Kami pun
melakukan verifikasi peserta pendakian di pintu masuk. Pintu Cibodas salah satu
akses menuju puncak Gunung Gede. Selain pintu Gunung Putri di Cianjur dan
Selabintana di Sukabumi.
Perjalanan penuh
tanjakan dimulai ketika sudah melewati resort TNGGP (Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango). Awalnya semua anggota ekspedisi masih bersemangat.
Apalagi begitu menemukan Telaga Biru. Telaga kecil hari itu menjelang siang
berwarna hijau. Konon, sesekali airnya akan menjadi biru. Semua menyempatkan
mengambil foto dengan kamera digital.
Setelah itu kami
melanjutkan perjalanan. Tim terpisah menjadi dua kelompok kecil. Di depan ada
aku, Meida, Bram, dan Hero. Sementara Fahri yang punya pengalaman mendaki
menemani Tungku dan Rifda di belakang kami. Kemungkinan tersesat kecil sekali
karena track relatif bagus, bersih, meski kadang pohon besar melintang
di tengah jalan.
Aku jadi
bersemangat sekali karena ada Meida. Ini saat yang tepat untuk mengungkapkan
isi hatiku. Ia pun tampak menikmati perjalanan. Fisiknya tidak bisa dianggap
enteng. Membuatku salut.
“Gue perkirakan
menjelang magrib kita akan sampai di Kandang Badak. Tidak mungkin meneruskan
perjalanan ke Gede,” jelasku pada Meida. Ia berada di depanku, mencari celah-celah
batu yang pas menjadi pijakan.
“Kenapa? Gue sering
dengar pendakian malam hal yang biasa.”
Aku menjelaskan
pertimbanganku. Kondisi kami sudah cukup lelah. Sementara beban berat di carier
masing-masing harus tetap dibawa. Dengan suhu di bawah 00 C semua
pasti kedinginan, susah untuk mendirikan tenda di puncak gede. Dalam keadaan
lapar dan lelah pula. Itu pun kalau sampai.
“Di Kandang
Badak kita bisa mendirikan tenda. Masak, istirahat dan tidur. Pukul tiga
menjelang subuh kita lanjutkan perjalanan tanpa membawa beban. Kita bisa
menitipkan tenda dan barang-barang pada pendaki lain. Mudah-mudahan sempat
melihat sunrise.”
“Wah, aku setuju
saja. Nanti bicarakan dengan teman-teman.” Meida mengerti penjelasanku.
Perjalanan terus
berlanjut. Kami baru bertemu kembali dengan kelompok Fahri di kawasan Air
Panas. Di sisi kiri air panas jatuh membentuk air terjun melewati batu cadas
yang beruap. Kepulan asap seperti air yang baru saja mendidih. Di sisi kanan
jurang terjal membangun kengerian. Di antara kedua sisi itulah pendaki melewati
track. Aku sempat ingin membantu Meida, tapi urung. Berpegangan pada
tali yang disediakan pengelola TNGGP, dia sukses melewatinya.
Begitu tiba di
Kandang Badak, jam menunjukkan pukul lima sore. Semua sepakat dengan usulku. Kami
mendirikan tenda di areal hutan mendatar yang luas. Beberapa tenda pendaki lain
terlihat rapi, yang lain sedang sibuk mendirikan tenda. Aku menyalakan nasting
sementara yang lain mendirikan tenda. Meida ikut membantuku. Menu apa adanya, internet
alias indomie, telur, dan kornet tetap menjadi andalan. Kuberikan segelas susu
hangat untuk Meida.
Dia menerimanya,
“Makasih, Din.” Setelah tenda selesai, semua bergabung. Menikmati makan malam
di tengah hutan dalam cuaca yang gelap ini. Hanya headlamp dan senter
yang menjadi penerang.
“Sebaiknya kita
istirahat. Tidurlah senyaman mungkin. Pukul tiga semua sudah sudah harus siap,
karena target kita mencapai Puncak Gede sebelum sunrise,” kataku memberi
intruksi. Teman-teman mengangguk. Semua masuk ke tenda. Aku dan Bram masih di
luar ketika kulihat Meida menapakkan tangannya ke tanah. Meniupnya sebentar,
lalu mengusapkannya ke muka. Kutanya Bram “Kenapa dia?”
“Tayyamum,
sholat. Sana lo nyusul sholat biar perjalanan kita berkah.” Bram menggoda.
Aku melongo.
Oh...!
***
Derap langkah
pelan tapi mantap menyusuri jalan setapak menanjak. Tanjakan setan! Medan yang
paling berbahaya telah sukses kami lewati. Kemiringannya nyaris mencapai 20
derajat. Namun dengan bantuan tambang, semua bisa melewatinya. Malam masih
gelap. Kulihat Meida masih bersemangat, meski terlihat sedikit lelah.
Dan tibalah
waktu itu. Tujuan pendakian Ekspedisi Tujuh.
Dan tibalah
waktuku jua. Mudah-mudahan. Tempat aku mengungkapkan cinta...
Rifda, cewek
kedua selain Meida berteriak, “Wow, ini benar-benar keren. Menakjubkan...”
Teman yang lain
berteriak tak kalah girangnya. Kulihat Tungku sujud. Mungkin itu yang disebut
sujud syukur, hahaha... Puncak Gunung Gede telah kami taklukkan. Di sebelah
kiri terlihat Gunung Pangrango menyaingi kemegahan gunung tempat kami berdiri
sekarang. Kawah berasap pekat mengepul membumbung ke atas. Kokoh sekaligus
magis. Gede dan Pangrango selalu berdampingan, terpisahkan hutan belukar.
Langit merona
mega menyemburatkan keindahan. Lukisan alam maha daya yang benar-benar membumi.
Matahari bersinar lembut, kuning emas dengan semburat merah mengintip di garis
horison. Perlahan nanti akan membesar, menjadi bola pijar raksasa. Sunrise
selalu terjadi pada matahari yang sama. Setiap hari. Tapi kekaguman terus
membatin setiap kali menikmatinya.
Aku memutar
pandangan. Di mana gadis itu? Mataku kemudian menangkap sosoknya. Duduk di batu
besar menatap dinding-dinding terjal puncak Gede yang menganga lebar. Seakan-akan
akan menelan bayangan menyendiri itu.
“Boleh aku duduk
di sini?” Meida membuka sedikit tangannya, isyarat mempersilakan.
“Bagaimana,
indah?”
“Sangat. Ini
membuat kita semakin dekat...”
Aku terhenyak.
Semakin dekat...? Apa maksudnya?
“Pada Tuhan...”
ujarnya meneruskan.
Oh... Aku
menelan ludah.
Aku mencoba
mengangkat kata, “Gue pikir juga bisa mendekatkan kita sebagai sepasang
kekasih.” Aku mengucapkan kata itu tanpa tedeng aling-aling.
Meida menoleh
padaku. Aku memandangnya penuh keseriusan.
“Hahaha... Dasar
lo playboy.” Dia meninju bahuku pelan. “Baru saja gue bilang cinta Tuhan
lo langsung ngungkap ke gue. Lo cinta gue, benar-benar mengharap cinta gue?”
Meida berdiri. Pun
aku.
“Iya. Aku jatuh
cinta sejak pertama kali melihatmu. Cintaku Se-Gede Pangrango ini yang menjadi
saksinya.”
“Dino, Dinoo...
! Lo boleh mencintai gue. Tapi gue minta beberapa hal sebelum itu.”
“Apa?”
“Lo cintai dulu
Tuhan. Gue nggak pernah liat lo sholat sepanjang pendakian. Lo cintai dulu
orangtua lo. Gue sedikit banyak tau sikap lo ke orangtua lo dari Tika. Adik lo
itu sahabat gue. Lo bisa mempraktikkan cinta untuk dua hal itu, baru gue yakin
lo cinta gue.”
Aku diam
mematung. Tiba-tiba dingin puncak gede tak bisa membendung keringatku.
“Tuhan? Orangtua?”
“Iya. Tuhan di
atas sana dan orang tuamu. Sanggup?” Meida berlalu meninggalkanku yang masih
berdiri bengong.
Aku merutuk diri
sendiri. Aduuh...! Ini pasti gara-gara si Tika si comel, kenapa aku
tidak tahu Meida adalah sahabatnya.
Kepalaku
berdenyut-denyut. Cinta Tuhan. Cinta orang tua. Cinta Meida...
Sekarang aku
benar-benar mencintai Meida. Benar-benar cinta! Tapi bagaimana mengungkapkan
cinta yang ia pinta, sebagai syarat sebelum mencintainya tadi.
Aku ingin turun
gunung. Cepat-cepat aku mencari sahabatku yang alimnya tak luntur-luntur.
Tungku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D
Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)