Dimuat di
Majalah Ummi, edisi Juli 2012
Zaidan mengucek matanya sambil keluar dari kamar, ketika Bunda mengetuk pintu. “Waktunya les matematika lho, tidak lupa kan?”
Zaidan menggeleng, lalu menguap sambil
menahan kantuk, “hoaamm….”
“Bunda, Zaidan malas les hari ini. Zaidan mau tidur
lagi,” katanya lemas. Tak biasanya Zaidan mengeluh. Padahal Om Akbar, guru
lesnya sudah di ruang tamu.
“Kasian Om Akbar, dong. Dia sudah
menunggu dari tadi.”
“Hah? Jadi Om Akbar sudah datang?
Zaidan tidak jadi malas, Zaidan wudhu’ saja biar tak mengantuk,” ujarnya
terkejut. Buru-buru ia ke kamar mandi. Bunda tersenyum saja.
Zaidan sekarang kelas 4 SD. Usai
sekolah, dia mengikuti banyak kegiatan. Hari Senin, Rabu, dan Jum’at les
Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Hari Selasa latihan karate,
belum lagi les renang Minggu pagi. Kamis dan Sabtu pun Zaidan masih harus les musik, karena dia ingin
sekali bisa bernyanyi dan memainkan biola. Les-les itu sebenarnya kemauan
Zaidan sendiri. Bunda hanya memberikan pilihan dan mendaftarkan.
“Huh, kapan aku bersantai kalau
begini?” keluh Zaidan begitu Om Akbar pulang. Dia ingin sekali bermain pIay station,
tapi karena selepas Magrib harus belajar mengaji dengan Bunda, Zaidan mengurungkan
niatnya. Lebih baik mandi, karena sejak tadi belum Shalat Ashar. “Keburu habis waktunya,” pikir Zaidan. Nasehat
Ayah, shalat menandakan seseorang masih beragama Islam. Hihh, seram sekali
kalau dirinya dijuluki bukan orang Islam.
Sekarang Zaidan sudah selesai shalat,
tapi kantuk yang menyerang membuatnya tak bisa bertahan melek. Alhasil, dia pun
tertidur di atas sajadah.
***
Zaidan baru saja keluar dari sekolah. Dia
merasa capek dan haus sekali. Bukannya mengambil botol minuman di tas, Zaidan memencet
tombol di jam tangannya. Seketika dia tak merasa haus dan capek. Kakinya segera
meluncur seperti ada roda yang menempel. Tidak begitu lama dia sudah berada di rumah.
Zaidan tak melihat Bunda di rumah. Dia
pun menyetel televisi yang menampilkan musik dengan suara keras. Anak lelaki
itu berjingkrak-jingkrak senang. Tak terasa, waktu menunjukkan jam 16.00 WIB. Zaidan
belum makan sama sekali, tapi tak merasa lapar. Kok? Dia telah menekan tombol ‘charge energy’ di jam tangan,
kekuatannya pulih.
Saat mengaji usai Magrib, Bunda dibuat
heran. Zaidan lancar sekali mengaji, bahkan seperti sudah hapal semua surat
pendek. “Lho, kok Zaidan hari ini pintar mangaji? Subhanallah,” puji Bunda. Dia pun tertawa dalam hati, dia telah
membuka memori ‘mengaji” di jam tangan andalan.
Besoknya Zaidan latihan renang. Apa
yang terjadi? Lagi-lagi Zaidan berenang gaya kodok dengan mahir. Bahkan dia
mengalahkan Faisal, Ridho, dan Fadlan yang mengikuti les renang jauh lebih dulu.
“Kamu kok sekarang kuat sekali? Pasti latihan
renang di luar juga ya, Zaidan?” tanya Ridho. Zaidan hanya tertawa. “Nggak kok,
aku memang hebat dan calon perenang handal. Hehehe… Zaidan dilawan,” jawabnya
bangga. Lagi-lagi hatinya berseru, “tentu saja aku hebat di segala bidang. Aku
kan si super robot.”
Teman-temannya melotot kagum tidak
percaya. Tepat saat itulah adzan Magrib berkumandang. Zaidan tiba-tiba terbangun.
Oaalah… ternyata Zaidan hanya bermimpi. Bukan super robot seperti di film.
***
Pagi itu Zaidan menikmati sarapan roti
lapis selai strowberry . Segelas susu dihabiskannya. Sementara Ayah sudah
berangkat duluan karena ada persiapan kunjungan kantor pusat. “Jangan lupa,
hari ini les Bahasa Inggris ya. Ulangan Zaidan minggu lalu kan belum bagus. Jadi
Tante Nisa akan membantu kesulitan Zaidan,” ujar Bunda.
Zaidan panik. Pulang sekolah nanti dia
ingin ke rumah Afif, teman les musiknya. Afif berjanji akan memperlihatkan biola
barunya. Ingin sekali Zaidan melihatnya, karena kata Afif biola itu dipesan
dari teman papanya di luar negeri. “Tapi Bunda, Zaidan sudah janji ke rumah
Afif.” Dia pun menceritakan rencananya.
“Yah, bagaimana dong? Kan Zaidan sendiri yang
mau jago Bahasa Inggris, jadi diplomat. Lagi pula, hari ini memang jadwal les
Bahasa Inggris lho.” Mendengar kata Bunda, Zaidan jadi teringat mimpinya.
“Zaidan bukan super robot, Bunda! Capek les ini itu. Zaidan mau main musik saja.”
Bunda pun tertawa kecil, berdiri, dan
duduk di samping Zaidan. “Yang bilang Zaidan robot siapa? Ya sudah, kalau sedang
bosan, nanti Bunda telpon Tante Nisa supaya lesnya ditunda.”
“Horeee… Bunda baik banget.
Terimakasih, Bunda!” seru Zaidan. Terbayang hari ini akan menyenangkan main ke rumah
Afif.
***
Sesuai rencana, Zaidan ke rumah Afif.
Ternyata biola dari Italia itu indah sekali. Suaranya pun halus ketika Afif mempersilakan
dia mencobanya. Zaidan benar-benar terpesona. “Wah, seandainya Ayah bisa
membelikanku juga. Kamu beruntung sekali, Fif,” sahut Zaidan.
Afif tersenyum masam. Sebenarnya dia
tak begitu mengharapkan biola itu, karena koleksi biolanya lebih dari cukup. Dia
hanya ingin punya mama yang ada di rumah, seperti Bunda Afif. “Aku jarang
sekali ketemu Mama. Apalagi papa yang super
sibuk. Jadi ya terpaksa, supaya tidak kesepian aku disuruh les setiap hari. Bosan,
aku kan bukan super robot,” jelas
Afif kesal.
Hah? Zaidan terkejut. Afif mengeluhkan
hal yang sama, bukan super robot. Bedanya
ia mengikuti banyak les karena pilihan sendiri. Dia ingin jadi diplomat, piawai
bermain musik, menjadi juara, dan sehat dengan olahraga. Bunda pun perhatian
dan senantiasa mengingatkan jadwal hariannya. “Hehm… Jadi aku lebih beruntung dari Afif. Kasian sekali dia,” ujar
Zaidan dalam hati.
Ketika pulang ke rumah, Zaidan pun langsung
menemui Bunda. Dia memeluk Bunda. “Terimakasih ya, Bunda perhatian banget
dengan kegiatanku,” ucapnya tulus. Bunda pun bingung, tapi segera mengerti
setelah Zaidan bercerita.
“Oh, jadi begitu? Doakan saja biar
Afif bisa sabar. Lalu orangtuanya bisa sadar untuk menyediakan waktu buat Afif.”
“Iya, Bunda. Afif sebenarnya anak yang
baik.”
“Nah, sekarang bagaimana dengan
setumpuk jadwal les Zaidan? Anak Bunda bukan super robot, kan?”
Zaidan pun tertawa. Lalu tertunduk
malu. “Iya sih Bun, kadang-kadang capek. Tapi Zaidan sehat karena ada les
karate dan renang, jadi capeknya hilang.”
Bunda tersenyum senang. Beliau berkata
bijaksana, “Benar nih? Bunda sudah memikirkan, Zaidan boleh kok menghilangkan
beberapa jadwal les. Zaidan pasti lebih tahu mana yang harus didahulukan. Jadi
bisa tetap bermain atau bersantai.”
Zaidan jadi bingung dengan tawaran
Bunda. Dia benar-benar tak ingin melepaskan satu pun jadwal lesnya. Hanya saja,
dia mengingat betapa enaknya bisa bermain play
station atau kelereng bersama Doni,
tetangga sebelah.
“Nanti deh, tunggu Ayah pulang untuk
minta pendapat. Ayah pasti tahu, Zaidan bukan super robot Bunda,” jawab Zaidan mantap.
Bunda dan Zaidan pun tertawa bersama. Hari itu
benar-benar menyenangkan.[]
Suko baco novel anak, cerita anak, pengen nulis sesimpel2 ini...tapi tak sesimpel yang dibayangkan ternyata.
BalasHapusSimpel kok Ling, makin banyak baco makin tau lah kito, semua diangkat dari keseharian. Tinggal ambil, membahasakannya dengan runtun dan baik, taraaa...jadilah cerita.
BalasHapusIni jugo cerpen pertama. Hayuu, belajar.