Maria
Sevim menggeliat dari tempat tidurnya. Pagi yang selalu nampak ritmis di kota
itu coba ia abaikan. Di mana rumah-rumah tua sepanjang Selat Bosphorus mulai
berasap memanggang roti. Tampak seperti peradaban Turki masih di masa lalu,
mundur ratusan abad silam. Angin laut
menelisik ke lorong-lorong kota yang lengang, pada rumah-rumah berwarna kelabu,
tapi sejatinya ramai di dalam. Menerobos dapur, bau laut bercampur dengan
adonan roti yang wangi.
Tangan
Maria menarik tirai coklat lembut yang menutup jendela kamar. Didapatinya wajah
pualam pucat dengan kantung mata tebal pada pantulan kaca. Ia tersenyum miris. Begitu
pentingnya pertemuan dengan lelaki itu sampai dirinya nyaris tak bisa tidur tadi
malam.
Semua
tentang Turki di sebelah Eropa seperti menarik-narik dirinya. Saat menapak di
Pelabuhan Rumelli sisi timur Istambul. Maria merasa dibesarkan di sana, dalam suasana
hangat yang membebaskan seperti halnya Eropa. Namun nostalgia Timur tak jua
pula ingin surut. Di sebelah timur, ia telah terjebak pada cinta yang telah menggembirakan
hatinya.
“Melebihi dari Boğaziçi Köprüsü menuju Asia milik Istambul,
Jakarta begitu jauh, Pram…” batin Maria. Dibayangkannya melewati Jembatan Bosphorus tak butuh
banyak kerumitan menjadi Asia. Berbeda dengan Indonesia yang menjejakkan kakinya
di sana saja ia belum pernah.
“Sayang,
kau sudah bangun rupanya? Turunlah ke bawah untuk sarapan,” kepala ibunya
menyembul di pintu dengan senyum hangat.
Dipandangnya
sekilas perempuan separuh abad itu. Benar. Ia tidak boleh bermalas-malasan. Ada
rencana bermula dari janji tujuh bulan lalu yang harus dipenuhi. Ya, Hagia
Sophia akan melukis semuanya hari ini. Mengguratkan pengharapan dan kepercayaan
yang sempat ia titipkan pada Pram. Maria menyibak selimut. Bangkit sambil mengikat
rambut merah bergelung miliknya. Kecantikan terbagi rata dari ibunya yang juga
berambut merah dengan mata coklat keabuan.
***
Pram
membenarkan letak bantalnya, mencari posisi yang nyaman. Akan ada luka yang tergores.
Meski sedetik pun tak terbersit menggoreskannya di hati Maria. Sungguh di luar
dugaan. Dua hari sebelum keberangkatannya ke Turki ia harus terbaring di tempat
tidur. Ditatapnya tiket Istambul-Jakarta yang terselip di paspor.
“Aku harus berangkat, demi
menunaikan janji pada Maria. Tak boleh ada muram di Hagia Sophia lusa,” tekadnya
sontak berusaha bangun. Membuka lemari dengan payah dan memasukkan acak beberapa
potong pakaian ke dalam travel bag. Seminggu yang lalu Pram telah
memastikan akan datang ke Istambul karena bertepatan dengan liburan semester di
kampus tempatnya mengajar. Namun nyeri di ulu hatinya tak bisa berbohong. Ah,
kenapa harus sekarang saat-saat genting dokter memvonis gangguan liver di
tubuhnya?
Nyeri semakin menusuk, membuat Pram
memejamkan matanya. Sejenak menghentikan usahanya mengemasi barang. Beberapa
potong jatuh ke lantai seiring tubuhnya lunglai. Tak ada yang tahu sampai
ibunya masuk untuk memberikan obat. Tentu saja dengan kepanikan luar biasa
melihat apa yang dilakukan Pram.
“Pram, Pram! Kamu mau ke mana packing saat sakit begini?
“Istambul, Hagia Sophia, Maria…” Pram seperti ingin menangisi kondisi. Hanya
itu yang mampu terucap setengah sadar.
Selembar tiket dipungut ibu Pram
dari lantai, tak jauh dari Pram yang lemas. Beliau bingung apa sebenarnya yang
ada di Istambul, di Hagia Sophia, dan siapa Maria?
“Sudahlah. Ibu akan bawa kamu kontrol
ke dokter dulu. Biar Saras ikut menemani,” ujarnya cepat.
***
“Maria, Maria…! Bagaimana mungkin kau mengosongkan
hati untuk Hakan dan meminjamkannya untuk lelaki entah itu. Bahkan pada kali
pertama bertemu. Lalu ia hilang begitu saja, membawa semangat dan cintamu ke
negerinya tanpa pernah kembali ke sini.” Terngiang-ngiang kembali Maria Sevim kesangsian
ibunya. Dipertegas perempuan yang telah melahirkannya tersebut, Hakan lebih jelas
dari sekadar Pram. Lelaki Turki tampan, pemilik usaha hamam Turkish, spa
kuno ala Turki yang turun-temurun kesohor di kalangan wisatawan dunia.
“Dan yang terpenting, kau mengetahui keluarga Hakan
seperti kau mengetahui keluargamu sendiri. Onlar hepsi buradalar…1.)”
tukas ibunya.
Beliau menambahkan, “Ketika memilih seorang lelaki,
berarti kau akan masuk menjadi bagian dari keluarganya. Itu yang tidak kau
dapatkan dari lelaki Indonesia-mu itu.” Maria mendengar kata-kata sang ibu begitu
tajam, di balik pembawaan tenang yang dimilikinya.
Perjumpaannya dengan Pram memang tak lama. Saat
Pram membawa rombongan mahasiswa untuk misi kebudayaan di Sabanci University,
Istambul. Tak lebih dari seminggu, lelaki itu telah memesona dirinya.
Pengetahuan Pram yang luas tentang negeri seribu mesjid membuat obrolan dari
sekadar sapa menjadi perbincangan menarik.
“Arus sekularisme tak mampu membendung demokrasi
yang berdengung di era ini. Dampaknya luar biasa, perempuan-perempuan
berkerudung semakin lumrah di sini,” ujar Pram kagum, saat obrolan kecil tercipta
ketika keduanya ikut tur Bosphorus Cruise. Hari terakhir Pram di Istambul.
Satu setengah jam mereka habiskan untuk memanjakan pandangan melihat keindahan
bangunan tua sepanjang Bosphorus dari kapal dengan harga tiket tujuh lira. Jauh
di sana, Galasa Tower menjulang dihimpit rumah-rumah penduduk yang rapat tapi
tak memberi kesan kumuh.
“Tak seorang pun bisa mengekang praktik keberagaman
tiap orang, termasuk soal keyakinan. Tidak juga Kemal Attaturk yang kau lihat
Dolmabache place, tempat wafatnya itu,” ujar Maria menunjuk istana yang konon
bangunan terbesar di Turki. Keindahannya dari kapal ini tidak terlepas dari
arsitektur Eropa yang tetap berpadu dengan karakter bangunan muslim.
Maria meletakkan kedua tangan di belakang pinggang
rampingnya, menuntaskan kata, “Hijab sudah bukan dominasi perempuan tua di
sini. Cukup muda menemukan perempuan berhijab di Izmir atau Istambul. Dua kota
yang disulap Attaturk liberal pasca Ottoman runtuh.” Menurutnya di Distrik Anatolia,
bahkan setengah dari perempuannya berpenutup kepala. Sesuatu yang ia sebut
romantisme Ottoman bangkit kembali, di mana syiar Islam sempat berjaya.
“Dan
negeri kami sempat menerima kemurahan hati sultan kalian itu lewat medali emas
bersegi tujuh untuk Sultan Thaha. Sudah lama sekali, 1928 lampau, ketika
Indonesia masih berupa ragam kerajaan kecil.”
Maria
tertawa membenarkan. Pram membuatnya seperti bertemu teman lama. Berbeda dengan
Hakan yang temperamental dan kerap merasa superior
di depan perempuan, ia merasakan lain pada Pram. Padahal Turki sudah begitu
sekulernya memberangus tradisi yang dianggap patriarkhi dan kolot hingga ke
sudut-sudut sosial dan birokrasi. Ada udara kesetaraan yang bisa dihirup dari
Pram, tapi sekaligus ia tetap merasa dijaga sebagai perempuan terhormat.
“Sayang
sekali Maria, aku harus pulang ke Indonesia besok. Tanpa sempat menengok Hagia
Sophia. Keindahan lain negeri ini.”
“Oradaki
koprusu goruyor musun?2.)”
“Bunu hos buluyorum. 3.)”
“Ya,
Jembatan Bosphorus sangat cantik. Tak hanya menghubungkan dua daratan Istambul,
banyak orang mengatakan Jembatan Bosphorus akan memanggilmu kembali setelah
melihatnya. Datanglah kapan kau mau, Pram. Istambul akan menerimu kapan saja.
Seperti ia membuka diri untuk dua perabadan besar dunia. Kau bisa datang dengan
kekasihmu, mungkin. Kunjungilah Hagia Sophia.” Mata Maria melirik Pram dengan
jenaka, meski tak mampu menghilangkan kesan rikuh yang terpancar.
“Tidak,
Maria. Ehm, maksudku,” bibir Pram mendadak kelu. Harus dikatakannya. Sebelum
semua terlambat. “Ada cukup alasan yang mutlak untukku datang lagi ke sini.
Maukah kau menungguku di Hagia Sophia, Maria?”
Maria
terperangah. Ia tertegun, begitu cepatkah seorang Asia ini mengutarakan
perasaan. “Tentu kau tidak serius, Pram?” Ia kembali tertawa kecil. Ia teringat
Hakan yang mati-matian mendekatinya hampir dua tahun, lalu baru berani
mengatakan perasaannya. Tapi Pram?
“Aku
tidak main-main. Aku harus mengutarakannya sampai kau mengatakan ya atau tidak.
Terlihat terlalu cepat?”
“Hmm,
kapan aku harus menunggu di Hagia Sophia?”
Pram
mengeluarkan dompetnya. Memberikan selembar kartu nama. “Adresim burda! Dengan ini, jarak Istambul dan Jakarta cukup dekat
untuk kita membicarakannya lebih lanjut bukan?
“Okay, lebih dari cukup, kecuali kartu
nama ini palsu,” ujar Maria diselingi senyum khas. Tangan berjari-jari panjang
itu sekilas membaca alamat, nomor ponsel dan email yang tertera.
Lalu
mulailah mereka menjalani hubungan jarak jauh. Di saat yang sama ia telah
mengakhiri hubungannya dengan Hakan. Tepatnya mempertegas supaya lelaki Turki
itu rela melupakannya, karena selama ini dirinya tak pernah menyambut cinta
Hakan. Meskipun lelaki itu sabar merebut hatinya dengan berbagai cara.
“Baiklah
jika lelaki Asia itu telah kau pilih. Tapi bila kau tak yakin dengannya, maka
palingkanlah pengharapanmu padaku, Maria. Please,”
ujar Hakan.
Tapi
tentang hati siapa yang peduli? Biarlah takdir yang akan membawa ke mana pada
akhirnya hatinya benar-benar berlabuh. Maria yakin, hati tak pernah salah.
Hanya nafsulah yang kadang mempecundanginya, membuat seseorang lupa. Ia
berharap Pram tidak demikian.
“Terimakasih
atas perhatianmu yang begitu besar,
Hakan. Jujur, aku belum pernah seyakin ini sebelumnya.” Dan Hakan sejak itu
mundur, memudarkan dirinya dalam penglihatan Maria.
***
Hagia Sophia ramai dengan lalu lalang
pelancong. Empat menara lancipnya menusuk langit. Biru langit nan bersih di atas
museum bergaya Bizantium mencoba mendamaikan hatinya.
Sudah dua jam lewat dari waktu yang
ditentukan. Maria mulai sangsi, walaupun sedapat mungkin tak memercayai Pram
lupa jika ada seorang gadis menunggunya di Hagia Sophia. Jika memang benar Pram
ingkar janji, maka ia hanyalah gadis bodoh yang begitu mudah terperdaya. Ibunya
bahkan akan marah besar mengetahui anak gadisnya bertindak memalukan dengan
berharap pada lelaki yang disebutnya berulangkali lelaki entah. Lelaki entah
yang tak jelas asal usul, keluarga, dan komitmennya.
Maria berinisiatif masuk ke dalam
bangunan museum dengan atap berupa kubah bertumpuk-tumpuk. Kemegahannya
mencerminkan kesempurnaan peradaban. Kekokohannya membuktikan mahakarya indah.
Sebanding dengan sederet peristiwa yang pernah dilalui sesuai rezim penguasa. Hagia
Sophia pernah berganti dari gereja menjadi mesjid, hingga terakhir ditetapkan
sebagai museum. Maria sudah sangat hapal sejarah itu.
“Mengapa kau lupa Pram? Aku menunggu
di Hagia Sophia. Bahkan email-ku tak
berbalas, ponselmu tak aktif, justru di saat pertemuan hari ini semakin dekat. Aku
tahu, kau ingin memberi kejutan bukan?” dicobanya berprasangka baik. Maria tertegun
di depan koleksi surat-surat Khilafah Ottoman yang memberi suaka untuk orang
asing yang datang ke Istambul tempo dulu.
Seandainya ada sebentuk surat atau
apalah yang mengabarkan perihal dirimu di sana…
Tapi
waktu kian senja. Didera kecewa berbalut resah, Maria melangkahkan kakinya ke
luar. Itu pun setelah diingatkan seorang guide
yang melihatnya nyaris tak bergerak di depan koleksi surat-surat yang menghiasi
koleksi museum.
Akan
ada esok, sampai semua jelas, hibur Maria melangkah. Dingin Istambul di malam
hari mulai menyusup. Membawa sepotong luka dalam pengharapan yang kalah.
“Lupakanlah
lelaki Asia itu dan pertimbangkan Hakan!” Mungkin itu komentar ibunya jika nanti
ia terpaksa bercerita. Tidak. Ia tidak mencintai Hakan.
***
Dua
perempuan terengah-engah memergoki wajah Maria. Tepat saat ia hendak membuka
pintu taksi. Maria ingin melajukan kesedihannya menjauh dari Hagia Sophia.
“Anda?
Maaf, apa benar Anda Maria?” ujar satu wajah hampir setua ibunya menatap Maria.
Bertanya dalam bahasa Inggris terbata-bata. Menebak dengan buncah yang tak terperi
di raut muka coklatnya.
“Benar,
saya Maria. Mencari saya?” ujarnya bingung balas menatap. Memerhatikan juga
gadis belia di samping ibu yang bertanya tadi.
“Maria
Sevim?” tukasnya meminta kepastian.
“Bemin adim Maria Sevim 4.)”
“Oh,
Tuhan. Kami harusnya sampai sedari tadi, tapi kami berputar-putar tersesat
hanya untuk mencari Hagia Sophia ini,” dirinya menghamburkan pelukan ke Maria
yang kebingungan. Tanpa basa-basi lanjutan.
“Kau
gadis cantik! Bacalah surat ini, Maria. Oerkek
bir mektup yazdi.5.)” Kali ini perempuan yang datang tiba-tiba
itu berbicara dalam bahasa Turki yang kaku, yang tampak sekali dihapalnya
mati-matian. Serta merta ia memberi surat yang diambil tak sabar dari tasnya. Sebuah
foto jatuh ke jalanan Istambul. Foto Maria.
“Saya
ibu Pram dan ini adiknya Saras. Tidak cukupkah dua perempuan ini menemuimu yang menunggu di Hagia Sophia, Maria?”
“Sorry, my brother isn’t well right now so he
can't come to meet you. Kami menggantikkannya sesuai permintaan Mas Pram.” Saras
yang sedari diam menukas.
Maria
tersadar, dia baru saja melihat Pram versi perempuan dalam wujud gadis belia di
depannya. Berperawakan sedang, tubuh coklat bersih, dan mata yang legam dengan
rambut lurus.
Maria
Sevim tergugu. Air matanya luruh. Hatinya tak pernah salah. Ia menunggu Pram di
Hagia Sophia, laki-laki itu tak datang. Tapi Pram mengirim dua orang tercintanya
demi sebuah janji. Dua orang perempuan yang dicintai Pram, sama seperti yang
diungkapkan pada dirinya.
“Memnun oldum,6.)” ujarnya mencium
tangan ibu Pram takzim. Lalu dengan haru memeluk Saras. Tak perlu banyak
alasan untuk membuktikan cinta. Maria yakin, ibunya akan percaya setelah tahu
apa yang terjadi.
Ditemani
pandangan lembut ibu Pram dan Saras, Maria
perlahan membuka surat bersampul biru itu. Setelah sebelumnya mengusap mata
yang basah.[]
Catatan:
1.)
Mereka semua ada di sini.
2.)
Apakah kamu melihat jembatan di sana!)
3.)
Saya rasa itu cantik.
4.)
Nama saya Maria Sevim.
5.)
Dia menulis surat ini.
6.)
Senang bertemu Anda.
Semoga hagia sophia tetap selalu eksis.
BalasHapusArtikel nya bagus (y)