa sekolah. Entah
sampai kapan...
Ipang sudah 8 tahun
sekarang, telat setahun masuk sekolah. Emak cuma tukang cuci dan setrika. Hidup
mereka seadanya karena sang ayah telah lama meninggal. Rumah mengontrak, harga
kebutuhan yang tak terjangkau membuat mereka hidup pas-pasan.
“Ipang malu kalo tahun depan sekolah, badan Ipang kan
lebih gede dari anak lain,” jawabnya ngambek.
Emak tak
memedulikan keluhan Ipang. Beliau tetap membereskan cucian yang sudah bersih,
melipat, dan memasukkannya ke keranjang untuk disetrika. Setelah itu baru emak
mendekati Ipang, merangkul pundaknya.
“Tapi Ipang kan
pintar, sudah bisa membaca, perkalian, menghitung...”
Ipang memotong
omongan emak, “pintar tapi tak punya rapor, huh...”
Emak tertawa kecil
melihat Ipan kali ini manyun. “Ipang
sabar ya! Sekarang baru satu anak emak, mampu emak sekolahin. Kalau Ipang
sekolah, artinya Kak Asih berhenti. Ipang mau begitu?”
Ipang menggeleng
mendengarnya.
Asih yang mengintip
dari balik gorden pintu hanya bisa bersedih. Itulah yang membuat Asih berpikir
seharian tadi di sekolah. Bagaimana caranya Ipang bisa sekolah?
***
Hari ini sebelum ke
sekolah, emak meminta Asih memberikan cucian ke rumah Bu Ridwan.
“Ini cuciannya,
kamu jangan lupa ya, Nak. Jangan lupa ucapkan juga terimakasih nanti,” pesan
emak sambil menyerahkan kantong berisi pakaian yang sudah rapi.
“Iya, Mak. Nanti
Asih sampaikan,” ujar Asih.
Emak menerima
uluran tangan Asih yang menyalaminya, “sekarang berangkatlah, hati-hati!”
“Mak... bagaimanana
kalau Asih berhenti sekolah? Biar Ipang saja sekolah. Asih kan perempuan,”
jelas Asih tiba-tiba.
“Jangan Asih. Sayang kalau kamu berhenti.”
“Tapi Ipang...”
“Sudahlah, jangan
kamu pikirkan. Tugas utama kamu adalah belajar, yang lain biar emak yang
pikirkan, mengerti?” tanya emak lembut.
Asih pun mengangguk
pelan. Terbersit sedikit rasa kecewa di hatinya.
Di kelas Asih masih
memikirkan Ipang. Gadis kecil itu terus berpikir bagaimana mendapatkan uang
untuk sekolah Ipang. “Mengamen sepulang
sekolah?” otaknya berputar. Tentu saja emak akan bertanya jika ia pulang
terlambat.
“Hayooo... lagi
ngelamunin apa?” Tiba-tiba Fitri, teman sekelas menepuk pundaknya.
“Eh... tidak. Aku
lagi tak mikirin apa-apa kok,” Asih berusaha menutupi masalahnya.
“Jangan bohong deh, aku tahu kamu akhir-akhir ini
seperti ada masalah. Siapa tahu aku bisa membantu lho,” ujar Fitri. Rupanya dia tidak percaya begitu saja.
Asih terdiam cukup
lama. Bimbang antara bercerita atau tidak. Akhirnya ia putuskan bercerita. Tidak
ada salahnya mencoba. Siapa tahu Fitri memang bisa membantu. Asih pun
menceritakan soal Ipang yang ingin sekolah dan kendalanya. Fitri mendengar
dengan penuh perhatian.
“Oh jadi begitu...”
jelas Fitri begitu selesai mendengar cerita Asih.
“Iya. Jadi
bagaimana, kamu ada ide buat aku bekerja?”
“Hehehe...
sayangnya, nggak,” jawab Fitri sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Pura-pura.
Asih pun makin
tidak bersemangat.
“Jangan manyun, Non. Begini nih, aku baca di majalah ada yayasan yang programnya membiayai
sekolah anak tidak mampu. Orangtua asuh begitu. Bagaimana kalau kita datangi
yayasan itu sepulang sekolah nanti?”
“Beneran? Aku mau.” Wajah Asih
berbinar-binar bahagia. Dia meraih kedua tangan Fitri, “Terimakasih ya, mau
membantuku.”
“Sama-sama. Tenang
saja, Fitri...” jawab Fitri pura-pura seperti merasa hebat.
Sepulang sekolah
mereka naik bus kota ke tempat tersebut, Yayasan Orangtua Asuh Anak Bangsa. Di
sana mereka bertemu perempuan yang sudah cukup berumur, yang biasa dipanggil Oma Martha. Rupanya beliau sehari-hari
mengurus yayasan tersebut bersama beberapa relawan lain.
“Jadi setiap anak
mendapat biaya dari orangtua asuh masing-masing. Yayasan inilah yang menjadi
perantara,” sahut Oma Martha memberi penjelasan. Asih dan Fitri mengangguk
tanda mengerti.
“Oma akan
mengusahakan donatur untuk adikmu, Ipang. Tahun ini dia sudah harus kita
sekolahkan,” tambahnya lagi.
“Benar Oma?” Asih seperti
tidak percaya.
“Iya. Oma dan
teman-teman di yayasan akan berusaha, dan biasanya berhasil,” katanya penuh
semangat. Beliau mengambil selembar kertas. Lalu menanyakan beberapa hal
tentang Ipang dan keluarganya, kemudian menuliskannya. Setelah itu, beliau menyarankan Asih dan Fitri
untuk pulang. Oma Martha akan memberi kabar secepatnya.
***
Tiga hari kemudian
Asih terkejut begitu tiba di sekolah. Hampir semua teman sekelas
menghampirinya. Beberapa memberikan selamat. Tentu saja Asih bingung.
“Ada apa sebenarnya?”
tanya Asih pada Rafael, sang ketua kelas.
“Lho, memangnya
kamu belum diberitahu ibu koperasi?”
Asih bengong. “Soal apa?”
“Kamu dipilih jadi
pengurus kantin koperasi sekolah. Kata ibu koperasi, sebagian keuntungan akan
diberikan untukmu, sebagai upah karena menjaganya setiap istirahat. Lumayan
untuk bantu biaya sekolah,” jelas Rafael.
“Kok bisa?”
“Kami yang
mengusulkan, atas ide dari Fitri, hehehe...” ujar Rafael sambil tertawa.
Asih terharu sekali
atas kebaikan teman-temannya. “Terimakasih ya, sudah banyak membantuku,”
ujarnya pada teman-teman yang menggelilinginya. Dalam hati ia berkata, “uh, Fitri nyebelin. Kenapa tidak
bilang-bilang, sampai aku seperti mau pingsan
kegirangan begini.” Asih
benar-benar gembira.
Saat pulang ke rumah kejutan kedua membuat Asih
tak kalah gembira. Emak mendapat surat dari Yayasan Orangtua Asuh Anak Bangsa.
Isinya menjelaskan Ipang mendapatkan orangtua asuh yang bersedia membiayai
sekolahnya.
“Sih, kita harus bersyukur pada Tuhan. Ipang
dapat orangtua asuh. Masih banyak orang baik yang membagikan rezekinya untuk
orang seperti kita. Kalian berdua akhirnya sama-sama sekolah, Nak,” ujar emak.
Asih mengangguk sambil memeluk emak. Dia sudah
tidak sabar membayangkan perasaan Ipang mendengar berita gembira itu.
Sayangnya, Ipang sedang bermain bersama temannya.
“Coba kamu cari adikmu. Biar dia cepat
mengetahui kabar yang diimpikannya selama ini,” pinta emak.
Asih pun berlari riang ke luar rumah. “Ipang pulaang!
Ada berita gembira, kamu bisa sekolah...” Asih berteriak penuh semangat. [Elzam]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D
Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)