Judul :
Anak-Anak Revolusi (Buku 1)
Pengarang : Budiman Sudjatmiko
Editor :
Billy Franata
Cetakan :
Ke-2, Desember 2013
Halaman :
473 + XV
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
ISBN :
978-979-22-9943-4
Tak
ada yang lebih mendebarkan dari sebuah bacaan sejarah bangsa-bangsa, kecuali buku
yang ditulis pelakunya sendiri. Di mana ia membeberkan fakta yang tak banyak
diketahui khalayak, karena dibungkam “penulis sejarah” dengan cerita versi
mereka sendiri. Apalagi terkait pihak
yang bersinggungan langsung dengan rezim diktator. Buku Anak-Anak Revolusi
karya Budiman Sudjatmiko masuk dalam kategori ini.
Budiman
tahu betul, teks sejarah cenderung baku, monoton, dan sulit menjangkau banyak
pembaca. Maka ia menuliskan autobiografi berpendekatan novel. Anak-Anak
Revolusi menceritakan pergerakan Budiman menumbangkan rezim Orde Baru yang
berkuasa sampai 30 tahun. Cerita dibuka dengan amuk massa dalam Peristiwa 27
Juli 1996. Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diketuai Budiman menjadi
tertuduh (hal. 5-13).
Sebagai
sejarah personal, novel ini berkisah pergulatan pemikiran Budiman sejak kecil.
Kemiskinan tempat masa kecilnya, Desa Pahonjean, Cilacap, membuatnya gelisah. Dua
hal menjadi pemicu, Mbak Dimin gantung diri akibat tak kuat dibebani hutang dan anak-anak yang tak bisa sekolah saat ia
menginjak TK. Peristiwa ini melecut rasa ingin tahu. Kata “Pemerintah” dalam
pikiran sederhananya bisa saja membantu Mbah Dimin dan teman-temannya.
Menginjak
SD, kegelisahan membawa Budiman menggandrungi buku-buku Bung Karno, Jawaharlal
Nehru, Mao Tse-tung, dan John F. Kennedy milik sang kakek (hal. 91). Nantinya
kutipan dan saripati buku-buku lain berserakan dari awal hingga akhir novel.
Budiman begitu kaya dengan ragam pemikiran politik (sosialis, demokratis,
liberalis, hingga Islamis), sejarah pergerakan, ekonomi, bahkan seni (film,
musik, dan sastra). Kesemuanya membentuk pemikirannya. Sampai pada pilihan mengorganisir
perlawanan rakyat menumbangkan diktaktor Soeharto yang mengendalikan semua
kekuatan (militer, pers, birokrasi, dan legislatif). Dimulai dari mendampingi
gerakan bawah tanah buruh-petani, dan berujung perlawanan terbuka dengan membentuk
PRD yang meminta Soeharto mundur.
Kadar
intelektualitas Budiman sangat tampak lewat caranya bertutur. Jauh dari
kemarahan-kemarahan subjektif yang bisa jadi dianggap wajar pembaca mengingat
betapa penguasa semena-mena memperlakukannya. Budiman dan aktivis lainnya ditindas,
diteror, disiksa, dan diadili tanpa tahu kesalahannya. Bahkan penguasa melibatkan
cara tidak fair, sang ayah dan paman
dipecat dari pekerjaannya oleh Soeharto hanya karena keluarga Budiman. Emosi pengarang
menulis autobiografinya terjaga dari bahasa kasar semacam caci maki dan dendam.
Diksinya tenang dan lugas, tanpa menghilangkan bara heroik perlawanan. Di akhir
novel pun ia menutupnya dengan manis dalam balutan cinta dramatis. Budiman mengungkapkan
cinta kali pertama, justru saat pengadilan menvonis 13 tahun penjara (hal.
472).
Secara
umum, Anak-Anak Revolusi memuat tiga pusaran cerita utama. Pergulatan pemikiran
Budiman, kisah cintanya, serta proses penahanan ia dan rekan-rekan terkait
Peristiwa 26 Juli 1996. Pembaca diajak larut dalam kepiawan penulis bercerita
layaknya fiksi, padahal nyata terjadi. Tentunya, karena terkait sebuah
pergerakan, banyak nama yang muncul. Seperti Nezar Patria, Mochtar Pakpahan,
Dita Indah Sari, Gus Dur, Megawati, Munir, Widji Tukul, dan sederet tokok pro-demokrasi
waktu itu. Secara lugas, ia pun sadar, revolusi mebutuhkan banyak orang yang
dikaitkan pada simpul “kepedulian atau nasib” yang sama.
*Elzam Zami
Kece badai bahasanya. Saya suka diksinya, puitis tapi tidak lebay... :-)
BalasHapusHahaha, jadi malu. Ini resensi yang kurang beruntung sebenarnya, dikirim ke Koran Jakarta nggak dimuat :D
BalasHapusSering-sering main ke sini, Mbak Yayah. Thanks ya