Menjelajah semua ruang. pada kesempitan makna yang kadang tak pernah kupahami. Lalu meluas, mencampakkanku pada kekerdilan diri. Dan aku tetap si sini, dalam takjub keinginan.
tentang
- AboutBengkulu (2)
- Buku Karyaku (5)
- CERPEN (10)
- Dari Luar (2)
- INSPIRING (2)
- Kuliner (1)
- Literasi dan sastra (1)
- LITERASIdanSASTRA (3)
- Novel (1)
- PUISI (10)
- RAGAM (22)
- RESENSI (5)
- REVIEW (14)
- TENTANG CINTA (5)
Sabtu, Agustus 28, 2010
Pada Gerimis Satu-Satu
(Dimuat di Harian Rakyat Bengkulu, 28 November 2004)
Padanya aku menghamparkan persahabatan yang unik. Eve selalu hadir mengisi jenak-jenak waktu yang kucoba rangkai menjadi jauh lebih indah. Dan ternyata itu memang berhasil. Meskipun harus kuakui ada beberapa nama perempuan lain yang hadir mengisi memori sepanjang masa di belakangku kemarin.
“Persahabatan kita adalah konsep saling memberi manfaat dalam kebaikan,” kata Evie ketika awal persahabatan kami di mulai. Aku lebih menyukai menyebutnya Eve --dengan menghilangkan huruf i-- lebih dekat kepada sebutan Hawa pada orang Barat. Namun bukan berarti aku mencintainya karena namaku Adam sehingga aku menganggapnya pasangan seperti Nabi Adam kepada Siti Hawa.
Aku pernah bertanya padanya, “Kau tahu Eve, kenapa aku menyukai bergaul denganmu?” Dia hanya mengangkat bahunya sembari menyeruput segelas es jeruk.
“Kamu orangnya asyik banget menempatkan sahabat pada posisi yang terhormat. Bersamamu aku merasa dimanusiawikan dengan sikapmu...”
“Hmm, Adam, Adam... Selagi kita ingin menikmati pertemanan, mengapa kita tidak memenuhi keinginan hati kita yang jujur untuk bersikap alamiah pada orang lain? Bukankah kebaikan itu alamiah? Banyak juga yang menyebut fitrah manusia adalah mencintai kebaikan,” jawab Eve yang membuat aku kian kagum pada sosoknya.
“Oo, begitu ya? Sampai kau menjelma menjadi perempuan yang berkepribadian seperti Putri Abu dalam dongeng. Maaf, itu bukan berarti aku mengharapkan kau mendapat kemalangan seperti Putri tersebut. Kebaikanmu yang sama dengan kebaikan tulus putri yang malang itu.”
“Jangan memujiku berlebihan, friend. Aku Cuma Evie yang bersahabat padamu bukan karena latar belakang tertentu. Naluriku mengatakan persahabatan itu lumrah dan menyenangkan.” Jawab Eve santai. Sesantai penampilannya yang selalu sederhana. Ia tak pernah kulihat berdandan modis seperti kebanyakan perempuan. Padahal ia punya cukup uang untuk mempermak penampilannya agar menarik dan lebih wah. Seperti saat ini jeans yang ia kenakan hanya dipadu dengan kemeja gombrong bergaris kotak-kotak.
“Padahal aku punya teman dekat sebagai pacar. Tapi kedekatan kita sepertinya melebihi hubungan aku dengan Raisya!” ungkapku menyebut nama pacarku yang terbaru. Aku memang punya seorang saja sahabat dalam artian seperti persahabatanku dengan Eve. Berbeda dengan kekasih, ada beberapa banyak gadis yang memiliki hubungan denganku yang kata orang “cinta”.
“Ah, bedakanlah kedekatan kita dengan kedekatan bersama gadis-gadismu. Kupikir ada nilai yang jauh berbeda ketimbang hubungan antar kekasih. Entahlah...aku masih terus memikirkannya Adam.”
“Ya, pikiranku bingung mengapa persahabatan kita lebih awet daripada ikatanku dengan mereka. Pacar-pacarku yang seabrek-abrek itu.” Aku tertawa akan kekonyolanku.
Eve menjawab retoris, “Apakah itu berarti hubungan persahabatan kita tidak boleh lebih baik dari hubungan sepasang kekasih?” Aku terhenyak. Betul juga katanya.
Begitulah, ditengah kesibukan bermain cinta dengan beragam gadis yang biasanya tak bertahan lama. Persahabatanku dengan Eve kian bersinar terang memberi ruang segar untuk membagi kata, riang, gundah , dan emosi lain pada sosok manusia lain di luar diriku sendiri.
* * *
Namun tiba-tiba pada gerimis satu-satu yang turun ke bumi, saat matahari bersinar terik di siang hari, Eve berubah. Ia menggugat hebat konsep yang selama ini kami pertahankan.
Ini pertemuan kami yang pertama kali di bulan November yang telah memasuki akhir bulan. Aku memang mengurangi jadwalku sekedar berbincang dengan Eve. Tidak ada alasan apa-apa yang melatarbelakangiku berbuat demikian. Aku cuma ingin demikian saja. Lagipula bulan ini aku bolak-balik menyelesaikan penelitian skripsiku di sebuah desa tertinggal. Praktis waktuku tersita kesana. Selebihnya aku mengunjungi Raisya. Perempuan yang kucoba dekati dengan lebih intensif lagi. Cewek itu sulit sekali ditaklukkan ternyata. Namun, ketika aku menemuinya serta merta ia mendepakku. Sambutan yang tak seperti biasanya.
“Eve, apa yang baru kau ucapkan tadi? Kau?! Apakah kau dalam keadaan baik-baik?” aku bertanya sangsi. Mengapa tiba-tiba ia mendamprat semua perilakuku justru pada saat ini. Tidak ketika dulu-dulu, karena ia mengenalku sudah jauh sekali.
“Kau telah berlaku kurang ajar pada gadis-gadismu” Ia menjustifikasi kesalahanku dengan enaknya.
“Ha! Kurang ajar?! Apa yang telah kulakukan pada pacar-pacarku? Sekedar berbincang, jalan bareng, nonton, merayu, mengelusnya dan...” Aku mencoba membela dengan tegas. “Dan bukankah itu wajar mewakili cinta pada kekasih” tambahku menjelaskan.
“Ya! Wajar katamu. Dan karena cinta sempitmu itu kau sampai melupakan sahabatmu. Dimanakah kau saat aku ingin cerita ketika aku sedih kehilangan Ayah? Dimanakah kau ketika aku ingin membagi kebahagiaan ketika syukuran wisudaku? Dimanakah CINTA untukku? Dimana?”
Ha! Sedemikian banyakkah moment penting Eve yang ia lewati sampai aku tak memperdulikannya. Tapi apa yang ia katakan terakhir tadi? Cinta?
“Eve...” potongku cepat. Tidak mengerti. “Apa-apaan ini! Oke, aku mengaku salah karena tidak pernah menghubungimu akhir-akhir ini. Aku bersalah karena terlalu sibuk dengan Raisya pacar baruku. Tapi apa yang kau ungkapkan terakhir tadi?”
Aku menghela nafas. Berat sekali bagiku mengutarakannya. Takut ia lebih tersinggung dan melukai hatinya. Jujur aku tidak pernah merasa ia memperlakukanku kasar hingga tersinggung dan sakit hati. Tapi kenapa mesti ada rasa itu Eve? Berontakku dalam hati.
“Kenapa kau mengharapkan cintaku, Eve?! Seorang Adam yang merupakan sahabatmu.” Lepas sudah kata yang mewakili kepenasaranku.
Suasana cuaca yang tidak bersahabat meningkahi pertengkaran kami. Hujan gerimis bak jarum yang meluncur berpendar di bumi. Sementara matahari bersinar terik. Perpaduan panas dan dingin yang menimbulkan sensasi pening, apalagi ditambah keadaan hati kami.
“Huh! Begitu sempit ternyata kau memandang cinta, seperti kataku tadi. Baru kusadari cinta memang tak pernah ada pada sosokmu Adam!” Eve menjelma menjadi sosok yang membingungkan, kalau tidak boleh kukatakan menyebalkan. Benar-benar!
Aku mencoba menjelaskannya lagi dengan lebih tenang, “Aku tidak mungkin menjadi kekasihmu, Eve. Aku menyukaimu, tapi bukan berarti aku...”
“Ya, ya...! Tidak mungkin menjadi kekasihmu. Pelampiasan cinta yang dalam benakmu hanya ada kamus cinta busuk! Cinta nafsu.” Ia segera beranjak dari tempat duduk dan membayar minuman yang tadi kami pesan. Aku tak bermaksud mencegahnya. Biarlah kemarahannya mengendap.
Di kejauhan pandangan mataku terus lurus. Gadis yang sebenarnya teramat baik itu menerobos alam terbuka. Pada gerimis satu-satu...
***
Dalam derai sunyi ini aku mengungkap diri. Pada sepi malam yang mungkin mampu memberiku masukan bagaimana harus berbuat untuk seorang Eve. Potongan hatinya telah kulihat di sini berkeping-keping. Dan Eve berpikir itu semua karena perbuatanku. Aku telah membuat ia rapuh dan berderai dalam keping-keping marah.
Eve, sesungguhnya aku masih ingin menikmati hubungan kita seperti dulu lagi. Aku akan kembali menata komitmen ideologi persahabatan kita. Aku memang terlalu acuh pada konsep “memberi mamfaat dalam kebaikan untuk sebuah persahabatan.”
Pada pacar-pacarku yang daftarnya berderet-deret aku mampu meninggalkan mereka. Meski setiap berakhirnya hubungan lebih di dominasi perpecahan hati. Cinta selalu meninggalkan luka, benci, dan mungkin dendam ketika berakhir miris pada setiap gadisku. Tapi itu wajarkan menurutku. Mereka tak berhak menuntut apa yang telah kami lakukan dan terukir kala cinta masih indah. Karena cinta sepasang kekasih ternyata juga seperti waktu, selalu berubah. Egois memang!
Namun untukmu Eve! Aku tidak ingin semuanya berakhir negatif. Tidak juga luka di hatimu, luka di hatiku. Karena memang hubungan ini murni dalam kebaikan. Hubungan ini jujur memberikan banyak kebaikan tak terukur. Sama sekali berbeda dengan hubunganku dengan Naura misalnya, kadangkala kusisipkan sesuatu untuknya. Ya. Sesuatu yang membuat aku berpikir saat ini. Kata apa yang harus mewakilinya.
Oh! Eve...aku bergidik ngeri! Aku menyisipkan nafsu untuk legalitas cinta. Kata yang tepat, benar apa yang kau tuduhkan waktu siang gerimis itu.
Malam ini aku tak bisa memejamkan mata. Ada kecamuk gundah yang harus terungkap lepas. Jika kondisi seperti ini, biasanya memang Eve-lah yang kuajak bicara. Ia akan mendengarkan dengan tenang. Memberikan komentar dengan konsep filosofisnya yang kadang kupikir susah diaplikasikan. Tapi aku selalu suka dan menyimak kata demi kata dari bibirnya. Apakah pertengkaran tadi siang adalah salah satu konsepnya yang memang tak bisa kuterjemahkan itu. Entahlah.
Aku telah ada dihadapan Eve. Sengaja aku datang untuk mengungkapkan apa yang kurenungkan tadi malam.
“Ya, begitulah Eve...mungkin ada yang salah dalam aku menempatkan cinta” aku menutup uraian renunganku. Persis seperti apa yang terpikir padaku malam tadi.
Eve menatapku lembut, “Apa yang kau ketahui tentang cinta?”
“Seperti yang kau lihat praktiknya selama ini pada hidupku.”
“Apa salah aku mencintaimu? Apakah cinta harus terkekang pada definisi hubungan antar lawan jenis yang selalu kita ikat dengan kata pacaran atau pernikahan?” kejarnya bertubi-tubi. Kalimat itu tajam, meski aku tahu Eve tidak lagi marah.
“Eve...! Please deh, jangan membuatku bingung.”
“Cinta adalah kata yang universal. Tidak hanya satu untuk diambil alih paksa istilahnya pada hubungan cinta Adam pada Naura, cinta Adam pada Raisya, atau cinta yang sah sekali pun, cinta suami pada isteri” ia mulai mengurai konsep. Aku mencoba menerjemahkannya dengan sederhana di benakku.
“Kalau kau menempatkan cinta selama ini di mana? Mana cinta untuk sesama yang mesti kau bagi, padaku sebagai saudara plus sahabat. Pada kepapaan yang selalu tampak di lingkungan kita. Dan satu lagi Adam! Kau percaya pada Tuhan?”
“Ya, kenapa tidak?”
“Mana cintamu pada denting transendental. Sesejatinya cinta adalah pada Tuhan yang berlapis ganda cinta horison an-nas, manusia. Maaf aku mengatakan ini, karena aku juga sedang memaknai cinta ini” ujarnya.
Oh, God! Sejauh itu? Mungkin kau benar Eve, kata-katamu memang benar-benar tepat. Apakah aku memperdulikankan cinta Tuhan saat bercinta dengan pacar-pacarku? Bahkan aku telah melupakan cinta sesama saudara (seperti halnya cinta kita Eve) ketika asyik pada kekasihku. Ahh, kau benar Eve.
“Cinta kekasih...,” aku menggumam datar. Eve mendengarnya.
“KE KA SIH, menurutku ungkapan itu tidak hanya bisa kita sandangkan pada manusia. Bagaimana dengan kekasih kita yang maha mengasihi? Berarti Allah adalah kekasih kita. Bagaimana ini, Adam?” Eve bingung terjebak pada logika kata-kata.
Aneh! Tiba-tiba aku ingin mengatakan, “Ya, begitulah Eve. Pada ketenangan hati kita harus mengakui, jika ia bergejolak gundah turuti saja inginnya yang jujur, aku akan coba menata cinta proporsional ini?”
Dan Eve makin bingung muara cinta yang kami perdebatkan sampai pada puncak yang terkesan hakiki.
Sedetik kemudian Eve mengangguk tulus, ramah, “Dan jangan kau katakan cintaku padamu karena aku ingin menjadi kekasihmu.” Gadis itu mengubah perspektif cintaku.
***
Lama aku tak mengetahui kabar berita dari Eve. Terakhir suratnya menghampiriku dua bulan yang lalu. Katanya jika kami jarang berkomunikasi bukan berarti hubungan persahabatan putus. Ia selalu mengingat dan berdo’a untukku. Saat ini ia sedang mendalami apa itu cinta yang hakiki di pesantren. Tempat yang menurut Eve tepat untuk mengupas habis cinta yang selama ini dicari.
Eve, bagaimanakah penampilanmu sekarang? Bagaimanakah pandangan-pandanganmu sekarang? Suatu saat kita akan bertemu lagi kan, Eve? Tanyaku pada diri sendiri.
Ternyata gerimis bercampur terik matahari tak hanya meninggalkan sensasi pening. Keadaan cuaca siang kala perdebatan itu terjadi.
Pada gerimis satu-satu aku berterimakasih. (Elzam Zami)
(Ilustrasi/foto diambil dari www.santizaidan.wordpress.com)
**Rindu ini, sampai kapan bermuara karya, Zam?**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Zam, mbak ingat dulu cerpen iko yang masuk RB, waktu mbak en teman FLP Bengkulu Pj Rubrik Sastra dan Budaya:)
BalasHapusYaps, betul sekeli. Ini cerpen yang ngangenin. Chemistry-nya beda banget setiap kali baca....
BalasHapus