Dimuat di Majalah Hai edisi 29 November - 4 Oktober 2012
“Dengarkan dulu, mama belum selesai bicara. Kamu ternyata nggak hanya suka bohongin mama, tapi juga cewek-cewek!” ujar mama keras.
“Apalagi
sih, Ma? Dino harus berangkat. Nggak penting banget,” tukasku kesal. Bukan ini
kali saja mama menginterogasi. Bertanya ini itu. Aku menyambar tas dan kunci
motor. Meninggalkan mama di meja makan. Gemas melihatku.
Ini
pasti gara-gara Tika. Adikku yang sekampus itu comel sekali menceritakan
apapun. Aku Dino, kakaknya selalu menjadi laporan ke mama. Bulan lalu aku habis
dimarah mama karena ketahuan minta uang keperluan kuliah fiktif. Aku ingin backpacking
ke Jogja bareng teman-teman, tapi tidak punya uang. Dengan alasan ada praktikum
kultur jaringan tambahan, aku sukses mengelabui mama. Tapi kecolongan Tika.
Runyam jadinya. Dia mencari-cariku di laboratorium, tepat saat aku have fun di kota
gudeg. Terbongkarlah kebohonganku. Sialan....
Tadi
mama menasehatiku untuk tidak suka gonta-ganti pacaran. Whuohoo... hari gini
ortu masih ngelarang anaknya pilih-pilih pacar! Memang aku gonti-ganti
pacar, tapi itu murni karena tidak ada kecocokan. Fitri misalnya, memang cantik
sih, tapi cowok mana yang tahan kalau setiap ketemu, ngobrol sambil
ngupil. Ya sudah, aku putusin.
Begitu
juga Vania, aku baru pacaran sebulan ketika mengetahui dia ternyata lemot kalau
diajak bicara banyak, lola alias loading lama. Lalu ada Gita yang aku
putusin karena tidak mau sering-sering ngedate. Mentang-mentang kuliah di kedokteran yang super
sibuk dengan berbagai tugas dan praktik. Kupikir-pikir buat apa punya pacar
untuk status doang, nggak bisa diajak ke mana-mana. Terpaksa hubunganku
dengan Gita hanya bertahan tiga minggu.
Terakhir
dengan Nisa. Sebenarnya tidak ada masalah yang membuatku tidak berkenan dengan
cewek berjilbab itu. Aku waktu itu cuma mau tahu sesuatu.
“Nis,
gue mau lihat dong rambut lo...” ujarku pura-pura malu tapi antusias.
“What’s?
Emang lo siapa? Gue nggak mau,” jawab Nisa tegas.
“Lho,
aku kan pacarmu. Ayooo, dong. Soalnya gue nggak suka rambut keriting.”
Plaaakk...!
Tamparan
Nisa mendarat tanpa kuduga. Tanpa memberi kesempatan buat aku mengelak. Meninggalkan
tato keriting nan merah di pipiku.
“Gue
bilangin, gue nggak bakal buka jilbab sembarang setelah menutupnya. Lo mau tau
rambut gue? Rambut gue emang keriting. Nah sekarang jelas kan? kita putus.”
Aku
ternganga. Oh my God... Kelihatannya sepele. Tapi penting menurutku,
jadi sah-sah aja akhirnya hubungan cinta ini tak bertahan lama. Gara-gara
hal-hal tadi mau bilang aku salah? Playboy? Nggak kan.
***
Kuliah
hari bikin lelah bin capek. Tiga mata kuliah sejak jam delapan tadi, disusul
dua mata kuliah lagi sampai jam empat sore. Bah, kuliah apa kuli ah...
Bahkan lagu-lagu Muse dari headshet Blackberry ini tak membuat gairahku
mencuat. Aku malas pulang. Takut mama masih punya stok omelan.
Kulajukan
motor ke arah belakang kampus. Tempat kost-an mahasiswa berjejer diselingi
warteg, warnet, rental playstation, laundry, dan warung makan. Lebih
baik istirahat di kost Tungku, anak Aceh teman kuliahku yang sampai saat
ini belum pernah ngulang matakuliah, hehehe... Berbanding terbalik dengan aku.
Namanya aslinya Teungku Raihan, tapi kupelesetkan jadi Tungku.
Dia
baru saja sholat ketika aku mendorong pintu kamarnya. “Gue capek, numpang tidur
coy,” ujarku nyungsep di kasur busa.
“Tampang
lo kusut kayak gitu. Salat sono, baru tidur!” Tungku melayangkan sajadah yang
baru digunakannya ke mukaku.
“Nanti
ah, gue ngantuk banget,” jawabku sembari menerbangkan kembali sajadah itu ke
sudut kamar. Nih mahasiswa sejak jaman semester satu dulu alimnya nggak
luntur-luntur ketelan Jakarta. Untungnya dia tetap nyaman berteman
denganku. Padahal tidak jarang, Tungku mendapat komplain cewek-cewekku. Apalagi
kalau bukan soal penyebab putus yang dibilang egois.
“Nanti
nunggu magrib? Tampang lo boleh ganteng, dapat dispensasi ditaksir banyak
cewek. Tapi bukan berarti lo juga dapet dispensasi boleh nggak salat dari
Tuhan.”
Busyeet...
sepertinya hari ini aku diserang dari segala penjuru. Aku membenamkan kepala ke
kasur, menutupnya dengan bantal.
Ketika
bangun, tepat seperti yang dikatakan Tungku. Sudah magrib! Cowok itu sedang
khusyu’ mengaji. Aku malas-malasan ke kamar mandi mengambil wudhu. Mencoba sholat
setelah mata Tungku mendelik ke arahku.
Aku
memerhatikan Tungku sampai dia selesai. Alunan suaranya enak didengar,
mengudara di kamar dengan bening. Salut buat temanku yang satu ini.
“Ngaji
lo bagus banget, Tung...” Kataku begitu dia usai menunaikan bait-bait suci
tersebut.
Dia
tertawa kecil. “Biasa aja.” Padahal bagiku Tungku ini luar biasa. Pintar, alim,
dan ganteng juga. Beda banget denganku. Kesamaan kami hanya satu, sama-sama
ganteng, hehehe...
“Btw,
gue mau naik ke Gede Pangrango nih, minggu depan dengan teman-teman. Lo jadi guide
ya?”
What’s!?
Aku kaget dengan permintaannya. Mendaki gunung memang salah satu hobiku selain
pacaran. Tawaran yang asyik buat nge-guide Tungku dan teman-temannya.
Terakhir aku naik ke Gunung Cikuray enam bulan lalu. Gunung Gede juga pernah
kutaklukkan.
“Jangan
khawatir beberapa punya pengalaman mendaki, cuma bukan Gunung Gede. Lo kan udah
pernah ke Gede.”
“Oke,
bisa aja. Ada yang cakep nggak ceweknya?”
Tungku
meninju pelan lenganku sambil tertawa, “Dasar, playboy lo! Banyak yang
cakep, tapi kayaknya nggak bakal bertekuk lutut ama lo.”
Aku
menjawab tangkas. “Ah, ntar lo kaget lho, hehehe...”
***
Aku
berjalan tergesa-gesa membawa makalah yang baru saja dijilid di fotokopi
seberang kampus. Gawat. Hari ini ada mid semester mata kuliah
Pak Handiman. Gara-gara menyelesaikan makalah tugas beliau juga, aku jadi
kesiangan. Bener-bener Pak Handiman, tugas dan ujian pun dibuat
berbarengan. Bikin mahasiswa kelabakan.
Baru
saja aku mau menstarter motor, ada yang berteriak, “Hei, hei... Mas,
ongkosnya mana?” Aku kaget. Kelupaan membayar fotokopi dan ongkos jilid.
Terpaksa aku berbalik. Kurogoh kantongku, tidak ada uang sepeser pun. Aku
beralih membuka tas. Sama saja. Nihil! Busyet banget, aku lupa membawa
uang sama sekali karena buru-buru dari rumah tadi.
Aku
meringis, mas penjaga fotokopi keheranan. “Kenapa?”
“Uang
saya ketinggalan, Mas, tadi buru-buru,” jawabku memelas.
“Ya,
gimana dong?” ujarnya.
“Besok
atau siang ini habis kuliah ya, Mas?” tawarku.
“Beneran?
Mahasiswa banyak yang begini nih akal bulusnya,” penjaga fotokopi itu sewot.
Aku malu setengah mati. Gile ajee... Dia pikir aku pura-pura kelupaan
bawa uang.
“Memang
berapa semuanya, Bang?” Kudengar suara seorang cewek.
“Sepuluh
rebu...”
“Ini,
saya yang bayarin.” Kuperhatikan cewek yang memakai t-shirt biru dengan jeans
hitam itu mengeluarkan dompetnya. Mulutku hanya bisa melongo. Tengsin! Takjub juga ada makhluk bernama manusia
ngebaikin aku yang tak dikenalnya.
“Mbak,
nggak usah. Saya, saya bisa...”
“Udah.
Udah kubayar. Nggak apa-apa kok,” ujarnya santai.
“Maaf,
saya duluan ya...” Dan dia pun pergi.
Aku
sampai lupa, pelan kuucapkan, “terimakasih...” Abang fotokopi tersenyum tipis
padaku sambil mengangkat kedua bahunya.
Buru-buru
aku menghampiri motor. Benar saja aku terlambat hampir limabelas menit. Jawaban
ujian tidak satu pun yang kukuasai dengan baik. Pikiranku terpengaruh cewek
berambut sebahu nan manis yang membantuku tadi. Seandainya bisa kenalan.
Tiba-tiba muncul ide cemerlangku. Kenapa nggak keliling kampus aja dengan
motorku?
Sepertinya
aku mulai jatuh cinta deh. “Lagipula kenapa dia sampai mau merelakan
uangnya. Kalau bukan tertarik atau memancing aku untuk mendekatinya,” pikirku.
Pede pastinya. Ehm, sebuah kesialan yang menguntungkan. Lumayan,
predikat jomblo yang kusandang selama dua bulan ini bisa kubuang. Aku tersenyum
girang.
Dengan
revo kesayangan, kususuri jalanan kampus. Gedung-gedung kuliah dan fakultas
saling berseberangan. Tidak begitu lama. “Oh Tuhanku Yang Maha Baik, Kau
pertemukanlah lagi hamba dengannya.”
Aku
membunyikan klakson dengan pelan. Gadis itu berjalan dengan kedua temannya. Dia
baru tersenyum ketika menyadari siapa yang mengklasonnya tadi. Aku menepikan
motorku.
“Hai,
aku lupa bilang terimakasih untuk bantuanmu tadi. Aku akan menggantikannya.” Kataku
tiba-tiba. Tapi dia tak kaget sama sekali.
“Ah,
lupakan saja soal mengganti itu,” jawabnya tenang. Kedua temannya melambaikan
tangan, pamit untuk duluan. Meninggalkan kami berdua.
“Aku
Dino, anak Biologi. Kamu?”
“Meida.
Sastra Indonesia.”
“Wah,
jago puitis-puitisan doang,” kataku tertawa. Meida ikut tertawa kecil. Dia
benar-benar menarik. Barisan gigi putih membuat senyumnya enak dipandang.
Rambut yang lurus, kutaksir pasti bukan karena rebonding.
Akhirnya
aku dan Meida ngobrol panjang lebar. Doi selain cantik ternyata anak
yang asyik. Baru bertemu beberapa saat kami sudah terlibat pembicaraan yang seru.
Dia juga penyuka band lawas Kahitna seperti diriku. Hari ini aku merasa
beruntung sekali.
***
Meida
melewati hari-hariku saat ini. Jika tidak ada jam kuliah, aku tak segan-segan nyamperin
dia di Gedung Sastra. Sekadar menikmati mie goreng di kantin sastra yang
ternyata cukup bergelimang cewek-cewek bening. Salah satunya Meida yang sedang
kudekati ini.
“Lo
nggak punya pacar kan, Mei?” tanyaku suatu ketika.
“Nggak.
Kenapa?”
“Nggak
juga. Khawatir aja nanti ada yang marah.”
“Gue
nggak punya pacar kok. Kalau teman sih banyak.”
Aku
menjerit senang dalam hati.
“Emang
nggak tertarik pacaran? Mustahil cewek cantik kayak lo nggak ada yang mau,”
pancingku.
Meida
tertawa. “Mau apa dulu? Kalau yang cinta ke gue sih banyak. Urusan cinta memang
bikin hidup lebih hidup... ”
“Hehehe...
lo bisa aja. Gue yakin deh...” kataku.
“Udah
Ashar nih. Gue salat dulu ya. Lo mau ikut? Salat juga kan?”
Aku
tersenyum malu. “Kamu aja deh, aku balik lagi ke fakultas.”
“Ya
udah. Aku pergi dulu.”
Aku
memandang Meida dengan takjub. Gadis yang sempurna.
Tiba-tiba
ponselku berdering. Terdengar suara Tungku, “Oi, lo ke mana aja? Gue cari-cari.
Besok kita naik ke Gede lho, lupa? Payah lo...!”
Ohlala...
Meida benar-benar mengalihkan duniaku.
***
Aku
meletakkan tas carier di pinggir jalan. Penat setelah hampir dua jam duduk
di bus. Ada tujuh orang yang bergabung di Expedisi Tujuh in, sesuai nama. Hanya
Bram dan Tungku yang baru kukenal, karena aku tadi buru-buru. Di bus aku malah tertidur
dari Jakarta sampai ke Cibodas.
Satu-satu
teman Tungku mengulurkan tangan padaku. Rifda, Hero, Fahri, satu orang lagi.
“Kamu?
Ikut juga....”
“Hahaha...”
tawaku pecah. Gadis itu ikut tertawa kecil. Manis sekali.
“Jadi
kalian sudah saling kenal?” Suara Tungku.
“Iya,
Meida ini orangnya baik sekali, selain cantik. Jadi wajar kan kalau aku kenal,”
ujarku mengedipkan mata ke arah Tungku.
“Ah,
lo kok bisa berteman dengan orang kayak gini, Han?” sambar Meida. Rupanya
mereka memanggil Raihan pada Tungku.
lanjutannyo dundz...
BalasHapusSilakan di baca, lanjutannya udah ada lho...
BalasHapushttp://kecekambo.blogspot.com/2013/11/cintaku-se-gede-pangrango.html