Judul :
SUNYI
Jenis :
Novel
Pengarang :
Eni Martini dan Ifa Avianty
Penerbit :
Panser Pustaka (Cetakan pertama, Oktober 2013)
Halaman : 240
Foto oleh: Sri Rahayu |
Sedikit novel yang berani
menceritakan masalah rumah tangga yang penuh perdebatan sekaligus sensitif.
Kemudian menulisnya lewat novel yang renyah. Salah satunya adalah novel
berjudul Sunyi, besutan Eni Martini
dan Ifa Avianty. Duet penulis ini cukup berhasil menceritakan poligami dalam
sudut pandang yang wajar. Terutama dalam kaca mata perempuan. Di mana poligami
menjadi wacana sekaligus praktik yang tak ada habisnya dibahas tiap orang.
Dalam obrolan santai ataupun yang lebih serius semisal seminar.
Novel sunyi menceritakan tiga
perempuan berikut dengan masalah masing-masing nan pelik. Semuanya terkait
perkawinan, yang menciptakan ‘kesunyian’ di tiap tokoh. Ada Melati, pemilik daycare bersuamikan Radit, si work-holic sebagai ilmuwan, yang membuat
depresi istrinya karena sikap apatis yang kentara. Malaya, teman SMA Melati,
pemilik coffee shop yang kesepian karena
jodoh tak kunjung bertemu. Padahal usianya menginjak 35 tahun. Kemudian Soraya,
karyawan Melati yang bersuamikan Reza dan sayangnya mandul. Rasa sunyi membuat
Soraya bekerja sebagai pengasuh anak-anak. Di sisi lain, kerinduan pada
keturunan membuat Reza ingin menikahi Malaya. Ia biasa bertemu Malaya ketika menikmati
secangkir kopi di coffe shop. Sementara Soraya, sejujurnya tak
sanggup berbagi suami, tapi ketegasan tak ditampakkannya, membuat Reza berpendapat
Soraya bersedia dimadu (hal. 148).
Melati tak tahu, jika nama Reza
yang melamar sahabatnya adalah suami
Soraya. Ketika misteri terbuka, dirinya tak kuasa memihak pada Soraya atau
Melati. Baik Malaya atau Soraya sama-sama dicintainya, berharap kedua perempuan
itu mendapatkan kebahagiaan. Soraya galau di tengah keriuhan Malaya
mempersiapkan pernikahan. Istri Reza yang mencintai sang suami sepenuh hati itu
tak bisa tegas berkata jujur. Keadaan dirinya yang tak bisa memberi keturunan
meruntuhkan kepercayaan diri. Di sisi lain, biduk rumah tangga Melati dengan
Radit terombang-ambing karena ketidakjujuran keduanya dan komunikasi tak
bernyawa. Padahal di mata Soraya dan Malaya, Radit-Melati dengan karunia anak
bernama Zea merupakan tipikal keluarga bahagia. Keduanya kagum. Tentunya juga
iri melihat Melati mendapatkan semuanya.
Di Bab 16 (hal. 178), Melati dilarikan
ke rumah sakit karena memikirkan Radit yang sibuk sendiri. Penyakit autis
asperger membuat ia demikian sibuk
dengan diri sendiri, tak percaya diri. Itu juga yang menyebab Radit melarikan
kegersangan hati dengan terus bekerja. Keadaan semakin gawat karena keluhan
Soraya pada Melati. Tentang nasibnya yang akan segera menjadi korban poligami.
Malaya jadi bimbang, ketika tiba-tiba Melati memberikan pesan via ponsel yang
penuh tanya, apakah Malaya bisa
bahagia bersama Reza? Sementara di ujung sana ada perempuan pemilik pertama
sang lelaki terluka. (hal. 176).
Pada akhirnya kejernihan hati dan
kejujuran menjadi solusi konflik batin tiap tokoh dengan kesunyian
masing-masing. Eni Martini dan Ifa
Avianty tak mencoba membuat cerita poligami dalam novel ini menjadi begitu
kejam. Lalu mengadu pihak yang pro dan kontra ngotot pada argument masing-masing. Soal wanita yang bersedia dimadu atau tidak, dikembalikan pada
keputusan dan kehendak para perempuan itu sendiri. Silakan menolak, silakan
pula menerima! Para lelaki harus menghargai dan menerima pilihan mereka.
Walaupun hukum dalam Islam membolehkan. Dengan demikian, novel ini seperti
mengajak pembaca menarik benang merah. Lakukan praktik berpoligami, tapi jika
dengan dua istri tersebut pelakunya tak bahagia, berpikirlah untuk tidak melakukannya.
Simpel sekali!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hayuk-hayuk, kumen di sini biar saya tahu respon Anda di sajian ala kadar KecekAmbo, ukeh, ukeh... :-D
Bonusnya, ntar saya balik silaturahim, Insya Allah... ;-)