Dua wanita dengan latar belakang kontras, tersenyum melakukan transaksi (foto: Elzam) |
Saya
cinta Indonesia, saya bangga lahir dan tumbuh di negeri ini. Saya suka traveling.
Dua
hal inilah, cinta Indonesia dan traveling, menjadi modal saya mewujudkan
mimpi, bertekad bisa mengunjungi seluruh kota-kota di Indonesia. Dari merasakan
damai Pulau Sabang di Aceh yang menghadap samudera biru, hingga menyesap segar
tanah bergunung-gunung milik Papua di ujung timur Indonesia. Sebelum saya sesumbar
mengatakan pernah ke negara ini ke negara itu, dan memuji keelokannya, saya
ingin setiap sudut Indonesia telah saya jejaki. Itulah tekad saya.
Tentang
kota paling Indonesia, saya langsung teringat film Soegija. Maksudnya apa? Tepat sekali, saya ingin menyebutkan
Semarang, kota tempat setting film Soegija tersebut bagi saya sejauh ini
merupakan kota paling Indonesia. Setidaknya bagi saya yang telah mengunjungi
hampir seluruh kota di Pulau Sumatera dan Jawa.
Soegija
mengingatkan traveling saya yang
sungguh berkesan dan berpikir inilah Indonesia sesungguhnya. Film karya Garin
Nugroho dengan akting cukup apik dari sastrawan Nirwan Dewanto itu membayangkan
saya ingin berada di Semarang tempo dulu. Merasakan denyut-denyut patriotisme yang
sama, dengan perbedaan yang sebenarnya begitu banyak karena keragaman Indonesia
itu sendiri.
Provinsi
yang telah saya jelajahi di Sumatera adalah Jambi, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Sumatera Utara, dan Lampung. Satu lagi, tentu saja Bengkulu, di mana
daerah pegunungan dan pesisir membentuk lanskap yang menakjubkan dari tanah
jajahan Inggris tempo dulu ini. Saya lahir dan besar di Bengkulu, sampai
terdampar di Jakarta setelah menamatkan kuliah di jurusan Administrasi Negara
Universitas Bengkulu tahun 2006. Budaya Melayu kental di daerah-daerah Sumatera,
dengan pesona alamnya yang indah tak habis dieksplorasi. TNKS (Taman Nasional
Kerinci Seblat) salah satunya, Saya suka berpetualang di hutan belantara yang melingkupi
kawasan Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan sekaligus. Di
sini ada Pusat Pelatihan Gajah Seblat, habitat puspalangka Rafflesia, fauna
semacam harimau sumatera, macan, atau landak. Sayang, saya belum sempat
mengunjungi Bangka-Belitung yang terkenal dengan pantai menarik.
Jawa
Barat, Banten, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jogjakarta pernah saya datangi. Di
Banten saya beranjangsana dengan Suku Badui di Banten, plesir ke Anyer,
menjejaki trek gowes mountain bike di
Hutan Cidampit Serang, sampai mengelilingi Pandeglang yang tak ingin ada mal di
kotanya.
Di
Jakarta, ehm ada banyak tempat yang
menarik. Nongkrong di Kota Tua, mengelilingi Kepulauan Seribu (Pulau Pramuka,
Onrust, Bidadari, Tidung, Pari, atau Harapan), Monas, aneka museum, wisata belanja,
sampai TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Ah, kata orang di Jakarta semua ada.
Tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.
Di
Jawa Barat saya sebatas mengunjungi objek-objek wisata di Bandung, Bogor, dan
Sukabumi. Gunung Salak, Cikuray, Gede Pangrango pernah saya daki. Untuk rafting, Sungai Citarik memang menjadi
magnet tersendiri. Sangat luas Jawa Barat untuk dikelilingi, butuh waktu yang
panjang!
Bagaimana
dengan Jogjakarta? Sejuta romantisme memang akan didapatkan. Budaya dan
pendidikan menjadi identitas yang tak pernah mati. Tak pernah bosan mengunjungi
Jogjakarta. Beruntunglah, saya berkesempatan mendapatkan traveling gratis mengunjungi Jogjakarta dan Jawa Tengah selama 15
hari dari Detikcom. Alhasil, saya menjelajahi Bantul, Gunung Kidul, Wonosobo,
Semarang, Magelang, Banjarnegara, dan kota-kota lain di sini. 15 hari penuh
berpetualang. Rafting di Serayu,
menelusuri gua-gua dan sungai bawah tanah Gunung Kidul, camping di Pantai Kapen, menikmati sunrise di Puncak Sekunir Dieng,
bercengkerama dengan Penduduk Gunung Merapi, sampai merasakan aura mistis di
makam raja-raja Mataram Kuno. Termasuk wisata kuliner menikmati wedang uwuh, mie
koplok wonosobo, dan belalang goreng buatan penduduk Wonosari, lengkap dengan
sayur lombok ijo.
Lantas,
mengapa saya berpendapat Semarang kota yang paling Indonesia?
Paling
membangkitkan gairah keindonesiaan saya, adalah atmosfir Indonesia yang saya
rasakan tampil iconic jika menelusuri kota-kota di nusantara. Saya sebut demikian
karena menjelajahinya membuat saya kagum
sekaligus bangga menjadi bagian dari 230 juta-an penduduk Indonesia. Semarang
salah satunya. Di kota ini, Indonesia tampil apa adanya dan mengalir dalam riak
yang tak pernah terhambat. Rasanya manis menikmati sudut-sudut kota Semarang
yang tak seberapa luas itu, Berpindah dari satu spot ke spot berikutnya dengan
jarak yang tak terlalu jauh. Di kota ini, miniatur Indonesia terungkap dalam
spirit keberagaman yang kuat dan menginspirasi saya untuk selalu kangen. Kota
multikultural yang penuh pesona karena toh
di sini perbedaan tetaplah mengidentitaskan satu, yaitu Indonesia kita.
Indonesia saya, Indonesia kamu, Indonesia dia, Indonesia mereka….
Waktu
itu saya mengunjungi Semarang menggunakan kereta api dari Jakarta. Turun di
Stasiun Tawang, disergap cuaca yang hangat menjelang sore. Sejarah
perkeretaapian Indonesia tak bisa lepas dari Semarang, karena kantor kereta api
tertua berada di Semarang, apa yang sekarang di sebut Gedung Lawang Sewu di
kawasan Simpang Lima. Begitu keluar dari Stasiun Tawang, saya langsung
terperosok ke dalam sejarah kelam Indonesia. Little Netherland tampak
begitu tua, setua negeri itu (Belanda) menjajah kita lebih tiga setengah abad,
lebih lama dari penjajahan Portugis, Jepang, dan Inggris.
Di
kota lama ini, sejatinya saya kagum dengan arsitektur gedung-gedung yang
merupakan Belanda kecil di timur dunia. Bangunan khas Eropa menjulang, berjendela besar, ventilasi
melengkung, dengan pilar-pilar besar dengan tata letak teratur dan sinergis, seakan
membenarkan rasa inferior yang
menggelayut manja di benak orang Indonesia. Wong
Londo dianggap kelas atas, terdidik,
berilmu, dan bermartabat, meski sebenarnya mereka tetaplah penjajah. Saya
sedih, tapi ini masih anggapan banyak orang Indonesia sekarang. Di mana terbukti
layar kaca dan lebar kita bangga memajang wajah Indo di seni peran. Kuliner western
(dan luar negeri lainnya) menjamur, lalu seakan mengkasta di tingkat teratas.
Dan
saya lebih miris lagi, Kota Lama alias Little
Netherland yang kokoh dan tetap
berdiri berabad-abad ini memojokkan saya dengan Indonesia yang saya cinta. Kami kolonial membangun stasiun kereta api,
gedung-gedung, jembatan dengan benar seakan-akan kami akan hidup ratusan bahkan
ribuan tahun ke depan di Indonesia. Tapi sekarang, kalian membangun jembatan,
jalan, atau mega proyek lain untuk waktu yang lebih singkat dari umur kalian
satu generasi sekali pun, karena digerogoti mentalitas korupsi. Saya
menikmati menyusuri Gereja Blenduk, Gedung Marabunta, Jembatan Berok, dan
Folder Tawang. Tapi saya tak bisa menikmatinya dengan baik, begitu membandingkannya
dengan bangunan-bangunan Indonesia yang kerapkali jebol, hancur, dalam hitungan
bulan di media massa. Entah ini perasaan yang berlebihan atau tidak, tapi
inilah yang sebagian membenak ketika saya menelusuri Little Netherland.
Namun
di balik rasa miris tadi, saya pun masih tetap bangga menjadi bagian dari
Indonesia. Di Kota Semarang saya melihat patriot-patriot sejati yang tak sekali
pun meminta pamrih, apalagi tanda jasa. Di jalan-jalan Kota Semarang, saya kagum
dengan bapak tua berkaki telanjang menjajakan wedang jahe, mbok-mbok penjual
jajanan pasar, dan mas-mas pengemudi becak yang santun mengantar saya
berkeliling. Bagi mereka ini, mencari nafkah bukan persoalan seberapa besar
yang kita dapat, tapi seberapa keras kita berjuang dan berkah bagi keluarga di
rumah. Pelajaran yang sangat sulit saya dapatkan melihat situasi bermasyarakat
kita saat sekarang. Biasanya yang paling suka saya amati kehidupan sehari-hari
masyarakat, lalu lalang di jalanan, dan pasar tradisional.
Seorang nenek yang berbelanja di Pasar Gang Baru, Semarang (foto: Elzam) |
Di
Pasar Tradisional Gang Baru, saya sangat tersentuh dengan praktik pluralisme masyarakat
Semarang yang notabene terdiri dari banyak penganut agama. Ada Buddha dan
Konghucu yang banyak dianut peranakan, Tionghoa, Nasrani, dan Muslim. Di Gang
Lombok, pasar sepanjang jalan yang rasanya tak lebih dari satu kilometer ini
semua tumplek-blek menjadi satu. Tidak ada lagi perbedaan, karena lebur menjadi
satu kepentingan; berjual beli. Saya melihat perempuan tua Njawani berjualan
jajanan tradisional seperti gablok,
jadah ketan, cetot, gendar, kue pandan, dan apem. Pembelinya tumpah ruah dari
orang Tionghoa, Padang, Jawa, sampai Sunda. Di lain tempat, pedagang Tionghoa
sibuk menjual peralatan sembahyang di kuil. Ada perempuan berjilbab yang
sumringah melayani pembeli berkerudung sepertinya, tapi bukan muslim, melainkan
seorang biarawati. Pemandangan ini membuat saya benar-benar haru, sekaligus
bangga. Saya merinding. Seperti inilah Indonesia kita yang penuh perbedaan,
yang seharusnya damai tanpa sekat yang harus dipaksakan dalam identitas-identitas
personal/komunitas, tapi tak mengindahkan ragam lain yang juga punya identitas.
Bagian
inilah juga yang membuat saya mengingat Semarang menjadi kota yang paling
Indonesia yang pernah saya kunjungi. Kota tempat pastoral pertama Indonesia,
Soegija membaktikan hidupnya untuk kejayaan Indonesia ini tampak sangat nyaman
ditinggali oleh beragam latar belakang. Tidak heran di sini mesjid menjamur
(dengan icon Mesjid Kauman dan Mesjid
Agung Jawa Tengah) , vihara dan kelenteng bertahan, gereja menjulang. Sekolah-sekolah
semacam pesantren atau kolose terbuka untuk didatangi setiap anak muda yang
ingin memelajari keyakinannya.
Berkaca
dari pengalaman menelusuri Pasar Tradisional Gang Baru yang buka subuh sampai menjelang
tengah hari itu, saya tak lagi kaget dengan kultur paling Indonesia milik Kota
Semarang. Di Kelenteng Sam Pho Kong,
saya menikmati obrolan dengan peziarah muslim peranakan Tionghoa yang datang
berombongan. “Cheng Ho adalah pelaut muslim yang gagah berani mengajarkan keteladanan
simpati dan toleransi,” ujar bapak yang seingat saya mengaku bernama A Seng
itu. Atas dasar itu pula, di Kelenteng Sam Pho Kong, banyak muslim berziarah. Selain
tentunya penganut Konghucu, Buddha, ataupun Tao (keyakinan yang banyak dipeluk
warga Tionghoa).
Sembahyang di kelenteng (foto: Elzam) |
Lalu
siapa yang tak mengenal herbal Indonesia kebanggaan Indonesia yang disebut
jamu? Ketika berkunjung ke Museum Jamu Jago lagi-lagi saya dibuat bangga. Berkat
usaha dan kerja keras T.K. Suprana, pemilik perusahaan jamu tertua Indonesia, jamu
sekarang tak pernah lekang Berjaya. Bahkan menemukan bentuknya dalam bentuk
yang modern menyesuaikan zaman, di samping jamu tradisional yang dijual dalam
bentuk segar oleh mbok-mbok jamu dan tetap lestari.
Membicarakan
kuliner pun, Semarang saya pikir tetap menunjukkan kota paling Indonesia. Ada
soto kudus yang mengenyangkan, wedang tahu yang menghangatkan, lumpia yang eksotis
perpaduan kuliner Tionghoa dan Jawa, ganjel rel yang merupakan makanan tempo
dulu, atau wingko babat yang sebenarnya “impor” dari provinsi sebelah (Jawa
Timur).
Jadi
lengkaplah sudah. Jika ditanya harus ke manakah mengunjungi objek wisata untuk
merasakan satu rasa paling Indonesia? Saya menjawabnya Kota Semarang dan saya
tak akan pernah ragu atau enggan untuk mengunjunginya kembali. Dua hari sewaktu
saya berkunjung tak cukup untuk menuliskan kesemua hal tentang kota di tengah-tengah
Pulau Jawa tersebut. Di kota ini, sejarah, kultur, kebiasaan, dan keragaman suku
menjawab inilah Indonesia sebenarnya. Satu kota paling Indonesia yang pernah
saya datangi. Dan tentu saja, saya percaya masih ada kota-kota paling Indonesia
lain dalam ruang, waktu, atau konteks yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D
Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)